Kewajiban Sertifikat Halal Bakal Dihapus, PBNU: UU JPH Harus Ditinjau Ulang

 – Kewajiban makanan harus bersertifikat halal yg direncanakan dihapus oleh Draf Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja menuai reaksi dari berbagai pihak, salah satunya Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU).

Menanggapi wacana penghapusan itu, Ketua PBNU Robikin Emhas menjelaskan, pihaknya telah melakukan kajian terhadap UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal dalam Rapat Pleno PBNU 20-22 September 2019 di Purwakarta.

Berdasarkan hasil kajian, ada sejumlah aspek yg dinilai bermasalah oleh PBNU. Dilansir dari Detik, Selasa, 21 Januari 2020, berikut aspek-aspek tersebut:

1. Secara filosofis, UU ini bertentangan kaedah dasar hukum yakni al ashlu fil asyiya al ibahah illa an yadulla dalil ‘ala tahrimiha (pada dasarnya semua dibolehkan/halal kecuali terdapat dalil yg mengharamkan). Oleh sebabnya, UU ini perlu ditinjau ulang secara menyeluruh, sebab bertentangan dgn kaedah hukum.

2. Secara sosiologis, masyarakat Indonesia mayoritas muslim, berbeda dgn negara-negara lain di mana masyarakat muslim merupakan penduduk minoritas, sehingga yg perlu dilindungi oleh negara melalui regulasi ialah kelompok minoritas dari segi konsumsi makanan haram. Oleh sebab itu, produk dari regulasi ialah jaminan halal (sertifikat halal).

Baca Juga:  Sambut Natal dan Tahun Baru, PBNU Ajak Umat Bangun Persaudaraan Kemanusiaan

Selain itu, UU ini tak dapat dilaksanakan secara efektif sebab menambah beban produksi, terlalu banyak komponen yg disertifikasi, sehingga mau menambah beban biaya bagi konsumen dan mengurangi daya saing produsen. Oleh sebab itu, yg seharusnya disertifikasi ialah produk-produk yg tak boleh dikonsumsi oleh masyarakat tertentu.

Dalam kaitan itu, PBNU merekomendasikan supaya lembaga yg ada seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan RI dan Standar Nasional Indonesia diperkuat.

3. Secara yuridis, berdasarkan teori distribusi kewenangan undang-undang ini bermasalah. Pada prinsipnya negara dapat mendistribusikan kewenangannya sepanjang sesuai dgn peraturan perundang-undangan, namun konstitusi memberikan batasan yaitu buat hal-hal yg berkaitan dgn hajat hidup orang banyak.

Baca Juga:  Cegah Corona, Muhammadiyah Minta Masyarakat Tak Mudik Lebaran

Oleh sebabnya, distribusi kewenangan dalam konteks jaminan produk halal tak dapat dilakukan hanya oleh negara. Bahwa selain itu, norma dalam UU ini memberikan monopoli terhadap Komisi Fatwa MUI buat menerbitkan fatwa. Padahal dalam sistem hukum yg berlaku berdasarkan UUD 1945, kewenangan buat menerbitkan fatwa hanya berada di cabang kekuasaan yudikatif qq. Mahkamah Agung RI.

Bardasarkan hasil kajian tersebut, Robikin mendorong peninjauan ulang UU Jaminan Produk Halal. Dia pun bersyukur hal itu masuk draf omnibus law.

“Betul kami mendorong supaya UU JPH ditinjau ulang menyeluruh. Alhamdulillah kini masuk omnibus law,” ujar Robikin, dikutip dari Detik, Selasa, 21 Januari 2020.

Lantas apakah PBNU setuju dgn kewajiban makanan bersertifikat halal dihapus di omnibus law dgn adanya peninjauan ulang UU Jaminan Produk Halal?

Baca Juga:  Lawan Paham Khilafah di Indonesia, PBNU Ajak Masyarakat Berjihad di Media Sosial

“JPH tetap perlu, dgn tetap berlandaskan pada asas hukum yg berlaku. Sehingga penilaian kehalalan suatu proses produksi dan hasil produksi (barang olahan) tetap mengindahkan asas hukum dan mempertimbangkan aspek sosiologis (lokal wisdom). Supaya tak mematikan usaha kecil dan memperlemah daya saing Indonesia di mata dunia. Output JPH bukan lagi stempel ‘halal’, namun dapat berupa label ‘tidak direkomendasikan bagi muslim’ (buat tak mengatakan label ‘tidak halal’),” kata Robikin.





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.