Membahas tentang 4 Etika Pendakwah menurut KH Bisri Musthofa

Dalam sejarah perkembangan Islam, posisi dakwah dgn beragam metodenya menempati tempat yg sentral dan terpuji. Karena itu, posisi dai (pendakwah) juga penting sebab menjadi salah satu instrumen penentu dalam perkembangan Islam.

Seiring dgn waktu, aktivitas dakwah ternyata berkembang, hingga dalam batas tertentu, seakan mengabaikan norma dan etika. Kegelisahan ini pula yg menjadikan KH Bisri Musthofa menuliskan sebuah kitab kecil berjudul Zâduz Zu‘amâ’ wa Dakhîratul Khuthabâ’ (bekal para pemimpin dan pendakwah).

Kiai Bisri sebagai tokoh pesantren yg lihai dalam dakwah lisan dan tulisan meringkas etika dai menjadi empat:

  1. Lakukan apa yg disampaikan.

Dalam berdakwah yg mempunyai karakter mengajak, dai semestinya “turut serta” dan larut dalam ajakan kebaikan tersebut. Materi dalam dakwah yg berisi kebaikan, dan disampaikan kepada orang lain, semestinya menjadi bahan refleksi diri dan membetot kesadaran supaya dai-lah orang pertama yg seharusnya melakukan apa yg disampaikan. Hal ini, menurut Kiai Bisri mampu menimbulkan atsar (bekas) pada diri audiens, sehingga perkataan dai dapat didengar dan diikuti (hal. 12).

KH Bisri mengutip Surat al-Shaff ayat 3 buat menguatkan etika yg pertama. Allah berfirman:

كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللّٰهِ اَنْ تَقُوْلُوْا مَا لَا تَفْعَلُوْنَ

Artinya: “(Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah bila kamu mengatakan apa-apa yg tak kamu kerjakan.”

  1. Santun dan rendah hati.

Mempunyai perilaku yg bagus (sîrah ḫasanah) dan adab terpuji (adab mardliyyah), seperti tak sombong dan rendah hati terhadap sesama, ialah etika yg selaras dgn konsep dakwah dan kepemimpinan yg disampaikan Kiai Bisri dalam mukaddimah kitab ini. Berlaku santun (rifq), tak keras, dan tak mudah mengumpat dan mencaci ialah sikap yg semestinya ada dalam diri penyampai dakwah.

Perilaku yg bagus ini terasa penting supaya masyarakat tak menghina dai disebabkan sikap dan cara tutur yg kurang terpuji (hal. 12). KH Bisri menyitir Surat Luqman ayat 18:

وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًاۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۚ

Artinya: “Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (sebab sombong) dan janganlah berjalan di bumi dgn angkuh. Sungguh, Allah tak menyukai orang-orang yg sombong dan membanggakan diri.

  1. Memiliki visi kemaslahatan audiens/pengikut (mashâliḫ mutbi‘în) dgn belas kasih dan penuh kerahmatan (al-ra’fah wa al-raḫmah).

Etika berdakwah ini semestinya memberikan peringatan kepada dakwah mau efek, baik sosial maupun lainnya, atas materi dakwah yg disampaikan. Oleh sebab itu, saran Kiai Bisri, penyampaian dan materi dakwah semestinya berisi dan disampaikan dgn penuh belas kasih dan keramahan (hal. 13). KH Bisri menyampaikan karakteristik Rasulullah yg tertuang dalam Surat al-Taubah ayat 128, Allah berfirman:

لَقَدْ جَاۤءَكُمْ رَسُوْلٌ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ

Artinya: “Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, yg tak tahan melihat penderitaanmu, yg sangat mengmaukan (keimanan dan keselamatan) bagimu, serta penyantun dan penyayg terhadap orang-orang yg beriman.”

Karakter Rasulullah yg tertuang dalam ayat tersebut ialah bahwa Rasulullah bersifat empati terhadap umatnya. Selain itu, Rasulullah juga memiliki sikap yg penuh belas kasih dan penyayg dan mengmaukan kebaikan pada umatnya. Inilah esensi etika dai yg bervisi kemaslahatan, dan bila dikerjakan dgn baik, efektivitas dakwah lebih mudah diterima, dan perubahan sosial yg berdimensi kebaikan mau mudah direalisasikan.

  1. Pemaaf dan toleran.

Dai semestinya memiliki sikap kelapangan hati buat memafkan (baḫr al-‘afw) dan toleransi (al-samâah) serta perangai yg menyenangkan dan menggemberikan (hal.13). KH Bisri mengingatkan tentang respons Allah tentang sikap kelembutan Nabi Muhammad ketika berdakwah, dalam Surat Ali Imran 159, Allah berfirman:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ

Artinya: “Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan buat mereka, dan bermusyawarahlah dgn mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yg bertawakal.”

Dalam ayat tersebut, kumulasi karakter dai yg terpuji terkumpul dalam pribadi Rasulullah dalam berdakwah. Sikap lemah lembut (layn dan rifq), tak keras dan kasar, berjiwa pemaaf, dan mengajak diskusi/berdialog dalam urusan tertentu, ialah sari pati etika dai yg dikontekstualkan kembali oleh Kiai Bisri Musthofa melalui karyanya, Zâduz Zua‘amâ wa Dakhiratul Khuthabâ’.

(Tulisan ini disarikan dari artikel berjudul “Dakwah Nusantara; Etika Dai dalam Zâd Al-Zu‘Amâ’ wa Dhakhîrat Al-Khuthabâ’ Karya KH Bisri Mustofa” yg telah dipresentasikan dalam Lokakarya Internasional dan Pelatihan Metodologi Penelitian Islam Nusantara, LTN NU Jawa Timur-Universitas Yudharta Pasuruan, 25-27 September 2019).

Mohamm Ikhwanuddin, Wakil Mudir Ma’had Aly An-Nur 1 Malang, dan
Darmawan, Dosen Senior UIN Sunan Ampel Surabaya.





Membahas tentang Doa ketika Kenyataan Belum Sesuai Harapan

Doa dan permintaan kita adakalanya tertunda atau belum terkabul. Harapan kita belum terwujud sebab ada sebab-sebab zahir yg tak mendukung pemenuhan harapan kita.

Ketika permintaan belum terkabul, doa belum terwujud, dan kenyataan belum sesuai harapan, kita tetap dianjurkan buat berdoa, memuji Allah. Bentuk ungkapan doa dan pujian kepada Allah ini termaktub dalam kitab Ihya Ulumiddin karya Imam Al-Ghazali (Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439-1440 H], juz I, halaman 409).

الحَمْدُ لِلهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ

Alhamdulillāhi ‘alā kulli hālin.

Artinya: “Segala puji bagi Allah atas segala hal.

Sayyid Muhammad Az-Zabidi dalam Kitab Ithafus Sadatil Muttaqin (Syarah Ihya Ulumiddin) mengatakan, hadits ini diriwayatkan oleh Al-Hakim dari Sayyidatina Aisyah ra dan Ibnu Majah. (Az-Zabidi, Ithaf, [Beirut, Muassasatut Tarikh Al-Arabi: 1994 M/1414 H], juz V, halaman 105).

Doa ini, kata Az-Zabidi, secara umum merupakan pujian kepada Allah ketika kita menyaksikan sesuatu yg kurang kita sukai. Tetapi doa ini dapat dibaca ketika hajat kita belum terkabul, belum sembuh dari penyakit, atau berbagai kenyataan lainnya yg belum sesuai harapan dan doa. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)

 





Membahas tentang Doa ketika Membeli Hewan Peliharaan

Sebagian kita memiliki hobi memelihara hewan sebab lucunya atau sebab semata-mata senang saja. Kita menerima hewan peliharaan itu melalui pemberian atau hadiah orang lain, barter, maupun pembelian.

Kita pun berharap supaya hewan peliharaan yg baru kita beli dapat tunduk dan jinak sehingga tak membahayakan kita. Oleh sebabnya kita dapat berdoa ketika membeli hewan peliharaan sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin [Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439-1440 H], juz I, halaman 412).

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَيْرَهُ وَخَيْرَ مَا جُبِلَ عَلَيْهِ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهِ وَشَرِّ مَا جُبِلَ عَلَيْهِ

Allâhumma innî as’aluka khairahû wa khaira mâ jubila alaih. Wa a‘ûdzubika min syarrihî wa syarri mâ jubila alaih.

Artinya: “Tuhanku, kepada-Mu aku memohon kebaikannya (kendaraan ini) dan kebaikan sifat yg diciptakan buatnya. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya (kendaraan ini) dan keburukan sifat yg diciptakan buatnya.”

Sayyid Muhammad Az-Zabidi dalam Kitab Ithafus Sadatil Muttaqin (Syarah Ihya Ulumiddin) mengatakan, riwayat ini telah diverifikasi oleh Al-Iraqi. Doa ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah dari hadits Amr bin Syu’aib. (Az-Zabidi, Ithaf, [Beirut, Muassasatut Tarikh Al-Arabi: 1994 M/1414 H], juz V, halaman 113). Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)

 





Membahas tentang Kisah Wafatnya Umar bin Abdul Aziz di Bulan Rajab & Wasiat Terakhirnya

Bulan Rajab mengingatkan pada salah satu peristiwa duka pada masa Dinasti Umayyah. Sebab, salah seorang khalifah terbaiknya, Umar bin Abdul Aziz, meninggal dunia. Kehidupannya yg jauh dari glamor kerajaan, membuat Umar enggan menggunakan fasilitas negara, bahkan tak meninggalkan banyak harta buat diwarisi putra-putranya.

Khalifah kedelapan Dinasti Umayyah ini wafat pada tanggal 25 Rajab tahun 101 H di Deir Sam’an yg termasuk wilayah Provinsi Homs, Suriah. Ia meninggalkan empat belas orang putra. Posisinya sebagai khalifah kemudian digantikan oleh sepupunya, Yazid bin Abdul Malik (Dr. Abdussyafi Muhammad Abdul Lathif, Al-‘Alamul Islami fil ‘Ashril Umawi Dirasah Siyasiyyah, [Halab: Darussalam, 2008], h. 163)

Para ulama berbeda pendapat mengenai faktor kematiannya. Imam Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Niahayah menjelaskan bahwa penyebabnya ialah sebab mengidap Tuberkulosis (TBC), salah satu penyakit yg mematikan. Adapula yg mengatakan sang khalifah diracun oleh salah seorang budak miliknya. (Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan Niahayah, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 2015], juz V, h. 222)

Ibnu Katsir mengisahkan, seorang budak mencampuri racun pada makanan atau minuman Umar demi bayaran sebesar seribu dinar. Sebelum meninggal, Umar bertanya kepada si budak, “Celaka! Apa yg mendorongmu buat melakukan ini?” Budak menjawab, “Aku dibayar seribu dinar buat melakukannya dan dijanbilan mau dibebaskan.” Kendati demikian, Umar tak marah. Ia justru menyuruh budak tersebut buat melarikan diri supaya nyawanya selamat.

“Pergilah supaya tak ada orang yg melihatmu dan nyawamu selamat,” pinta Umar. (Ibnu Katsir, juz V, h. 222)

Lain lagi dgn sejarawan kontemporer Abdussyafi yg mengritik bahwa riwayat yg mengatakan Umar dibunuh sebab diracun oleh budaknya ialah dusta. Ia berpendapat, kematian Umar disebabkan sebab dia terlalu memforsir tenaganya buat mengurusi rakyat, sering begadang buat mengurusi negara, serta pola makannya tak teratur sebab kesibukannya tersebut. (Dr. Abdussyafi Muhammad Abdul Lathif, h. 162-163)

Begitu merasa usianya tak lama lagi, Umar meminta buat didudukkan, “Dudukkanlah aku.” Setelah didudukkan, Umar berkata, “Duhai Tuhanku, Engkau menyuruhku beribadah, tapi aku lalai. Engkau pun melarangku berbuat dosa, tapi aku tak patuh.” Ia mengatakan demikian sampai tiga kali. “Tapi, tak ada Tuhan selain Allah,” sambungnya.

Lalu ia menengadahkan wajahnya ke atas dgn tatapan yg tajam. Orang-orang di sekitarnya heran dan berkata, “Pandanganmu begitu tajam, wahai amirul mukminin.” Umar menjawab, “Aku melihat ada yg datang, ia bukan dari bangsa manusia atau jin.” Seketika itu pula ia menghembuskan napas terakhir. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. (Ibnu Katsir, juz, V h. 223)

Dalam riwayat lain dijelaskan, menjelang kewafatannya, Umar meminta buat ditinggal sendirian di kamar. “Keluarlah, tinggalkan aku sendiri,” pinta sang khalifah pada orang-orang di sekitarnya. Mereka pun keluar, sementara Maslamah bin Abdul Malik dan saudara perempuannya, Fathimah, menunggu di pintu.

Dari luar, orang-orang mendengar Umar berkata, “Selamat datang wahai sosok (malaikat) yg bukan dari bangsa manusia ataupun jin.” Lalu ia membaca Al-Qur’an surat Al-Qashash ayat 83 yg berbunyi:

تِلۡكَ ٱلدَّارُ ٱلۡأٓخِرَةُ نَجۡعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوّٗا فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فَسَادٗاۚ وَٱلۡعَٰقِبَةُ لِلۡمُتَّقِينَ

Artinya: “Negeri akhirat itu, Kami jadikan buat orang-orang yg tak mau menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan ketelahan (yg baik) itu ialah bagi orang-orang yg bertakwa.” (QS. Al-Qashash [28]: 83)

Setelah itu suara Umar tak terdengar lagi. Orang-orang pun masuk dan mendapati kedua matanya telah terpejam dalam keadaan menghadap arah kiblat. Sang khalifah berpamit buat selamanya. (Ibnu Katsir, juz, V h. 223)

Wasiat terakhir

Sebelum kewafatannya, seseorang berkata kepada Umar, “Itu mereka anak-anakmu (ada dua belas). Berilah mereka wasiat terakhir, sungguh mereka semua ialah orang-orang yg fakir.” Lantas Umar membaca Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 196 yg berbunyi:

إِنَّ وَلِـِّۧيَ ٱللَّهُ ٱلَّذِي نَزَّلَ ٱلۡكِتَٰبَۖ وَهُوَ يَتَوَلَّى ٱلصَّٰلِحِينَ

Artinya: “Sesungguhnya pelindungku ialah Yang telah menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Dia melindungi orang-orang yg shalih.” (QS. Al-A’raf [7]: 196)

“Demi Allah, saya tak mau memberikan hak orang lain buat anak-anakku. Tinggal mereka memilih, mau menjadi orang shalih atau sebaliknya. Jika menjadi orang shalih, maka Allah mau menjaganya. Tapi bila tidak, aku tak mau menjamin mereka terhindar dari perbuatan maksiat,” kata Umar menandaskan.

Dari kisah wasiat Umar di atas, tampak bahwa meski menjabat sebagai khalifah, kehidupannya sangat sederhana. Saking sederhananya, sampai-sampai ia tak meninggalkan banyak harta warisan hingga dikatakan anak-anaknya dalam keadaan fakir. Sepanjang hidupnya, Umar dikenal sebagai sosok khalifah yg zuhud, bahkan ia tak mau menggunakan fasilitas pemerintahan yg sebenarnya ialah haknya sebagai pemimpin nagara.

Selain seorang yg zuhud, Umar juga diakui sebagai sosok yg menguasai ilmu agama cukup mendalam sampai dijuluki ‘allamah (orang yg sangat pandai) dan mujtahid (orang yg cakap berijtihad). Sejumlah ulama ternama seperti Sufyan ats-Sauri dan Jalauddin as-Suyuti sampai menyebutkan bahwa Umar merupakan khulafaur rasyidin kelima setelah Ali bin Abi Thalib.

Imam Adz Dzahabi dalam kitabnya, Siyaru A’lamin Nubala, berkata tentang Umar dgn menyebut sederet gelar panjang yg menunjukkan betapa agung kedudukannya:

الإمام الحافظ العلامة المجتهد الزاهد العابد السيد، أمير المؤمنين حقًّا، أبو حفص القرشي الأموي المدني ثم المصري، الخليفة الراشد، أشج بني أمية.

Artinya: “Sang imam, sang hafidz, sang ‘allamah, sang mujtahid, sang zahid, sang ahli ibadah, sang sayyid, amirul mukminin sejati, Abu Hafsh al-Qursyi al-Umawi al-Madani al-Mishri, sang kahlifah  cerdas, dan Bani Umayyah yg paling dicintai.” (Adz Dzahabi, Siyaru A’lamin Nubala, [Beirut: Mu’assasah Ar-Risalah, 1982], juz V, h. 114).

Penulis: Muhamad Abror

Editor: Fathoni Ahmad





Membahas tentang Ayat Paling Agung, Inilah tiga Keutamaan Ayat Kursi

Pada kesempatan ini kami mau mengulas tentang Membahas tentang Ayat Paling Agung, Inilah tiga Keutamaan Ayat Kursi,

– Ayat kursi merupakan salah satu ayat dalam surah Al Baqarah ke 255, dan ayat ini mengandung banyak sekali makna yg menygkut keimanan dan menjadi ayat yg paling Agung dalam Al-Quran.

Dalam suatu riwayat, Rasulullah ﷺ bertanya kepada Ubay bin Ka’ab tentang ayat yg paling utama dalam Al-Quran, “Ayat apa yg paling utama di dalam Al-Quran?” Kemudian Ubay bin Kai menjawab, “Ayat paling utama dalam kitabullah ialah Ayat Kursi.” Dan Rasulullah ﷺ menepuk dada Ubay dgn pelan sambil berkata, “Wahai Abu Mundzir semoga engkau selalu bahagia dgn ilmu yg engkau miliki.” (HR Muslim).

Berikut Al Baqarah ayat 255 atau Ayat Kursi :

اللّٰهُ لَاۤ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ الۡحَـىُّ الۡقَيُّوۡمُۚ لَا تَاۡخُذُهٗ سِنَةٌ وَّلَا نَوۡمٌ‌ؕ لَهٗ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الۡاَرۡضِ‌ؕ مَنۡ ذَا الَّذِىۡ يَشۡفَعُ عِنۡدَهٗۤ اِلَّا بِاِذۡنِهٖ‌ؕ يَعۡلَمُ مَا بَيۡنَ اَيۡدِيۡهِمۡ وَمَا خَلۡفَهُمۡ‌ۚ وَلَا يُحِيۡطُوۡنَ بِشَىۡءٍ مِّنۡ عِلۡمِهٖۤ اِلَّا بِمَا شَآءَ ۚ وَسِعَ كُرۡسِيُّهُ السَّمٰوٰتِ وَالۡاَرۡضَ‌‌ۚ وَلَا يَـــُٔوۡدُهٗ حِفۡظُهُمَا ‌ۚ وَ هُوَ الۡعَلِىُّ الۡعَظِيۡمُ

“Allah, tak ada tuhan selain Dia. Yang Maha Hidup, Yang terus menerus mengurus (makhluk-Nya), tak mengantuk dan tak tidur. Milik-Nya apa yg ada di langit dan apa yg ada di bumi. Tidak ada yg dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya. Dia mengetahui apa yg di hadapan mereka dan apa yg di belakang mereka, dan mereka tak mengetahui sesuatu apa pun tentang ilmu-Nya melainkan apa yg Dia kehendaki. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Dan Dia tak merasa berat memelihara keduanya, dan Dia Maha Tinggi, Maha Besar.”

 

Melansir dari berbagi sumber, mau memaparkan beberapa keutamaan dari ayat kursi:

1. Masuk surga

Mengamalkan ayat kursi setiap hari dan terutama setelah salat mau memberikan manfaat kepada kita kelak di hari akhir. Dalam sebuah riwayat dari Abu Umamah al-Bahili Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ قَرَأَ آيَةَ الْكُرْسِي دُبُرَ كُلِّ صَلاَةٍ لَمْ يَمْنَعْهُ مِنْ دُخُوْلِ الْجَنَّةِ إِلاَّ أَنْ يَمُوْتَ

“Barangsiapa membaca ayat kursi di akhir setiap salat, maka tak yg menghalanginya buat masuk surga kecuali kematian”. (HR. an-Nasa’i dalam ‘Amalul Yaum Wal Lailah, no. 100)

2. Terlindung dari setan

Ayat kursi menjadi salah satu bacaan dzikir yg paling dianjurkan sebelum tidur supaya selama tertidur kita selalu dalam lindungan Allah dan dijauhi dari perbuatan setan terkutuk. Dalam salah satu hadis, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila engkau mendatangi tempat tidur (di malam hari), bacalah Ayat Kursi, niscaya Allah mau senantiasa menjagamu dan setan tak mau mendekatimu hingga waktu pagi” (HR. Al-Bukhari).

3. Membawa keberkahan

Dengan selalu mengamalkan ayat kursi setiap hari, maka datanglah manfaat berupa keberkahan dalam hidup dan dijauhkan dari kesulitan. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda :

Ayat kursi merupakan ayat yg diberkahi, tak ada yg membukakan kesulitan, menyingkirkan bencana dan menghilangkan kesedihan lebih cepat ketimbang ayat kursi.” (HR. Imam Abu hamid Bin Muhammad Al-Ghazali).

 

Demikianlah ulasan mengenai Membahas tentang Ayat Paling Agung, Inilah tiga Keutamaan Ayat Kursi . apabila ada pertanyaan dapat dgn menuliskan pada kolom komentar dibawah ini.

terima kasih





Mengenal Imam Mazhab: Biografi Abu Hanifah & Kisah Kewarakannya

Sebuah fakta yg tak pernah luput dicatat dalam banyak kitab sejarah mazhab, bahwa Imam Abu Hanifah ialah akar pangkal transmisi keilmuan hukum Islam (fiqih). Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i termasuk orang pertama yg mengakui ini, dan hingga sekarang pandangan beliau terhadap Abu Hanifah masih sangat terang.

 

Adalah Syekh Muhammad Abu Zahrah (1898-1974 M) termasuk yg mengabadikan pengakuan as-Syafi’i tersebut. Dalam karyanya Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah (juz 2, hal. 131) ia menulis:

 

فهو الذي قال فيه الشافعي رضي الله عنه: الناس في الفقه عيال على أبي حنيفة

 

Artinya, “Suatu ketika, as-Syafi’i pernah memuji Abu Hanifah. Ia berkata, ‘Transmisi keilmuan umat Islam dalam bidang fiqih berinduk kepada Abu Hanifah’.”

 

Fakta ini nyaris mustahil absen dari memori para santri dan kiai. Ini menjadi bukti bahwa pendiri mazhab Hanafi yg dikenal sebagai pimpinan kaum rasionalis (ahlu ar-ro’yi) itu bukan orang sembarangan. Ia tentu lahir dari keluarga yg tak biasa di hadapan Allah, dan pasti pernah mengukir jejak perjuangan yg tak remeh. Sehingga, Allah terangi keluarga itu sepanjang masa, mengabadikannya dalam sejarah peradaban Islam dunia.

 

Biografi Singkat Abu Hanifah

Abu Hanifah, yg bernama asli Nu’man bin Tsabit bin Zutha ialah seorang ulama besar pendiri mazhab Hanafi. Ia termasuk imam mazhab kawakan di antara tiga mazhab muktabar lainnya (mazhab Maliki, mazhab Syafi’i, dan Hanbali). Lahir di kota Kufah, Irak pada tahun 80 H bertepatan dgn tahun 699 M, dan wafat di Baghdad pada 150 H atau tahun 767 M.

 

Mengutip Muhammad Ali as-Sayyis dalam Tarikh al-Fiqih al-Islami (hal. 104), bahwa sang promotor golongan rasionalis ini, namanya masuk dalam daftar atba’ at-tabi’in (pengikut para tabiin), generasi ketiga setelah Nabi. Sebab, kabarnya ia hanya sempat semasa—walaupun tak lama—dgn empat orang sahabat; Anas bin Malik yg tinggal di Bashrah, Abdullah bin Abi Aufa di Kufah, Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi di Madinah, dan sahabat Abu Thufail Amir bin Watsilah di Makkah. Tapi sayg, tak satu pun pernah ditemuinya.

 

Sedangkan, dalam riwayat lain-kendati tergolong lemah-Abu Hanifah masuk dalam daftar tabiin, santrinya para sahabat Nabi. Karena menurut riwayat ini, ia pernah bertemu dgn sahabat Anas bin Malik, dan meriwayatkan satu hadist tentang kewajiban menuntut ilmu darinya. Ditambah lagi, pada tahun 96 H, Nu’man remaja pernah dibawa ayahnya menunaikan ibadah haji. Saat di Masjidilharam, ia sempat bertemu dgn seorang sahabat bernama Abdullah bin al-Harst bin Juzu’ az-Zabidi, dan berhasil meriwayatkan satu hadist lagi.

 

Tanah Kufah menjadi tempat tinggal terlama bagi Abu Hanifah. Ia menghabiskan sebagian besar hidupnya di sana. Sebelum masuk ke dunia santri, putra Nu’man ini ialah seorang wiraswasta. Hari-harinya selalu di pasar, membantu sang ayah berjualan sutra. Saat di rumah, ia sibuk memikirkan bagaimana memproduksi kain-kain sutra pilihan. Karena itu, wajar dirinya dikenal sebagai ulama entrepreneur.

 

Setelah sekian lama menjadi wiraswasta, bahkan sampai menghabiskan separuh masa mudanya, Abu Hanifah pun akhirnya bertolak dari dunia pasar menuju dunia intelektual atas saran seorang ulama bernama as-Sya’bi. Wajar saja bila dia termasuk satu dari sekian ulama yg telat belajar. Namun, hal itu bukan persoalan besar di mata Abu Hanifah. Berkat ketekunan dan kecerdasan yg dimilikinya, mampu mengalahkan orang-orang yg belajar jauh sebelum dirinya. Terkait kisah lengkap Abu Hanifah tentang perpindahan dunianya dari tongkrongan pasar ke halakah ilmiah, mau dibahas di tulisan berikutnya. Insya Allah.

 

Guru-Guru Abu Hanifah

Setelah memutuskan buat mengikuti saran as-Sya’bi, meninggalkan hiruk pikuk dunia perdagangan dan mencurahkan lebih banyak simpati kepada para ulama, ‘santri baru’ itu telah mulai jarang tampak di pasar. Ia mulai menjauh dari kebisingan di tempat itu. Walaupun, sesekali juga menyempatkan diri menyambangi para pelanggan setia dan teman-temannya di sana. Tapi itu dapat dihitung jari. Dalam sepekan, mungkin sekali atau bahkan tak sama sekali. Kesehariannya sibuk dgn mengaji, menghadiri halakah demi halakah para ulama di Kufah.

 

Di antara para ulama, tempat simpuh Abu Hanifah mengambil hadist ialah imam ‘Atha’ bin Abi Rabah, imam Nafi’ (mantan budaknya Ibnu Umar), imam Qatadah, dan syekh Hammad bin Abi Sulaiman (tempat mulazamah terlama, selama 18 tahun). Dari syekh Hammad ini pula, ia belajar fiqih secara mendalam dgn transmisi keilmuan yg sampai pada Rasulullah. Sebab, gurunya itu merupakan murid dari Ibrahim al-Nakha’i dan al-Sya’bi, yg mana keduanya ialah santri tiga ulama besar; imam al-Qhadli, Alqamah bin Qais dan Masruq bin Ajda’. Mereka semua belajar fikih kepada Abdullah bin Mas’ud dan Imam Ali bin Abi Thalib, gerbang keilmuan baginda Nabi. Keterangan ini ditulis oleh Muhammad Ali as-Sayyis dalam Tarikh al-Fiqih al-Islami (hal. 104).

 

Kisah Warak Abu Hanifah

Suatu ketika, Jubarah bin al-Mughallis bercerita tentang dirinya yg pernah mendengar Qais bin ar-Rabi’ memuji Abu Hanifah. Qais berkata:

 

كان أبو حنيفة ورعا تقيا مفضلا على إخوانه

 

Artinya, “Abu Hanifah ialah seorang amat warak dan benar-benar taat beragama, ia juga gemar menebar kebaikan kepada sesama.”

 

Sebenarnya, ada banyak pengakuan serupa terkait kewarakan imam Nu’man bin Tsabit. Pengakuan itu juga muncul dari orang-orang elit, sekelas imam as-Syafi’i, imam Malik dan seterusnya. Belum lagi pengakuan yg muncul dari para murid dekatnya; orang-orang yg langsung mengaji, satu majelis dgn Abu Hanifah. Seperti imam Abu Yusuf al-Hanafi (wafat 183 H) dan Muhammad bin al-Hasan as-Syaibani (wafat 198 H).

Di antara kisah kewarakan Abu Hanifah yg ditulis imam al-Hafidh Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman ad-Dzahabi (wafat 748 H) dalam bukunya Manaqib al-Imam Abi Hanifah wa Shahibaihi; Abu Yusuf wa Muhammad bin al-Hasan (hal. 41), yaitu ketika Abu Hanifah menyedekahkan hasil penjualan baju yg dinilainya syubhat. Suatu ketika, ulama yg juga entrepreneur itu menyuruh salah seorang partner bisnisnya yg bernama Hafsh buat menjual baju komoditas miliknya. Tapi sayg, barang yg hendak dijual itu tak utuh, terdapat cacat pada bagian baju tersebut. Karena itu, Abu Hanifah berpesan:

 

إنّ في ثوب كذا عيبا فإذا بعته فَبَيِّن

 

Artinya, “Di baju ini terdapat cacat, kalau ada yg mau membelinya, beritahulah dahulu di mana bagian cacatnya.”

 

Namun sialnya, Hafsh ini malah lupa pesan Abu Hanifah. Ia langsung menjual baju itu tanpa menunjukkan celanya. Sedangkan, buat menemukan si pembeli tadi telah tak mungkin. Baygkan saja, di tengah pasar yg sangat ramai, dipadati orang-orang tak dikenal datang dari segala penjuru. Mengetahui hal itu, Abu Hanifah langsung menyedekahkan uang hasil penjualan baju tersebut. Kerennya, ia tak marah atas keteledoran itu. Jangankan sampai marah, komentar pun tidak. Malahan, Abu Hanifah menyikapinya dgn senyum ramah. Sungguh luar biasa, ia mampu meneladani akhlak baginda Nabi.

 

Semoga tulisan ini bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawab.

 

Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus Ma’had Aly Situbondo, dan pendiri Komunitas Lingkar Ngaji Lesehan di Lombok.






Membahas tentangBenarkah Meninggal di Hari Jumat Tergolong Husnul Khatimah?

Pada kesempatan ini kami mau mengulas tentang Membahas tentangBenarkah Meninggal di Hari Jumat Tergolong Husnul Khatimah?,

Hari Jumat merupakan salah satu hari yg dianggap istimewa bagi umat muslim. Di mana banyak sekali keutamaan yg terdapat pada hari tersebut. Salah satunya keberkahan yg berlimpah.

Hal ini tak hanya terpaku pada orang yg masih hidup. Karena keberkahan yg pasti mau didapat juga berlaku pada orang yg telah meninggal dunia pada hari itu.

Meskipun pada dasarnya kematian tak dapat diprediksi, dan kematian merupakan salah satu misteri yg dirahasiakan oleh Allah Swt.D

Di dalam agama Islam, terdapat beberapa tanda seorang muslim meninggal dunia dalam keadaan husnul khatimah, di antaranya yaitu wafat ketika hari atau malam Jumat.

Keutamaan wafat di hari Jumat ditegaskan oleh beberapa hadis Nabi, di antaranya hadis riwayat Imam al-Tirmidzi:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ وَأَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ سَعِيدِ بْن أَبِي هِلَالٍ عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ سَيْفٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ إِلَّا وَقَاهُ اللَّهُ فِتْنَةَ الْقَبْرِ

قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ قَالَ وَهَذَا حَدِيثٌ لَيْسَ إِسْنَادُهُ بِمُتَّصِلٍ رَبِيعَةُ بْنُ سَيْفٍ إِنَّمَا يَرْوِي عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو وَلَا نَعْرِفُ لِرَبِيعَةَ بْنِ سَيْفٍ سَمَاعًا مِنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو 

Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi dan Abu ‘Amir Al ‘Aqadi berkata; telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Sa’id dari Sa’id bin Abu Hilal dari Rabi’ah bin Saif dari Abdullah bin ‘Amr berkata;

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah seorang muslim meninggal pada hari Jum’at atau malam Jum’at, kecuali Allah mau menjaganya dari fitnah kubur.”

Abu Isa berkata; “Ini merupakan hadis gharib.” (Abu Isa At Tirmidzi) berkata; “Hadits ini sanadnya tak muttasil. Rabi’ah bin Saif meriwayatkan dari Abu Abdurrahman Al Hubuli dari Abdullah bin ‘Amr dan kami tak mengetahui kalau Rabi’ah bin Saif pernah mendengar Abdullah bin ‘Amr. (HR. al-Tirmidzi)

Hadis al-Tirmidzi ini tergolong gharib, sebab sanadnya tak bersambung, dan tak pernah diketahui bahwa Rabi`ah mendengar dari Ibnu Amr. Tetapi menurut al-Thabrani menyatakan hadist tersebut muttashil.

Al-Thabrani meriwayatkannya dari Rabi’ah bin ‘Iyadl dari ‘Uqbah dari Ibnu Amr bin Ash, demikian pula diriwayatkan oleh Abu Ya’la, al-Hakim al-Tirmidzi dgn status muttashil, Abu Nu’aim juga meriwayatkannya dari Jabir dgn status Muttashil.

Meski bersambung sanadnya, menurut al-Hafizh al-Mundziri, hadits tersebut tergolong dla’if (Syekh Abdurrauf al-Manawi, Faidl al-Qadir, juz 5, hal. 637).

Meskipun hadis tersebut tak tergolong hadis shahih, tetapi tetap dapat digunakan sebab berkaitan dgn keutamaan amaliyyah (fadlail al-a’mal).

 

Demikianlah ulasan mengenai Membahas tentangBenarkah Meninggal di Hari Jumat Tergolong Husnul Khatimah? . apabila ada pertanyaan dapat dgn menuliskan pada kolom komentar dibawah ini.

terima kasih





Ketika Sahabat Rasul Terpesona pada Kecantikan & Ketampanan

Sebagai umumnya orang, kita sering terpesona dalam pandangan pertama pada kecantikan atau kegantengan lawan jenis yg kebetulan kita jumpai, kita lihat dan kita pandang. Bahkan gambar dan video seksi di smartphone dalam berbagai platform yg sering kita buka pun sangat menarik buat ditelisik. Terkadang kita ingat buat segera mengalihkan pandangan, dan terkadang pula kita menuruti kemauan diri buat melihatnya lebih jauh. Begitulah kecenderungan manusiawi sejak dahulu hingga sekarang.

Kisah Dua Sahabat Terpesona pada Pandangan Pertama

Dahulu, ada dua manusia berparas cantik dan ganteng tak sengaja saling beradu pandang dan saling terpesona pada pandangan pertama. Ketika itu, usai mengikuti haji Wada’ bersama Rasulullah saw kaum muslimin berkumpul mau meminta fatwa kepada beliau. Rasulullah saw sendiri ketika itu memboncengkan al-Fadhlu bin Abbas ra, anak pertama pamannya Abbas ra yg terkenal berparas ganteng, di atas onta bagian belakang.

Ketika Rasulullah saw berhenti buat memberi kesempatan orang-orang meminta fatwa kepadanya, seketika itu pula al-Fadhlu beradu pandang dgn perempuan cantik kabilah Khats’am dari negeri Yaman. Keduanya saling terpesona melihat kecantikan dan kegantengan orang yg dipandangnya

Rasulullah saw pun menoleh, dan ketika melihat peristiwa itu beliau segera menjulurkan tangannya memegang janggut al-Fadhlu, lalu menyerongkannya ke arah lain supaya tak terus-menerus memandang perempuan cantik itu. Kisah ini dapat disimak dalam beberapa riwayat hadits, semisal riwayat al-Bukhari, Muslim, Ibnu Hibban dan selainnya.

Memang demikian, setiap orang secara alami senang melihat wajah cantik dan ganteng, senang melihat keindahan. Begitu pula al-Fadhlu dan perempuan cantik dari Yaman itu secara alami terpesona melihat keindahan wajah orang yg tak sengaja saling pandang dgnnya.

Hikmah Tindakan Rasulullah saw Saat Dua Sahabat Saling Terpesona

Adapun tindakan Rasulullah saw yg langsung memalingkan wajah al-Fadlhu supaya tak terus-menerus memandang perempuan cantik itu bermaksud supaya ia tak mengikuti kecenderungan manusiawinya hingga menuruti hawa nafsu, sekaligus supaya al-Fadhlu kembali mematuhi tuntunan akhlak yg diajarkan agama Islam.  (Muhammad bin Abdul Baqi bin Yusuf az-Zarqani, Syarhul Zarqâni ‘alâ Muwattha’-il Imâmi Malik, [Dârul Kutubil ‘Ilmiyyah: 1411 H], juz II, halaman 389).

Para Sahabat yg Diperingatkan supaya Tidak Menuruti Pandangan Pertama

Tidak sekali ini saja Rasulullah saw memperingatkan para sahabat, seperti sahabat Jarir, Ali dan Jabir bin Abdillah ra, supaya tak mengikuti kecenderungan alami memandang wajah cantik yg tak halal bagi mereka, sebagaimana dalam beberapa riwayat berikut.

عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى. رواه مسلم

Artinya, “Diriwayatkan dari Jarir bin Abdillah ra ia berkata: ‘Aku bertanya kepada Rasulullah saw tentang pandangan yg terjadi secara tiba-tiba di luar kesengajaan, lalu beliau memerintahkan kepadaku supaya memalingkan pandanganku’.” (HR Muslim)

عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لِعَلِىٍّ: يَا عَلِىُّ لاَ تُتْبِعِ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ، فَإِنَّ لَكَ الْأُولَى وَلَيْسَتْ لَكَ الآخِرَةُ. هذا حديث صحيح على شرط مسلم و لم يخرجاه

Artinya, “Diriwayatkan dari Ibnu Buraidah, dari Ayahnya, ia berkata: ‘Rasulullah saw bersabda kepada: ‘Wahai Ali, jangan ikuti suatu pandangan dgn pandangan lain, sebab sungguh bagimu pandangan pertama dan tak diperbuatkan kepadamu pandangan selainnya’.” (HR al-Hakim dan ia berkata: “Ini hadits shahih sesuai syarat Imam Muslim, namun ia bersama Imam al-Bukhari  tidak mentakhrijnya.”).

عَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا أَعْجَبَتْ أَحَدَكُمْ الْمَرْأَةُ فَلْيَعْمِدْ إِلَى امْرَأَتِهِ فَلْيُوَاقِعْهَا فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مِنْ نَفْسِهِ. رواه أحمد

Artinya, “Diriwayatkan dari Jabir ra, sungguh Rasulullah saw bersabda: ‘Ketika ada perempuan membuat terpesona salah seorang dari kalian, hendaklah ia segera mendatangi istrinya, lalu segera menyetubuhinya, sebab hal itu dapat menolak gejolak nafsunya’.” (HR Ahmad).

Kontekstualisasi Akhlak ketika Terpesona Gambar dan Video Seksi

Tuntunan akhlak yg Rasulullah saw ajarkan kepada umatnya supaya tak menuruti pandangan terhadap lawan jenis yg menarik secara seksual semestinya dapat dikontekstualisasikan dalam era digital seperti sekarang. Tidak hanya ketika melihatnya secara nyata saja, namun juga ketika melihat gambar dan video seksi di smartphone dalam berbagai platform yg kita buka.

Bila tak segera dialihkan, tentu dorongan buat menuruti pandangan nafsu mau semakin menjadi-jadi. Bukankah hal ini yg manusia modern alami sehari-hari, tanpa pandang bulu. Laki-laki maupun perempuan, tua apalagi muda. Wallâhu a’lam.

Ahmad Muntaha AM, Founder Aswaja Muda dan Redaktur Keislaman NU Online





Jejak Agama Hanif & Penyimpangan Akidah Masa Jahiliah

Nabi Muhammad saw membawa ajaran Islam di tengah bangsa Arab yg telah mapan dgn akidahnya. Hanya saja, agama yg mereka anut telah jauh dari garis wahyu yg telah disampaikan oleh Allah melalui Nabi Ibrahim as jauh sebelumnya. Di sini lah peran Rasulullah buat meluruskan kembali sekaligus memperbarui akidah masyarakat jahiliah.

Agama Hanif

Untuk dapat mengkaji sejarah dakwah Nabi Muhammad saw dgn utuh, kita tak boleh melupakan kondisi sosial religius masyarakat Makkah ketika itu, baik ketika masa jahiliah ataupun sebelumnya. Sebelum masa jahiliah, bangsa Arab telah menganut agama Hanif, yaitu agama yg dibawa oleh Nabi Ibrahim as. Hal demikian terjadi sebab bangsa Arab sendiri merupakan anak cucu Nabi Ismail as, putra Ibrahim. Allah swt menegaskan dalam Al-Qur’an,

قُلۡ صَدَقَ ٱللَّهُۗ فَٱتَّبِعُواْ مِلَّةَ إِبۡرَٰهِيمَ حَنِيفٗاۖ وَمَا كَانَ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ

Artinya: “Katakanlah: ‘Benarlah (apa yg difirmankan) Allah’. Maka ikutilah agama Ibrahim yg lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yg musyrik. (QS. Ali Imran [3]: 95)

Kata ‘Hanif’ disebutkan jelas pada ayat di atas sebagai agama yg dibawa oleh Nabi Ibrahim. Dalam beberapa ayat lain, Allah swt juga menyebutkan jelas kata tersebut. Seperti dalam surat Al-An’am ayat 161 dan surat An-Nahl ayat 123.

Berdasarkan ayat di atas, Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, ayat tersebut memerintahkan umat Muslim buat mengikuti agama yg dibawa Nabi Ibrahim tersebut. Karena pada dasarnya ajaran Ibrahim sama dgn apa yg dibawa oleh Nabi Muhammad saw. (Ibnu Katisr, Tafsir Al-Qur’anil ‘Adzim, juz II, h. 66)

Maksud agama Nabi Ibrahim sama dgn Nabi Muhammad ialah dalam hal bertauhid, yaitu sama-sama memerintahkan buat hanya menyembah Allah swt, sebagaimana esensi setiap ajaran nabi-nabi pada umumnya.

Setelah sekian abad berlalu, ajaran Nabi Ibrahim mulai mengalami banyak penyimpangan oleh pemeluknya sendiri. Agama yg dulu hanya menyembah satu Tuhan, kini tak lagi. Kian hari, parktik-praktik kemusyrikan semakin marak di kalangan masyarakat Arab. Kebodohan bangsa ketika itu membuat mereka akhirnya terjerumus dalam taklid buta kepada para nenek moyg buat menyembah berhala dan banyak laku kemusyrikan lainnya. Karena itulah Nabi Muhammad diutus.

Berhala pertama

Sebelum bangsa Arab terjerumus dalam kemusyrikan, mereka ialah bangsa yg berpegang teguh pada akidah yg bersumber dari wahyu Allah swt. Semuanya berubah ketika seseorang bernama Amr bin Luhay bin Qam’ah (leluhur Suku Khuza’ah) membawa berhala pertama ke Makkah dan mengajak orang-orang buat menyembahnya. Berhala itu bernama Hubal yg ia bawa dari Syam.

Ibnu Hisyam dalam Sirah Nabawiyah-nya menjelaskan, seorang yg bernama Amr bin Luhay pergi dari Makkah menuju ke Syam buat suatu kepentingan. Begitu ia tiba di daerah bernama Maarib, di wilayah Balqa yg didiami oleh suku Amaliq (keturunan dari Imlaq), Amr melihat orang-orang itu menyembah berhala dan bertanya, “Berhala-berhala model apakah yg kalian sembah itu?”

Mereka menjawab, “Kami memuja para berhala buat meminta hujan, kemudian mereka pun menurunkannya. Kami memohon kepada mereka, dan mereka mengabulkan permohonan kami.” Rupanya Amr begitu saja mempercayai semua itu dan membuatnya tertarik buat meminta satu berhala yg bernama Hubal buat dibawa ke Jazirah Arab dan disembah penduduk setempat.

Dalam versi lain disebutkan, kemunculan berhala murni sebab faktor internal orang-orang Makkah sendiri. Dikisahkan, ketika masyarakat penduduk Makkah mengalami kesulitan, mereka mau pergi ke negeri-negeri lain dgn membawa batu-batu dari tanah suci Makkah sebagai bentuk penghormatan. Jika sampai di sebuah tempat, mereka berhenti dan meletakkan batu tersebut buat diputari, persis seperti ketika thawaf mengelilingi Ka’bah.

Lambat laun, tradisi ini mengalami pergeseran paradigma dan penyimpangan makna. Sikap hormat yg berlebihan pada batu-batu tersebut kebablasan dan dijadikan berhala buat disembah. Kian hari, penyimpangan akidah mereka kian parah, hingga ajaran-ajaran agama Nabi Ibrahim lenyap begitu saja. Kendati demikian, masih ada beberapa orang yg mengajarkan agama Ibrahim tersebut, seperti Qass bin Sa’idah al-Iyyadi, Ri’ab asy-Syinni, dan Buhaira sang Rahib.

Meski begitu, ajaran-ajaran yg dibawa kelompok setia tersebut juga tak lagi murni sebagaimana apa yg dulu Nabi Ibrahim sampaikan. Seperti redaksi kalimat talbiyah yg mengalami reduksi sebagai berikut,

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ. لَبَّيْكَ لَا شَرِيْكَ إِلَّا شَرِيْكٌ هُوَ لَكَ. تَمْلِيْكُهُ وَ مَا لَكَ

Artinya: “Aku menyambut seruan-Mu ya Allah, aku menyambut seruan-Mu. Tiada sekutu kecuali sekutu yg Engkau miliki. Yang Engkau miliki dan dia miliki pula.” (Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah, juz I, h. 94-96)

Dalam catatan Ibnu Hisyam dijelaskan, begitu penduduk Makkah meninggalkan agama Nabi Ismail, mereka menamai berhala-berhala dgn nama mereka sendiri, baik yg masih memiliki garis keturunan dgn Nabi Ismail ataupun bukan. Seperti Hudzail bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar yg membuat berhala dgn nama Suwa’ dan Kalb bin Wabrah dari Qudha’ah dgn berhala bernama Wadd. (Ibnu Hisyam, juz I, h. 97)

Demikianlah kondisi sosial religius bangsa Arab ketika Nabi Muhammad saw diutus. Artinya, masyarakat ketika itu benar-benar berada dalam penyimpangan agama yg serius. Meski begitu, mereka pernah memiliki rekam historis keagamaan yg benar dgn memeluk agama Hanif. Di sini lah tugas Nabi buat mengembalikan mereka ke dalam ajaran yg lurus.

Muhamad Abror, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek-Cirebon dan Ma’had Aly Sa’idusshiddiqiyah Jakarta





MENGUPAS FADHILAH AMALAN KUNCI SEMBILAN PJNH PERGURUAN JAM’IYYAH NURUL HIKMAH

Pertama membaca salam
Dihayati secara mendalam
Agar selamat siang dan malam
Dari kejahatan makhluk yang kejam

Kedua membaca basmalah
Dengan khusyu’ mengingat Allah
Agar turun lautan berkah
Berkah dunia dan akhirah

Ketiga membaca istigfar
Mohon ampun secara sadar
Agar hati bersih bersinar
Dari Allah Yang Maha Ghaffar

Keempat membaca syahadat
Dengan bacaan baik dan tepat
Agar iman semakin kuat
Hati bersih tidak berkarat

Kelima membaca shalawat
Pada Muhammad pembawa rahmat
Agar kelak mendapat syafa’at
Masuk surga alangkah nikmat

Keenam membaca tasbih
Pada Allah Maha Pengasih
Agar hati semakin bersih
Jiwa lapang tidak merintih

Keenam membaca Qulhu
Sampai meresap di dalam qalbu
Agar tauhid setiap waktu
Makin mantap tidak kelabu

Ketujuh baca inna lillah
Kita berasal dari Allah
Jangan lupa kepada Allah
Kita kembali kepada Allah

Kedelapan ya Allah ya Hayyu
Ya Qayyumu Ya ‘Azhimu
Allah adalah Yang Maha Satu
Penguasa alam dari dahulu

Kesembilan baca Ilahi
Ilahi Anta maqshudi
Waridhaka mathlubi
Wa ufawwidhu amri ilallahi

Kun adalah kata Allah
Kita mohon kepada Allah
Dihilangkan segala susah
Derita dunia dan akhirah