Pendidikan Politik Pasca Pesantren

Sub tema Pendidikan Politik Pasca Pesantren menjadi menarik didengungkan keras-keras tatkala mencermati realitas politik tanah air belakangan ini yg tak memiliki postur, dan identitas yg jelas.

Pasalnya, mayoritas partai politik di Indonesia seolah telah kehilangan ruh, dan ideologi kepartaiannya. Pendidikan politik pasca di pondok pesantren pun menjadi salah satu tawaran yg cukup rasional.

Alasannya sederhana, setelah para santri terkondisikan pendidikan politik selama di pesantren melalui lima pilar, yakni melalui,1) forum diskusi (musyawarah)kitab kuning; 2) kajian al-fiqih ‘ala arba’ah madhāhib; 3) forum khitābiyah; 4) budaya demokrasi dalam kajian keilmuan; 5) kajian bath al-masāil diperlukan reengenering (perekayasaan) pendidikan politik pasca di pesantren.

Grand desain pendidikan politik pasca pesantren dapat saja berupa adanya sekolah (kursus) politik di luar pesantren. Pilihan lainnya, didirikanlah pesantren khusus yg mempelajari politik, baik teori politik, maupun real politik.

Syaratnya, calon santrinya ialah alumni pesantren tertentu yg telah memiliki pemahaman ilmu agama mendalam, sekaligus memiliki sense of politic yg kuat. Pertanyaannya, mungkinkah itu terjadi? Jawabnya, sangat mungkin, dan peluangnya terbuka lebar.

Baca Juga:  10 Asas Dakwah Walisongo dalam Menyebarkan Agama Islam di Indonesia

Secara historis, kursus politik pernah dipraktikkan H.O.S. Cokro Aminoto yg mendidik ilmu politik kepada Ir. Soekarno, Semaoen, Alimin, Muso, Kartosuwiryo, dan Tan Malaka pada waktu ngekos di rumahnya. Praktik serupa pada dekade yg berbeda pernah dirintis oleh Nurcholis Madjid sepulangnya dari Chicago dgn kegiatan diskusi di Yayasan Paramadina sekarang bermetamorfosis menjadi Universitas Paramadina yg menghebohkan.

Satu istilah populer yg dilontarkan sekaligus menimbulkan polemik di kalangan santri pada 1970-an ialah idenya tentang “sekulerisasi, dan “Islam yes, partai Islam no.”

Melalui pendidikan politik pasca pesantren diharapkan dapat melahirkan kaderisasi politikus yg berkarakter Islami. Cakap, dan matang dalam berpolitik, serta memegang teguh nilai-nilai keislaman. Lebih dari itu, lembaga ini nantinya dapat mempersiapkan regenerasi politisi Muslim kontemporer yg berkarakter Islami.

Jika, dalam sejarah pertumbuhan nasionalisme Indonesia dikenal generasi 1908, 1928, 1945, 1966, 1998, dan 2000-an, maka melalui pesantren politik (pendidikan politik pasca pesantren) ini mau membuat generasi baru. Bukan tak mungkin bila retasan alumni pesantren politik tersebut acceptable (diterima), credibel (masuk akal: dipercaya), dan berkualitas tentunya dapat mengubah peta perpolitikan nasional di masa depan.

Baca Juga:  Meluruskan Ustadz Badrussalam Tentang Peran Walisongo di Indonesia, Makanya Baca Sejarah!

Kondisi ini, laiknya dinamika kehidupan Islam pada dekade 1990-an pasca lahirnya ICMI yg menandai kristalisasi pergeseran pola kepemimpinan ulama ke arah pola intelektualisme dalam proses regenerasi Muslim. Bedanya, bila ICMI terkonstruk elitis, maka alumni pesantren politik terkondisikan menjadi pribadi yg agamis (ulama), intelek, sekaligus populis.

Poin terpenting harus diperhatikan ialah kehadiran pesantren politik di Indonesia menjadi momentum adanya reformulasi kepemimpinan Islam secara alami, dan genuine (hakiki). Praktis, politik, dan persoalan kenegaraan (bangsa, dan negara) menjadi persoalan bersama (seluruh lapisan masyarakat).

Area politik menjadi area yg populis, tak tabu, apalagi elitis. Muaranya, masyarakat awam yg ditandai kaum santri mendapatkan pendidikan politik secara nyata. Lebih dari itu, disebabkan stokcalon politisi yg berasal dari alumni pesantren melimpah, maka partai politik lebih leluasa merekrut kader, pengurus kepartaian, dan calon legislatif bermutu.

Baca Juga:  21 Pesantren Rehabilitasi Narkoba di Indonesia dan Relevansinya dgn Hadis Nabi

Paling tidak, melalui pesantren politik mau menyiapkan, dan mematangkan modal agama, modal intelektual, modal kultural, dan modal sosial santri.

Sementara modal kapital buat menjadi politisi yg sesungguhnya berada pada individu, dan partai politik masing-masing. Ijtihad leadership Islam inilah meminjam bahasa M. Nashir disebut sebagai perjuangan Islam melalui jalur politik.





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.