Cek Fakta: Beredar Foto Disebut Kuburan Massal Ulama & Santri Korban PKI

Beredar sebuah foto di media sosial yg memperlihatkan sejumlah orang tengah menggali kuburan dgn narasi yg mengklaim bahwa foto tersebut ialah kuburan massal ulama dan santri yg digali oleh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).

Foto tersebut diunggah oleh seorang pengguna Facebook dgn nama akun Supri Hastuti.

“Ini ialah foto para santri n ulama yg menolak faham komunis. Para santri di suruh gali lubang panjang di sekitar pompes utk kuburan mrk n mrk smua di kubur hidup2,” tulis Supri Hastuti di narasi unggahannya.

Pada foto itu juga terdapat narasi: “KUBURAN MASAL ULAMA DAN SANTRI 1948 OLEH PKI MUSO.”

Namun, berdasarkan penelusuran fakta Turnbackhoax.id, Sabtu, 13 Juni 2020, klaim bahwa peristiwa di foto yg menyebut kuburan tersebut ialah kuburan massal Ulama dan Santri oleh PKI Muso pada tahun 1948 ialah klaim yg salah.

Foto itu bukan kuburan massal ulama dan santri oleh PKI Muso pada tahun 1948, melainkan salah satu foto yg menunjukkan mereka yg mau dieksekusi sebab diduga terkait dgn PKI di sebuah parit pada tahun 1965.

Dikutip dari Liputan6.com, foto yg sama diunggah di artikel berjudul “How the Australian, British, and US Governments Shamelessly Helped Kill Countless People in Indonesia in 1965” yg dimuat situs asia-pacificresearch.com, pada 23 Juli 2016.

Foto tersebut diberi keterangan “Indonesians preparing to die in a mass grave.” atau yg bila diterjemahkan “Orang Indonesia bersiap buat mati di kuburan massal”.

Sementara dari Tempo.co, ditemukan bahwa foto tersebut pernah dipublikasikan oleh sejumlah situs. Satu di antaranya ialah situs berbahasa Inggris yg berbasis di Pakistan, Dawn.

Situs tersebut memuat foto itu pada 23 Juli 2015 dalam artikel yg berjudul “The volatile fusion: Origins, rise & demise of the ‘Islamic Left’”.

Keterangan foto dalam artikel itu berbunyi “Soldiers guard a ditch full of leftist Indonesian activists. They were all shot (1965)” atau yg bila diterjemahkan “Tentara menjaga parit yg penuh dgn aktivis kiri Indonesia. Mereka semua ditembak (1965)”.

Adapun isi artikel tersebut menyinggung sejarah Indonesia dari era Presiden Soekarno hingga Presiden Soeharto yg diwarnai dgn penumpasan anggota PKI dan simpatisannya.

Tempo.co juga sempat menghubungi Yohanes Andreas Iswinarto, pemilik Perpustakaan Online 1965-1966.

Menurut Yohanes, foto tersebut dimuat setidaknya dalam dua buku yg berisi cerita tentang PKI.

Yang pertama ialah buku “Kronik ’65: catatan hari per hari peristiwa G30S sebelum hingga setelahnya (1963-1971)” karya Hadi Kuncoro dkk yg diterbitkan oleh Media Pressindo Yogyakarta pada 2017. Foto itu terdapat pada halaman 562.

Sementara yg kedua, menurut Yohanes, ialah buku “Penghancuran PKI” cetakan kedua karya Olle Tornquist yg diterbitkan oleh Komunitas Bambu pada 2017. Foto itu terdapat pada halaman 276.

Olle memberikan keterangan “Siap dieksekusi dan dikuburkan” terhadap foto tersebut. Foto ini pun pernah dimuat dalam buku Olle yg sama namun yg berbahasa Swedia, “Marxistik Barlast”, yg terbit pada 1982.

Dengan demikian, orang-orang dalam foto tersebut bukanlah ulama dan santri yg dibunuh oleh PKI Musso pada 1948, melainkan peristiwa yg menunjukkan mereka yg mau dieksekusi sebab diduga terkait dgn PKI di sebuah parit pada tahun 1965.





Ka’bah Jadi Sasaran Tembak PUBG, Gamer Muslim Ini Murka

Game PlayerUnknown’s Battlegrounds (PUBG) belakangan ini ramai menjadi buah bibir. Setelah dikaitkan dgn insiden teror penembakan masjid di Selandia Baru pada Jumat, 15 Maret 2019 lalu, kini Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sedang membahas wacana fatwa haram terhadap PUBG.

Sementara umat Islam di Indonesia menanti keputusan MUI,
PUBG juga menjadi sorotan hingga memicu kemarahan gamer di India. Hal
ini lantaran permainan online besutan Tencent Games tersebut menjadikan ikon
yg menyerupai Ka’bah sebagai objek penembakan dalam adegan permainan.

Sontak para gamer di Negeri Bollywood marah, sehingga
bergulir kampanye boikot PUBG melalui media sosial. Mereka menuntut supaya PUBG
menarik item yg mirip situs suci umat Muslim itu dari platform.

Saya sangat mengutuk game ini. Semua Muslim harus BOYCOTT game ini.
Karena pembaruan berupa hadiah yg tampak seperti Ka’bah Suci kami dalam game ini dan orang-orang membidik target yg
murni aksi terorisme,” protes salah satu warganet melalui Twitter. (Link
Twitter 2: https://twitter.com/mesumpatel/status/1109078954391027717)

Menurut laporan Abacusnews, yg dipublikasikan pada 25
Maret 2019, kemunculan item yg serupa Ka’bah itu belum lama di platform PUBG.
Item ini – disebut Birthday Care – merupakan bagian dari hadiah ulang
tahun pertama dari PUBG Mobile kepada gamer, yg diperkenalkan minggu
lalu.

Saat ini, dgn dugaan pelecehan terhadap situs umat Muslim
tersebut, popularitas PUBG di Negeri Bollywood menuai polemik, dgn 15 persen
populasi ialah Muslim. Sejumlah warganet secara terang-terangan mengutuk PUBG
dan mengajak supaya umat Muslim lainnya ikut memboikot.

Sementara itu, menyadari reaksi kemarahan dari para gamer, perusahaan PUBG bertindak cepat. Pihaknya telah meminta maaf melalui Twitter dan berjanji mendesain ulang item berbentuk kotak hitam yg mirip Ka’bah itu.

“Kami meminta maaf atas kelalaian ini. Kami mau mendesain ulang Birthday Care dan segera merilisnya. Terima kasih atas dukunganmu buat PUBG Mobile,” cuitan permintaan maaf PUBG. (Link Twitter : https://twitter.com/techstarsrk/status/1109427634713165827)





Khutbah Akhir Tahun: Muhasabah enam Sifat yg Dibenci Allah

Khutbah I

اَلْحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ وَفَّقَ مَنْ شَاءَ مِنْ خَلْقِهِ بِفَضْلِهِ وَكَرَمِهِ، وَخَذَلَ مَنْ شَاءَ مِنْ خَلْقِهِ بِمَشِيْئَتِهِ وَعَدْلِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَلَا شَبِيْهَ وَلَا مِثْلَ وَلَا نِدَّ لَهُ، وَلَا حَدَّ وَلَا جُثَّةَ وَلَا أَعْضَاءَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَحَبِيْبَنَا وَعَظِيْمَنَا وَقَائِدَنَا وَقُرَّةَ أَعْيُنِنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ،وَصَفِيُّهُ وَحَبِيْبُهُ. اَللهم صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إَلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ. أَمَّابَعْدُ، فَإِنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ الْقَائِلِ فِيْ مُحْكَمِ كِتَابِهِ:يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ ١٨(سورة الحشر: ١٨)

مَعَاشِرَ الْمُسْلِمِيْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ

Dalam ayat ini, Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kepada kita buat bertakwa dan berinstrospeksi diri. Masing-masing dari kita hendaknya selalu berpikir dan mencermati apa yg telah dipersiapkan buat akhiratnya kelak. Jika telah berbuat baik dan beramal shalih, maka hendaknya kita memuji Allah subhanahu wa ta’ala atas kemurahan-Nya, dan tetap istiqamah (konsisten) dalam kebaikan itu sepanjang hidup kita. Namun bila kita masih berbuat maksiat, maka hendaknya kita tinggalkan semua maksiat, beristighfar (memohon ampun), dan memperbaiki hati, sebab di akhirat kelak tidaklah bermanfaat harta dan keturunan serta apa pun jua kecuali orang-orang yg memasuki kehidupan akhirat dgn hati yg bersih.

 

Saudara-saudaraku seiman,

Di akhirat kelak, seseorang mau dihisab dan dimintai pertanggungjawaban atas pendengaran, penglihatan dan hatinya, sebagaimana ia mau dihisab atas apa yg dilakukan oleh seluruh anggota badannya. Oleh sebab hati ialah pemimpin anggota badan, maka perbuatan-perbuatan anggota badan sejatinya mencerminkan apa yg ada dalam hati. Jika hati baik, maka anggota badan menjadi baik. Dan bila hati rusak, maka rusaklah anggota badan.

 

Hadirinyg berbahagia,

Dalam kesempatan ini, kita mau membahas enam sifat yg dibenci oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Marilah kita berintrospeksi dan bermuhasabah, apakah hati kita telah bersih dan terhindar dari enam sifat tersebut, ataukah sebaliknya, justru enam sifat yg dibenci oleh Allah subhanahu wa ta’ala tersebut tertanam kuat dan bercokol di hati kita. Na’udzu billahi min dzalik.

 

Ibnu Hibban meriwayatkan dalam hadits shahih dari sahabat Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ يُبْغِضُ كُلَّ جَعْظَرِيٍّ جَوَّاظٍ سَخَّابٍبِالْأَسْوَاقِ جِيفَةٍ بِالَّليْلِ حِمَارٍ بِالنَّهَارِ عَالِـمٍ بِأَمْرِ الدُّنْيَا جَاهِلٍ بِأَمْرِ اْلآخِرَةِ (حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ رَوَاهُ ابْنُ حِبَّانَ)

Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala membenci seseorang yg memiliki enam sifat berikut ini:

 

  1. جَعْظَرِيٍّ

 

Yakni orang yg takabbur atau sombong. Sombong ada dua macam.

 

Pertama, menolak kebenaran yg disampaikan oleh orang lain padahal ia tahu bahwa hal itu benar, disebabkan penyampai kebenaran lebih muda usianya, lebih miskin hartanya, lebih rendah status sosialnya atau sebab hal lain. Padahal fir’aun tidaklah binasa kecuali sebab sifat takabburnya. Fir’aun telah melihat sekian banyak mu’jizat Nabi Musa ‘alaihissalam, namun ia tak beriman kepada Nabi Musa ‘alaihissalam. Haman, perdana menteri Fir’aun ketika itu berkata kepada Fir’aun: “Jika engkau beriman kepada Musa, maka engkau mau kembali menjadi hamba yg menyembah, padahal selama ini engkau telah menjadi tuhan yg disembah.” Demikian pula Bani Isra’il yg diutus kepada mereka Nabi Isa ‘alaihissalam. Setelah mereka melihat mu’jizat Nabi Isa ‘alaihissalam, tak ada yg membuat mereka tak beriman kecuali sifat takabbur mereka. Mereka selalu mengatakan bahwa bila mereka beriman, maka mau lenyaplah kehormatan dan kekuasaan mereka. Demikian pula Abu Lahab dan tokoh-tokoh kafir Quraisy, setelah mereka melihat mu’jizat al-Qur’an dan mengakui bahwa al-Qur’an tak seperti puisi dan prosa yg mereka kenal, tak ada yg membinasakan mereka dan membuat mereka tak beriman kecuali sifat takabbur mereka.

 

Jenis takabbur yg kedua ialah merendahkan orang lain. Seseorang yg memiliki sifat takabbur jenis kedua ini dalam hatinya, ia mau menganggap dirinya memiliki keistimewaan lebih atas orang lain sehingga melihat dirinya dgn pandangan kesempurnaan dan penuh kebaikan. Dia melupakan bahwa itu semua ialah anugerah yg Allah berikan kepadanya.

 

  1. جَوَّاظٍ

 

Yaitu seseorang yg rakus dan gandrung buat mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dgn niat yg tak benar dan didorong kecintaannya yg sangat besar terhadap harta. Ia tak peduli dari mana harta itu ia peroleh, apakah dari sumber yg halal ataukah haram. Dengan itu, ia bertujuan buat memenuhi kemauan hawa nafsunya yg haram dan membanggakan diri di hadapan para hamba yg lain.

 

  1. سَخَّابٍ بِالْأَسْوَاقِ

 

Artinya orang yg sebab kerakusan dan kegandrungannya pada harta, ia memperbanyak omongan dgn tujuan supaya dapat mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Ia tak peduli apakah omongannya halal ataukah haram.

 

  1. جِيفَةٍ بِاللَّيْلِ

 

Menjadi bangkai di malam hari. Yakni menghabiskan seluruh waktu malamnya buat tidur. Ia tak peduli buat melakukan shalat sama sekali.

 

  1. حِمَارٍ بِالنَّهَارِ

 

Menjadi keledai di siang hari. Yakni yg ia pikirkan hanya bagaimana dapat memakan berbagai menu makanan dan banyak menikmati berbagai kemewahan hidup. Dengan sebab itu, ia lalai melakukan hal-hal yg Allah wajibkan kepadanya.

 

  1. عَالِـمٍ بِأَمْرِ الدُّنْيَا جَاهِلٍ بِأَمْرِ الْآخِرَةِ

 

Mengetahui perkara dunia namun bodoh mengenai perkara akhirat. Yakni mengetahui bagaimana cara mencari dan mengumpulkan harta, mau tetapi tak memiliki pengetahuan mengenai bagian ilmu agama yg fardlu ‘ain buat dipelajari, yg disebut para ulama dgn istilah عِلْمُ الدِّيْنِ الضَّرُوْرِيِّ (ilmu agama yg pokok). Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

 

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ (رَوَاهُ ابْنُ مَاجَه وَالْبَيْهَقِيُّ)ـ

Maknanya: “Mencari ilmu agama yg pokok (ilmu agama yg dasar) hukumnya ialah fardlu ‘ain bagi setiap muslim (laki-laki dan perempuan),” (HR Ibnu Majah dan al-Baihaqi).

 

مَعَاشِرَ الْمُسْلِمِيْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ

Di akhir khutbah, khatib mengutip mutiara nasihat Sayyidina Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah yg mengingatkan kepada kita semua bahwa kehidupan dunia ialah waktu buat beramal, dan semua yg kita lakukan di dunia ini mau kita pertanggungjawabkan di akhirat:

 

ارْتَحَلَتِ الدُّنْيَا مُدْبِرَةً، وَارْتَحَلَتِ الآخِرَةُ مُقْبِلَةً، وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بَنُونَ، فَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الآخِرَةِ، وَلاَتَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الدُّنْيَا، فَإِنَّ اليَوْمَ عَمَلٌ وَلاَحِسَابَ، وَغَدًاحِسَابٌ وَلاَعَمَلٌ

Maknanya: “Dunia berjalan membelakangi kita, sedangkan akhirat berjalan menghampiri kita. Masing-masing dari dunia dan akhirat memiliki anak-anaknya. Maka jadilah bagian dari anak-anak akhirat (senantiasa mementingkan kehidupan akhirat) dan janganlah menjadi bagian dari anak-anak dunia (selalu mementingkan kehidupan dunia yg sementara), sebab hari ini (kehidupan dunia) ialah waktunya beramal dan tak ada hisab, sedangkan besok (kehidupan akhirat) ialah waktunya mempertanggungjawabkan amal, dan bukan waktunya beramal,” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari)

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Khutbah II

 

إِنَّ الْحَـمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَهْدِيْهِ وَنَشْكُرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِنِ الصَّادِقِ الْوَعْدِ الْأَمِيْنِ،وَعَلٰىإِخْوَانِهِ النَّبِيِّيْنَ وَالْمُرْسَلِيْنَ، وَرَضِيَ اللهُ عَنْ أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِيْنَ، وَآلِ الْبَيْتِ الطَّاهِرِيْنَ، وَعَنْ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ، أَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ وَعَنِ الْأَئِمَّةِ الْمُهْتَدِيْنَ، أَبِيْ حَنِيْفَةَ وَمَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ وَعَنِ الْأَوْلِيَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ

أَمَّا بَعْدُ،فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ فَاتَّقُوْهُ، وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلٰى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ:اِنَّ اللّٰهَ وَمَلٰۤىِٕكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا ٥٦،اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰىآلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلٰى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلٰىآلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰىآلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلٰى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلٰىآلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ،فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبَّنَاآتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ،اَللّٰهُمَّ اجْعَلْنَا هُدَاةً مُهْتَدِيْنَ غَيْرَ ضٰالِّيْنَ وَلاَ مُضِلِّيْنَ، اَللّٰهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِنَا وآمِنْ رَّوْعَاتِنَا وَاكْفِنَا مَا أَهَمَّنَا وَقِنَا شَرَّ ما نَتَخوَّفُ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبٰى ويَنْهٰى عَنِ الفَحْشٰاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَاتَّقُوْهُ يَجْعَلْ لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ مَخْرَجًا، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

 

Ustadz Nur Rohmad, Peneliti/Pemateri Bidang Akidah, Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur







Waktu Penyembelihan Kurban ketika Shalat Idul Adha Ditiadakan

Penyembelihan hewan kurban (udhiyah/tadhiyah) dilaksanakan pada hari nahar (tanggal 10 Dzulhijjah/hari raya Idul Adha) hingga hari taysrik (11, 12, dan 13 Dzulhijjah). Penyembelihan kurban sangat dianjurkan bagi umat Islam (yaitu mereka yg mampu) sebagai bentuk syiar agama.

Imam An-Nawawi menjelaskannya sebagai berikut:

التضحية سنة مؤكدة وشعار ظاهر. ينبغي لمن قدر أن يحافظ عليها

Artinya, “Ibadah kurban itu sunah muakkad dan syiar yg nyata. Orang yg mampu seyogianya menjaga kesunahan ini,” (lihat Al-Imam An-Nawawi, Raudhatut Thalibin wa Umdatul Muftin, [Beirut: Darul Fikr: 2005 M/1425-1426 H], juz II, halaman 462).

Waktu penyembelihan hewan kurban berawal dari terbitnya matahari pada hari nahar/hari raya Idul Adha (10), persisnya setelah berlalu sekira orang melakukan shalat dua rakaat dan menyampaikan dua khotbah singkat.  

قوله (ووقت التضحية) يدخل (بعد طلوع الشمس يوم النحر و) بعد (مضي قدر ركعتين وخطبتين خفيفات) بأن يمضي من الطلوع أقل ما يجزىء من ذلك وإن لم يخرج وقت الكراهة ولم يذبح الإمام. فلو ذبح قبل ذلك لم يجز وكان شاة لحم لخبر الصحيحين أَوَّلُ مَا نَبْدَأُ بِهِ فِي يَوْمِنَا هَذَا نُصَلِّي ، ثُمَّ نَرْجِعُ فَنَنْحَرُ مَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ أَصَابَ سُنَّتَنَا ، وَمَنْ ذَبَحَ قَبْلُ فَإِنَّمَا هُوَ لَحْمٌ قَدَّمَهُ لِأَهْلِهِ لَيْسَ مِنْ النُّسُكِ فِي شَيْءٍ

Artinya, “(Awal) waktu penyembelihan kurban masuk setelah matahari terbit pada hari nahar (hari raya Idhul Adha) dan setelah berlalu sekira pelaksanaan shalat dua rakaat dan dua khotbah ringan, yaitu sekadar durasi minimal pelaksanaan itu, sekalipun tak keluar waktu makruh dan sekalipun imam (kepala negara) tak menyembelih kurban. Kalau seseorang menyembelih kurban sebelum itu (waktunya), maka tak boleh dan ia menjadi kambing pedaging sebagaimana hadits pada Bukhari dan Muslim, ‘Awal kali yg kami lakukan pada hari (nahar) kami ini ialah melaksanakan shalat. Kemudian kami pulang, lalu menyembelih hewan kurban. Siapa saja yg melakukannya maka ia telah mendapatkan sunnah kami. Tetapi siapa saja yg menyembelih (hewan) sebelum itu, maka ia menjadi (hewan pe)-daging yg dipersembahkan buat keluarganya, tak mendapatkan sedikitpun keutamaan kurban,’” (Syekh Said bin Muhammad Ba’asyin, Buysral Karim bi Syarhi Masa’ilit Ta’lim, [Beirut, Darul Fikr: 2012 M/1433-1434 H], juz II, halaman 588).

Adapun penyembelihan hewan kurban sebelum waktu kurban yg ditentukan tak bernilai ibadah kurban. Penyembelihan hewan kurban sebelum waktunya dianggap sebagai penyembelihan biasa yg tak mengandung keutamaan kurban sebagaimana keterangan hadits Bukhari dan Muslim yg dikutip Syekh Said Ba’asyin.

Oleh sebab itu, ulama fiqih menyimpulkan bahwa penyembelihan hewan kurban sebelum waktunya tak dapat disebut ibadah kurban sebab menyalahi ketentuan. Berikut ini pandangan salah satu ulama dari mazhab syafi’i terkait penyembelihan hewan kurban sebelum waktunya. 

فلو ذبح قبل ذلك لم يقع أضحية

Artinya, “Siapa saja yg menyembelih (hewan) sebelum (waktunya) itu, maka ia tak menjadi ibadah kurban,” (Sayyid Bakri Syatha, I’anatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr: 2005 M/1425-1426 H], juz II, halaman 377).

Lalu bagaimana dgn waktu penyembelihan hewan kurban ketika shalat Idul Adha ditiadakan di masjid-masjid seperti pelaksanaan shalat Idul Adha (1442 H yg bertepatan dgn 20 Juli 2021 M) di rumah saat pandemi? Hampir dapat dipastikan (meski sebagian kecil keluarga juga menggelar khotbah shalat Idul Adha di rumah) bahwa shalat Idul Adha dua rakaat di rumah tak diikuti dgn khotbah shalat Id.

Ketika shalat Idul Adha ditiadakan di masjid, tentu berikut dgn khotbahnya, maka penyembelihan hewan kurban disarankan buat dilaksanakan setelah waktu shalat dua rakaat dan dua khotbah singkat Idul Adha berlalu pada umumnya.

فَلَوْ ذَبَحَ قَبْلَ ذَلِكَ أَوْ بَعْدَهُ لَمْ يَقَعْ أُضْحِيَّةً. . . (وَالْأَفْضَلُ تَأْخِيرُهَا إلَى مُضِيِّ ذَلِكَ مِنْ ارْتِفَاعِهَا) أَيْ شَمْسِ يَوْمِ النَّحْرِ (كَرُمْحٍ) خُرُوجًا مِنْ الْخِلَافِ

Artinya, “Siapa saja yg menyembelih (hewan) sebelum atau (waktunya) itu, maka ia tak menjadi ibadah kurban… Yang utama penyembelihan hewan kurban ditunda sampai (shalat dan khotbah singkat) itu berlalu sejak naiknya matahari pada hari nahar (Idul Adha 10 Dzulhijjah) sekira setinggi tombak buat keluar dari ikhtilaf ulama,” (Syekh Abu Zakariya Al-Anshari, Fathul Wahhab pada Hasyiyatul Bujairimi Alal Manhaj, [Beirut, Darul Fikr: 2008 M/1427-1428 H], juz IV, halaman 298).

Dengan kata lain, Syekh Abu Zakaria Al-Anshari menyarankan penyembelihan hewan kurban dilakukan sekira-kira setelah shalat dua rakaat dan khotbah singkat Idul Adha seandainya diadakan di masjid.

Jadi, ketika shalat Idul Adha ditiadakan sebab pandemi atau uzur lainnya, waktu penyembelihan hewan kurban bukan berarti dimajukan. Waktu penyembelihan hewan kurban tetap dimulai setelah durasi pelaksanaan shalat dan khotbah singkat Idul Adha diperkirakan berlalu. Hal ini dimaksudkan supaya keluar dari ikhtilaf. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)





Akibat Meremehkan Abu Hurairah

Abdurrahman bin Shakhr atau yg lebih dikenal dgn nama kun-yah Abu Hurairah ialah seorang sahabat Nabi Muhammad ï·º yg namanya sering disebut dalam kutubu-l hadits (kitab-kitab hadits). Dalam thabaqatu-s shahabah, beliau-lah yg paling banyak meriwayatkan hadits dgn total mencapai 5.374 buah.

Jumlah sebanyak ini memicu munculnya stigma negatif yg dilancarkan oleh para orientalis dan sarjana Muslim mengingat beliau baru masuk Islam dan menjadi ahlu-s shuffah pada tahun 7 H. Artinya, Abu Hurairah hanya sekitar tiga tahun saja mendapat pengajaran dari Nabi Muhammad ï·º. Hal ini tentu berbanding terbalik dgn total periwayatan sahabat lain yg sedari awal telah membersamai Nabi dalam Islam.Â
Â

Kisah peremehan dan perendahan kepada Abu Hurairah tercatat dalam Hilyatu-l Auliya’ wa Thqbaqatu-l Ashfiya’ susunan Imam Abu Nu’aim Al-isfahani (Daru-l Kutubi-l ‘Ilmiyyah, juz 1, hal. 105). Pada bab tentang kekeramatan Abu Hurairah, beliau mengutip sebuah kisah sebagaimana yg diceritakan oleh Qadhi Abu Thayyib:

Kami pernah berada dalam suatu majelis diskusi dan tiba-tiba datang seorang pemuda dari Khurasan (Iran) bertanya tentang suatu permasalahan dan meminta dalil tentang masalah tersebut. Maka seorang dari kami mendatangkan hadits yg diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim dari jalur Abu Hurairah. Akan tetapi pemuda itu menolak menerimanya dan berkata, “Hadits dari Abu Hurairah tak boleh diterima…”

Entah sebab memang membenci Abu Hurairah atau orang tersebut tak tahu bahwa permintaan beliau ‘Wahai, Rasulullah! Kami memohon ilmu yg tak mau dilupakan’ telah diaminkan oleh Nabi Muhammad ﷺ, maka keajaiban pun terjadi.

Belum sempat si pemuda menyelesaikan kalimatnya, seekor ular jatuh dari arah atas sehingga orang-orang yg ada di sana lari tunggang-langgang menghindari gigitan dan lilitan hewan ini. Anehnya, ular yg jatuh itu hanya mengejar pemuda tersebut dan tak mengejar yg lain. Menyadari dirinya telah melakukan kesalahan, akhirnya dia berkata, “Aku bertobat, aku bertobat!” sehingga ular itu menghilang tanpa bekas.

Semoga dgn kisah ini, kita selalu tergolong sebagai golongan yg selalu memuliakan para sahabat Nabi Muhammad ï·º tanpa ada sedikitpun rasa benci yg tertanam di hati. Aamiin.

Â

Moch. Adnan Al Ghafiqi, Tenaga pendidik MTs NU Islamiyah Situbondo





empat Azab Umat Terdahulu yg Dihilangkan di Zaman Rasulullah

Hubungan Allah dan umat sebelum Nabi Muhammad SAW berbeda dgn hubungan Allah dan umat di zaman Nabi Muhammad SAW. Ketika kekufuran dan maksiat merajalela, Allah langsung menurunkan azabnya buat umat tersebut. Tetapi di zaman Nabi Muhammad SAW, Allah cenderung menahan azab-Nya yg luar biasa. Semua ini tak lepas dari doa Rasulullah SAW sebab kasih saying beliau kepada umatnya.

Syahdan, Rasulullah SAW merenung ketika menerima Surat Al-An’am ayat 65. Beliau menimbang empat bentuk azab dari segi kedahsyatannya lalu kemudian berdoa supaya Allah menahan empat jenis azab tersebut buat umatnya.

Adapun Surat Al-An’am ayat 65 berbunyi sebagai berikut:

قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَىٰ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَابًا مِنْ فَوْقِكُمْ أَوْ مِنْ تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ أَوْ يَلْبِسَكُمْ شِيَعًا وَيُذِيقَ بَعْضَكُمْ بَأْسَ بَعْضٍ ۗ انْظُرْ كَيْفَ نُصَرِّفُ الْآيَاتِ لَعَلَّهُمْ يَفْقَهُونَ

Artinya, “Katakan, ‘Dia berkuasa buat mengirimkan kepadamu azab dari atas kamu atau dari bawah kakimu; atau buat mencampurkan kamu dalam firkah-firkah (yg saling berseteru) dan menimpakan kekerasan sebagian kamu kepada sebagian yg lain.’ Perhatikan bagaimana Kami menunjukkan silih berganti tanda kebesaran Kami supaya mereka memahami,” (Surat Al-An’am ayat 65).

Menurut Rasulullah, dua jenis azab terakhir yg paling ringan dari empat jenis azab yg pernah diturunkan kepada umat-umat nabi terdahulu. Pertimbangan Rasulullah ini dikutip Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Badzlul Ma‘un fi Fadhlit Tha‘un, [Riyadh, Darul Ashimah: tanpa tahun] sebagai berikut.

عن جَابِر بْن عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُ لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَة “قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَى أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَابًا مِنْ فَوْقِكُمْ أَوْ مِنْ تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ” قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “أَعُوذُ بِوَجْهِكَ” فَلَمَّا نَزَلَتْ “أَوْ يَلْبِسَكُمْ شِيَعًا وَيُذِيقَ بَعْضَكُمْ بَأْسَ بَعْضٍ” قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَاتَانِ أَهْوَنُ أَوْ أَيْسَرُ

Artinya, “Dari Jabir bin Abdillah, ia bercerita, ketika (Surat Al-An’am) ayat (65) ini turun ‘Dia berkuasa buat mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu,’ Rasulullah SAW berdoa, ‘Aku berlindung dgn zat-Mu.’ Ketika ‘atau (Dia berkuasa) buat mencampurkan kamu dalam firkah-firkah (yg saling berseteru) dan menimpakan kekerasan sebagian kamu kepada sebagian yg lain,’ Rasulullah SAW menanggapi, ‘Kedua ini lebih ringan atau lebih mudah,’” (HR Bukhari, At-Tirmidzi, Ibnu Hibban, Abu Ya‘la, dan Ibnu Asakir).

Adapun berikut ini ialah permohonan Rasulullah. Tetapi Allah hanya mengabulkan setengahnya sebagaimana dikutip oleh Al-Asqalani dalam Badzlul Ma‘un dan Fathul Bari.

دعوت الله أن يرفع عن أمتي أربعا فرفع عنهم اثنتين وأبى أن يرفع عنهم اثنتين دعوت الله أن يرفع عنهم الرجم من السماء والخسف من الأرض وأن لا يلبسهم شيعا ويذيق بعضهم بأس بعض فرفع الله عنهم والخسف والرجم وأبى الله أن يرفع عنهم الأخيرتين

Artinya, “Aku berdoa supaya Allah supaya menghilangkan empat jenis azab, lalu Allah mengabulkan yg dua, dan enggan menghilangkan dua jenis lainnya. Aku berdoa kepada Allah buat menghilangkan lemparan (batu) dari langit, penelanan (pembenaman seperti Qarun atau penenggelaman zaman Nabi Nuh) oleh bumi, pencampuran dgn keragaman kelompok sosial yg bertentangan, dan penderitaan akibat kekerasan dari sebagian kelompok Muslim lainnya. Allah menghilangkan lemparan (batu) dari langit dan penelanan bumi. Dia enggan menghilangkan dua permintaan terakhir,” (Al-Asqalani, Badzlul Ma‘un: 124-125).

Lalu bagaimana kita memaknai hadits tersebut di tengah peristiwa-peristiwa yg serupa dgn azab umat terdahulu? Menurut Al-Asqalani, semua bentuk bencana itu mungkin saja dan kenyataannya sebagian telah terjadi. Tetapi bencana tersebut tak dianggap sebagai azab yg membinasakan umat Islam secara keseluruhan.

وقد وقع الرجم والخسف والغرق وتسليط العدو الكافر على بعض الأمة وعلى بعض البلاد فدل على أن المراد بنفي ذلك عن الأمة نفيه عن جميعهم وأن وقوع ذلك لبعضهم لا يقدح في صحة الحديث لصلاحية اللفظ لإرادة الكل والبعض 

Artinya, “Lemparan batu, pembenaman bumi, penenggelaman, dan pendudukan orang kafr pada sebagian umat atau sebagian negeri memang terjadi. Jadi, hadits ini menunjukkan bahwa yg dimaksud dgn penghilangan azab dari umat Islam ini ialah penghilangan azab terhadap mereka secara keseluruhan. Adapun kejadian yg menimpa sebagian umat Islam tak mencederai kesahihan hadits ini sebab kepatutan lafalnya dgn maksudnya secara keseluruhan dan sebagian,” (Al-Asqalani, Badzlul Ma‘un: 125).

Allah memang hanya mengabulkan setengah dari permohonan Rasulullah, yaitu dua azab yg paling ringan. Meski azab ringan, perselisihan dan pertikaian yg mendera umat Islam tetap merupakan sebuah azab Allah yg memudharatkan dan menyengsarakan sebagaimana perang saudara atas nama Allah, negara Islam, agama Islam, ulama, Al-Qur’an, atau atas nama Nabi Muhammad SAW. Oleh sebab itu, kita tetap memohon perlindungan kepada Allah dari semua jenis azab-Nya meski yg paling ringan.

الاختلاف والفتنة أيسر من الاستئصال والانتقام بعذاب الله ، وإن كانت الفتنة من عذاب الله لكن هى أخف ؛ لأنها كفارة للمؤمنين ، أعاذنا الله من عذابه ونقمه

Artinya, “Ikhtilaf dan fitnah/kekacauan lebih mudah ketimbang pembinasaan dan penyiksaan dgn azab Allah. Sekalipun bagian dari azab-Nya, fitnah masih tetap lebih ringan sebab fitnah ialah penghapusan dosa bagi orang beriman. Semoga Allah melindungi kita dari azab dan siksa-Nya,” (Ibnu Bathal Al-Qurthubi, Syarah Shahih Bukhari, [Riyadh, Maktabah Ar-Rusyd-As-Sa’udiyyah, 2003 M/1423 H], juz 10, halaman 360).

Adapun wabah penyakit yg terjadi berlaku sebagai azab umat terdahulu (Bani Israil) dan sebagai rahmat bagi orang beriman di zaman Rasulullah. Siti Aisyah RA meriwayatkan hadits yg mengandung ganjaran besar bagi umat Islam atas kesabaran dan pengertiannya terhadap ketentuan Allah serta menahan diri di daerah masing-masing.

عن عائشة زوج النبي صلى الله عليه وسلم أنها أخبرتنا أنها سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الطاعون فأخبرها نبي الله صلى الله عليه وسلم أنه كان عذابا يبعثه الله على من يشاء فجعله الله رحمة للمؤمنين فليس من عبد يقع الطاعون فيمكث في بلده صابرا يعلم أنه لن يصيبه إلا ما كتب الله له إلا كان له مثل أجر الشهيد

Artinya, “Dari Siti Aisyah RA, ia mengabarkan kepada kami bahwa ia bertanya kepada Rasulullah SAW perihal tha‘un, lalu Rasulullah SAW memberitahukannya, ‘Zaman dulu tha’un ialah siksa yg dikirimkan Allah kepada siapa saja yg dikehendaki oleh-Nya, tetapi Allah menjadikannya sebagai rahmat bagi orang beriman. Tiada seorang hamba yg sedang tertimpa tha’un, kemudian menahan diri di negerinya dgn bersabar seraya menyadari bahwa tha’un tak mau mengenainya selain sebab telah menjadi ketentuan Allah buatnya, niscaya ia mau memperoleh ganjaran seperti pahala orang yg mati syahid,’” (HR Bukhari). Wallahu a‘lam. (Alhafiz Kurniawan)





Khutbah Idul Adha: Kurban, Pengorbanan, & Kemanusiaan

Naskah khutbah Jumat kali ini mengajak kepada khalayak buat mengingat perihal kurban sebagai hakikat kemanusiaan. Dengan ini diharapkan kita semua mampu menghidupkan sensitivitas kita sebagai manusia, terlebih di era pandemi Covid-19 ini.

Teks khutbah Jumat berikut ini berjudul “Kurban, Pengorbanan, dan Kemanusiaan”. Untuk mencetak naskah khutbah Jumat ini, silakan klik ikon print berwarna merah di atas atau bawah artikel ini (pada tampilan dekstop). Semoga bermanfaat! (Redaksi)


Khutbah I

Â

 اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لَاإِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ، لاَإِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَللهِ اْلحَمْدُ.

اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ أَمَاتَ ÙˆÙŽ أَحْيَى. اَلْحَمْدُ للهِ الًّذِيْ أَمَرَنَا بِالتَّقْوَى ÙˆÙŽ نَهَانَا عَنِ اتِّبَاعِ الْهَوَى. اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ جَعَلَ لَنَا عِيْدَ الْفِطْرِ ÙˆÙŽ اْلأَضْحَى. أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ نِعْمَ الْوَكِيل وَنِعْمَ الْمَوْلَى، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ ÙˆÙŽ مَنْ يُنْكِرْهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً بَعِيدًا. ÙˆÙŽ صَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا ÙˆÙŽ حَبِيْبِنَا الْمُصْطَفَى، مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الْهُدَى، الَّذِيْ لاَ يَنْطِقُ عَنْ الْهَوَى، إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْحَى، ÙˆÙŽ عَلَى اَلِهِ ÙˆÙŽ أَصْحَابِهِ أَهْلِ الصِّدقِ ÙˆÙŽ الْوَفَا. اَللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِمَّنْ اِتَّبَعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْجَزَا. أَمَّا بَعْدُ: فَيَاأيُّهَا الإِخْوَان، أُوْصِيْكُمْ ÙˆÙŽ نَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنْ، قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي اْلقُرْانِ اْلكَرِيمْ: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الَّشيْطَانِ الرَّجِيْم، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمْ إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ. فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ. إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ. صَدَقَ اللهُ العَظِيمْÂ

Jamaah shalat Idul Adha hadâkumullâh, 

Segala puji bagi Allah swt, Tuhan alam semesta, yg telah menganugerahkan berjuta kenikmatan kepada kita di antaranya ialah kenikmatan beridul adha walau dalam suasana pandemi Covid-19 yg belum juga mereda. Semua ini harus kita syukuri sebagai hamba yg tahu diri, sebab segala yg terjadi di muka bumi ini, Allahlah yg paling mengerti.

Pada tahun ini, kita kembali merayakan Idul Adha dalam keterbatasan. Gelombang kedua penyebaran Covid-19 di tanah air yg terus mengalami lonjakan, membuat pemerintah mengambil kebijakan ketat dalam rangka wujud perlindungan. Tidak semua daerah dapat melaksanakan kegiatan Ibadah shalat Idul Adha sebagaimana biasa. Begitu juga ibadah kurban yg selalu mengiringi hari raya ini pun tak serta merta dapat dilaksanakan dgn leluasa. Sekali lagi, ini ialah wujud ikhtiar kita bersama buat menjaga diri, sehingga negeri ini mampu melewati takdir yg telah didatangkan oleh Allah yg maha tinggi.

تَصَرُّفُ الْأِمَاِم عَلَى الرَّاعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ

“Tindakan pemerintah terhadap rakyatnya dilakukan berdasarkan kemaslahatan.”

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ ولله الحمد
Â

Jamaah Idul Adha yg dirahmati Allah swt, 

Dalam situasi sulit yg sedang melanda, Hari Raya Idul Adha tak boleh kehilangan makna dan esensinya. Idul Adha mengajarkan kepada kita bagimana berani berkorban dgn apa yg kita punya buat membatu orang lain yg membutuhkan uluran tangan kita. Di antaranya ialah dgn ibadah kurban yg merupakan wujud pengorbanan buat kemanusiaan pada sesama. Kita harus dapat mengambil hikmah mulia, ketika Allah swt memerintahkan Nabi Ibrahim as buat menyembelih putra semata waygnya, Nabi Ismail as. Perintah suci ini mengandung makna bahwa hidup perlu pengorbanan buat memperkuat tali persaudaraan antarsesama.Â

Manusia ialah makhluk sosial yg tak dapat hidup sendiri. Manusia merupakan makhluk yg membutuhkan orang lain dalam mewujudkan eksistensi. Maka ketika kita ada kelebihan rezeki dan dapat berkorban dgn kurban bagi orang lain di tengah pandemi, alangkah baiknya tak ditunda-tunda lagi. Yakinlah, bahwa kurban kita mau diterima Allah swt dan mau dilipatgandakan pahalanya sebab benar-benar mampu membantu orang lain yg sedang mengalami kesulitan dan duka. Dalam sebuah hadits yg diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah ra Rasulullah bersabda:

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِÂ

Artinya: “Siapa yg menyelesaikan kesulitan seorang mukmin dari berbagai kesulitan-kesulitan dunia, niscaya Allah mau memudahkan kesulitan-kesulitannya pada hari kiamat. Siapa yg memudahkan orang yg sedang kesulitan niscaya Allah mudahkan baginya di dunia dan akhirat.Â

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ ولله الحمدÂ

Jamaah Idul Adha yg dirahmati Allah swt, 

Kisah keteguhan iman dan kerelaan Nabi Ibrahim dalam mengorbankan sesuatu yg paling dicintainya, patut dicontoh oleh kita semua. Ketika kita mengorbankan sesuatu bagi sesama, maka marilah kita berikan yg terbaik buat mereka. Kita tak perlu khawatir bila harta yg kita berikan di jalan Allah mau berkurang jumlahnya. Malah sebaliknya, Allah telah berjanji bahwa siapa saja memberikan yg terbaik dari hartanya dalam rangka kepatuhan menjalankan perintah-Nya, maka mau dilipatgandakan dgn jumlah yg tak terduga-duga bagi siapa saja yg dikehendaki Allah swt. Hal ini ditegaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 261 berbunyi:Â

مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Artinya: “Perumpamaan orang-orang yg menafkahkan harta mereka di jalan Allah ialah dgn butir benih yg menumbuhkan tujuh butir, pada setiap butir seratus biji. Allah (terus-menerus) melipatgandakan bagi siapa yg Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karuniaNya) laga Maha Mengetahui.”  Â

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وللهِ الْحَمْدُ
Â

Jamaah Idul Adha yg dirahmati Allah swt, 

Ibadah kurban yg telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim as juga memiliki makna ajaran buat menjunjung tinggi kemanusiaan dalam beragama. Kita perlu merenungkan mengapa Allah swt mengganti Nabi Ismail as dgn seekor domba. Hal ini mengandung hikmah di antaranya tak diperbolehkannya mengorbankan dan meneteskan darah manusia. Penggantian “objek kurban” dari manusia ke binatang juga mengandung makna bahwa manusia memiliki hak buat hidup di dunia. Siapa pun atas nama apa pun tak boleh menghilangkannya.

Dalam konteks kekinian, kita harus menjunjung tinggi hak asasi manusia yakni hak buat hidup, mendapatkan kesehatan, dan terjaga keselamatan jiwanya. Apalagi di tengah pandemi Covid-19 yg belum juga mereda, kita tak boleh egois dan abai sehingga menjadikan orang lain celaka. Penerapan protokol kesehatan sebagai ikhtiar terhindar dari Covid-19 harus ditegakkan bersama. Tidak dapat hanya dilakukan oleh sebagian orang saja. Kedisiplinan kita dalam menjaga diri, yg dimulai dari diri sendiri, mau berdampak kepada keselamatan orang lain sehingga kemanusiaan pun dapat kita junjung tinggi.

Allah swt berfirman dalam QS Al Maidah ayat 32:

مَنْ قَتَلَ نَفْسًاۢ بِغَيْرِ نَفْسٍ اَوْ فَسَادٍ فِى الْاَرْضِ فَكَاَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيْعًاۗ وَمَنْ اَحْيَاهَا فَكَاَنَّمَآ اَحْيَا النَّاسَ جَمِيْعًا

Artinya: “Barangsiapa membunuh seseorang, bukan sebab orang itu membunuh orang lain, atau bukan sebab berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia.”
Â

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وللهِ الْحَمْدُ

Jamaah Idul Adha yg dirahmati Allah swt, 

Demikianlah hikmah kurban yg merupakan wujud pengorbanan kita dalam rangka menjunjung tinggi kemanusiaan. Semoga kita mau menjadi sosok yg membawa kemaslahatan bagi sesama dan kehidupan kita senantiasa mendapatkan ridha dan keberkahan dari Allah swt. Amin

 بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم 

Khutbah II

اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ 

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِي إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا. أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُواااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَّى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيِّ يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ 

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتَنِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ 

H. Muhammad Faizin, Sekretaris PCNU Kabupaten Pringsewu, Lampung





Tak Jadi Dioperasi setelah Banyak Baca Istighfar & Minta Maaf

Seorang ibu setengah baya – sebut saja Ibu Rina – baru-baru ini bercerita bahwa ia tak jadi dioperasi oleh dokter kandungan setelah mengamalkan banyak membaca istighfar dan meminta maaf kepada orang-orang di sekitarnya. Hal itu sebagaimana ia kisahkan secara singkat sebagai pengalaman pribadi lewat akun Facebooknya. Tulisan ini merupakan penceritaan ulang dgn berbagai modifikasi atas izinnya.Â
Â

Ibu Rina ialah seorang pembaca setia NU Online. Banyak ilmu agama ia dapatkan sebagai tambahan dari apa yg telah dia terima ketika belajar di pesantren belasan tahu lalu. Di antara ilmu tambahan itu ialah tentang adab berdoa dan hal-hal yg dapat menghalangi terkabulnya
Â

Ilmu itu sangat bermanfaat ketika ia mengahadapi vonis dokter bahwa ia harus menjalani operasi angkat rahim yg disebut histerektomi sehubungan kondisi kandungannya yg melebar.Â

Â
Dokter mengatakan, “Rahim Ibu harus diangkat. Harus operasi. Rahim Ibu mengalami pelebaran.”

Â
Ibu Rina memang periksa ke dokter setelah berhari-hari mengalami pendarahan. Selama ini ia mengira itu darah haid biasa, tetapi memang tak wajar. Dari rahimnya terus mengalir darah yg sangat mengganggu kenyamanan dan juga aktivitasnya sehari-hari. Ibu Rina tak saja seorang ibu rumah tangga tetapi juga seorang guru yg mengajar di sebuah sekolah.Â

Â
“Astaghfirullah’adzim…” Itulah kalimat pertama yg keluar dari mulut Ibu Rina ketika mendengar saran dokter yg mengatakan ia harus menjalani operasi angkat rahim supaya pendarahan dapat berhenti. Saran itu terdengar bagaikan petir di siang hari yg cerah. Tak ada mendung, tak ada rintik hujan, tiba-tiba petir menggelegar dgn kerasnya.Â

Betapa tak! Trauma lama akibat dua kali operasi caesar ketika melahirkan dua putranya berturut-turut belum sembuh benar, kini ia diperintahkan menjalani operasi lagi!Â

Â
“Pak dokter, saya belum siap operasi lagi. Sudah dua kali saya menjalani operasi caesar. Rasanya baru kemarin kedua operasi itu berlangsung. Saya takut dok kalau harus operasi lagi. Apalagi dalam waktu dekat ini. Mohon Pak dokter buat sementara saya cukup diobati saja buat mengurangi pendarahan sambil menunggu saya berani dioperasi lagi.”Â

“Baik Ibu, buat sementara cukup diobati saja dulu sambil menunggu kesiapan Ibu menjalani operasi,” jawab dokter itu menyetujui usul Ibu Rina.Â

Dari rumah sakit, Ibu Rina pulang ke rumah. Dipikirkannya dalam-dalam permasalahan yg dihadapinya. Ia sadar Allah sedang mengujinya. Ia berharap Allah mau memberinya kesabaran supaya ia lulus dari ujian-Nya.Â

Dalam kegalauannya ia teringat mau ilmu yg telah diterimanya bahwa sebaik-baik doa ialah istighfar. Ia pernah membaca dari laman NU Online tentang dahsyatnya istighfar bahwa menurut Sayyidina Ali bin Abi Thalib ada satu doa pendek namun dapat mengeluarkan dari kesusahan yakni memperbanyak istighfar. Artinya dgn memperbanyak istighfar, doa seseorang mau sangat diperhatikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala

Â
Tak hanya itu, ia juga pernah membaca dari berbagai sumber bahwa supaya doa mudah dikabulkan, maka doa harus dipanjatkan dgn sepenuh keyakinan bahwa Allah mau mengabulkannya. Namun ia juga tak lupa bahwa pengabulan doa dapat terhambat dan bahkan dapat ditolak bila orang yg berdoa itu hatinya lalai dari mengingat Allah. Apalagi bila pendoa itu memiliki banyak kesalahan kepada sesama manusia.Â

Ia paham. Jalan keluar dari kedua masalah tersebut ialah memperbanyak istighfar dan meminta maaf kepada orang-orang yg mungkin pernah ia salahi. Untuk itulah setiap hari Ibu Rina berdoa kepada Allah supaya diberi-Nya keberanian menjalani operasi. Atau cukuplah Allah memberinya kesembuhan tanpa harus operasi.Â

Â
“Ya Allah, hamba-Mu berharap supaya Engkau menyembuhkan penyakit hamba ini tanpa operasi.”Â

Doa itu dibacanya berulang-ulang dgn diselingi bacaan istighfar. Pada saat yg sama Ibu Rina menyempatkan diri menemui kedua orang tua dan juga mertua buat secara khusus memohon maaf atas kesalahan-kesalahannya sekaligus memohon doa restu supaya penyakitnya sembuh tanpa operasi. Hal yg sama juga dilakukannya terhadap suami dan teman-teman dekat serta para tetangga.Â
Â

Dua minggu kemudian Ibu Rina kembali ke dokter yg menanganinya. Kali ini ia mengatakan bahwa ia belum siap dioperasi. Ia masih takut. Ia kembali meminta diberi obat buat mengurangi pendarahan. Dokter sekali lagi menyetujui usulan Ibu Rina.Â

Â
Pada minggu kelima Ibu Rina kembali ke dokter dgn diantar keluarga. Kali ini ia membawa serta beberapa pakaian dan beberapa kelengkapan ke rumah sakit. Ia telah siap dioperasi setelah lebih dari sebulan lamanya menata hati dan mental buat menjalani operasi. Ia telah berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Ia tak takut lagi dioperasi namun tetap berdoa supaya penyakitnya sembuh tanpa dokter harus mengoperasi rahimnya.Â

Â
Allah Maha Besar. Keajaiban terjadi. Dokter yg menanganinya mengatakan Ibu Rina tak perlu operasi rahim sebab dari hasil USG diketahui kondisi rahim Ibu Rina telah membaik. “Sudah normal. Soal pendarahannya yg masih terjadi tetap kita obati dgn obat yg lebih baik. Insyaallah sembuh semua dan tuntas.”Â

Â
Mendengar apa yg dikatakan dokter Ibu Rina hanya dapat berucap “alhamdulilah…” sambil membiarkan kedua pipinya basah oleh derai air mata dari kedua pelupuk matanya yg tak mampu dia bendung.Â

Â
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.





Mengupas Tuntas Wirid Asma Allah Yaa Lathif

 

Arti dari Ya Latif

Lafadz al latif secara harfiyah berarti lembut. Dalam asmaul husna, al latif ini adalah asma Allah yang ke-29. Al latif asal katanya ialah latafa yang artinya kecil, lembut, atau halus.

Keutamaan dari dzikir Yaa Lathif

Diketahui bahwa keutamaan dari membaca dzikir al latif ialah mendatangkan dan menarik rezeki, sebagai wasilah untuk membebaskan diri dari penjara, cepat terlaksananya keinginan dan hajat dan lain sebagainya.

Dalam kitab karya Habib Attas Al Habsyi, yaitu kitab Ta’rifudzzurriyyah Al-Habasyiyyah, kurang lebih disebutkan bahwa ketika berbagai kesulitan datang dan malapetaka datang secara beruntun, maka bacalah al latif sebanyak 16.641 kali.

Kemanjuran dari ikhtiar ini sudah terbukti dan dilakukan juga pembacaan surat Yaasin hingga sebanyak 41 kali.

Sementara itu, dalam kitab Manhajul Hanif, Imam Abu Yazid al-Busthami menjelaskan bahwa mereka yang membiasakan diri untuk membaca ya latif hingga 129 kali lalu membaca QS. As-Syuura ayat 19, mereka akan dipermudah urusannya, baik itu dalam segi rezeki maupun yang lainnya.

Adapun QS. As-Syuura ayat 19 yang dimaksud ialah sebagai berikut:

 

اللَّهُ لَطِيفٌ بِعِبَادِهِ يَرْزُقُ مَن يَشَاءُ ۖ وَهُوَ الْقَوِيُّ الْعَزِيزُ

“Allah Dzat yang Maha lembut terhadap hamba-hamba-Nya. Dia memberi rezeki kepada hamba yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” 

Berdasarkan sejumlah hal di atas, maka sahabat muslim semuanya, dapat disimpulkan bahwa keutamaan dan manfaat dari membaca dzikir al latif ialah sebagai berikut:

  1. Menarik rezeki atau jalbur rizki
  2. Untuk mempercepat terlaksananya hajat atau keinginan atau li qodlo’il hajat
  3. Wasilah untuk membebaskan diri dari penjara atau li kholasil masjun
  4. Halimunan atau menghilang dari pandangan orang lain atau li ikhfa’i an ainidz dzulmah

Cara Mengamalkan

Apabila  ingin mengamalkan dzikir al latif, maka perlu mengetahui tata cara dalam mengamalkannya terlebih dahulu. Adapun cara untuk mengamalkan dzikir al latif ada 2 sebagaimana yang disebutkan di bawah ini:


  1. Cara Pertama

Jika sebagai wiridan biasa dapat diamalkan hingga 129 kali setelah sahabat muslim selesai menunaikan sholat maghrib dan sholat subuh. Namun, lebih bagus lagi apabila diamalkan tiap-tiap selesai mengerjakan sholat fardhu.

Setelah itu, dilanjutkan dengan membaca QS. Asy-Syuuro ayat 19 di atas sebanyak 7 kali. Berikutnya dilanjutkan dengan membaca doa berikut sebanyak 7 kali pula.

 

اَللهُمَّ اِنِّىْ اَسْأَلُكَ اَنْ تَرْزُقَنِىْ رِزْقًا حَلاَلاً وَاسِعًا طَيِّبًا مِنْ غَيْرِ تَعَبٍ وَلاَمَشَقَّةٍ وَلاَضَيْرٍ وَلاَنَصَبٍ اِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيْرٌ

Artinya: “Ya Allah, aku minta pada Engkau agar melimpahiku rizki yang halal, luas, dan baik tanpa kesusahan, tanpa kemelaratan dan tanpa kepayahan. Sesungguhnya Engkau berkuasa atas segala sesuatu.”


  1. Cara Kedua

Sementara untuk cara kedua, al latif dibaca hingga 16.641 dalam sekali duduk. Namun sebelum sahabat muslim mulai membacanya, sebaiknya lakukan sholat hajat dulu.

Setelah itu, setiap kali pembacaan al latif mencapai hitungan 129, sebaiknya baca doa serta ayat yang telah disebutkan sebelumnya.

 

Begitu besar fadhilah al latif ini, sehingga tidak ada salahnya jika dimasukkan sebagai bagian dari wirid yang harus dibaca setiap selesai sholat fardhu. Semoga kita bisa istiqomah dalam mengamalkannya dan dikabulkan segala hajat. Amin. Wallahu a’lam bish showab.





Mengenal Nama dan Metode dalam Penyusunan Kitab-kitab Hadits

Al-Quran dan Hadis merupakan sumber hukum, pedoman hidup, dan ajaran. Antara satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan, keduanya merupakan satu kesatuan. Al-Quran sebagai sumber pertama dan utama banyak memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global. Oleh karena itu, kehadiran hadis sebagai sumber ajaran ke dua tampil untuk menjelaskan isi al-Quran tersebut.


Diantara fungsi hadis terhadap al-Quran ialah

  • Bayan Taqrir, 
  • Bayyan al-Tafsir, 
  • Bayan al-Tasyri’, dan 
  • Bayan Taqyid al-Muthlaq.
 Namun, pada kesempatan ini tidak bermaksud menguraikan pembahasan tersebut. Penulis hanya mengetengahkannnya untuk melihat pesan sentral Hadis dalam Islam agar senantiasa dijaga, dipelihara sebagaimana menghormati dan memuliakan al-Quran.

Melalui tulisan ini, penulis ingin melihat satu aspek hadis yang tidak terlepas dari aspek kesejarahan, yaitu awal mula penulisan hadis pada zaman Sahabat hingga masa kodifikasi/pengumpulan dan dibukukannya oleh para ulama setelahnya. Penekanan penulis dalam bahasan ini terkait bentuk-bentuk kitab hadis mulai dari masa awal hingga masa final. Olehnya, penulis memilih judulnya dengan, “Nama dan Metode Penyusunan Kitab-kitab Hadis”.

Kitab-kitab hadis yang ditulis oleh para ulama memiliki metode tersendiri, ada yang berdasarkan topik tertentu seperti bab-bab fiqih, berdasarkan sanad/rawi, atau menggabungkan beberapa topik pembahasan sekaligus. Setiap metode kemudian memiliki nama tersendiri untuk membedaknnya dengan yang lain. Sebagai perbandingan, penulis juga memberikan informasi penulisan hadis oleh beberapa Sahabat, bahkan ketika Nabi Saw masih hidup. Ini akan menjadi bukti sejarah bahwa penulisan Hadis telah dilakukan oleh para Sahabat pada awal abad ke-1 H, bukan akhir abad ke-1 H, apalagi awal abad ke-2 H.

Adapun mengenai peran Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang menginstruksikan para ahli Hadis untuk menghimpun dan menuliskannya pada akhir abad ke-1 H, di antaranya Ibnu Syihab al-Zuhri dan Abu Bakar bin Amr bin Hazm, dimaknai sebagai awal kodifikasi/pengumpulan resmi hadis-hadis nabi. Bukan awal penulisan hadis karena jauh sebelumnya telah ditulis oleh beberapa Sahabat yang mendapatkan izin langsung dari Rasulullah Saw. Penulis tidak mencantumkan hadisnya agar tidak terlalu jauh dalam pembahasan tersebut supaya tetap fokus mengenai nama dan metode bentuk-bentuk kitab hadis mulai dari masa awal hingga masa final.

Diantara Nama dan Metode Penyusunan Kitab-kitab Hadis dari masa awal, yaitu para sahabat hingga masa final dalam bentuk kodifikasi dan pembukuan yang dilakukan oleh para ahli hadis ialah, Shahifah dan Nuskhah, metode jus dan Atraf, metode Muwatta, metode Mushannaf, metode Musnad, metode Jami’, metode Mustakhraj, metode Mustadrak, metode Sunan, metode Mu’jam, metode Majma’, dan metode Zawa’id. Simak uraiannya di bawah ini:

1) Al-Shahifah dan Nuskhah

Al-Shahifah dan Nuskhah, keduanya dapat diartikan dengan catatan-catatan atau tulisan-tulisan Hadis. Kedua nama inilah yang digunakan pada masa awal Islam untuk menyebut kitab-kitab hadis. Baik Shahifah maupun Nuskhah umumnya dinisbahkan kepada penulisnya karena ketika itu sebagian penulis tidak memberikan nama tertentu bagi tulisannya.

Di antara Shahifah dan Nuskhah yang diketahui ialah:
 

  1. Shahifah Umar bin Khattab, Shahifah ini berisi zakat-zakat binatang ternak. Mengenai Shahifah tersebut, Al-Tirmidzi dan Muhammad bin Abdurrahman al-Anshariy meriwayatkan, “ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah, beliau mengirim surat ke Madinah untuk meminta tulisan Rasulullah Saw yang berisi zakat-zakat dan Shahifah Umar bin Khattab. Umar bin Abdul Aziz pun mendapatkan kesamaan antara tulisan Rasulullah mengenai zakat-zakat dengan Shahifah Umar bin Khattab tersebut.
  2. Shahifah Ali bin Abu Thalib, shahifah ini berisi keterangan tentang umur-umur unta, keharaman madinah, dan tentang seorang muslim tidak boleh dibunuh karena membunuh seorang kafir.
  3. Shahifah Abdullah bin Amr bin ‘Ash, beliau merupakan sahabat yang mendapat izin langsung dari Nabi Saw untuk menulis hadis. Abdullah bin Amr memberikan nama tertentu tulisan hadisnya, yaitu Shahifah al-Shadiqah. Menurut Ibnu al-Atsir, Shahifah tersebut memuat 1000 buah hadis, namun menurut sumber lain hanya 500 buah saja. Meski Shahifah tersebut sudah tidak ada, namun Imam Ahmad telah meriwayatkan sebagian isinya dan kitab-kitab Sunan yang lain juga memuat sebagian besarnya. Shahifah ini memiliki kedudukan yang sangat penting karena merupakan bukti historis yang ilmiah mengenai penulisan hadis sejak awal abad ke-1 H.
  4. Shahifah Abdullah bin Mas’ud.
  5. Shahifah Abdullah bin Abbas.
  6. Shahifah Jabir bin Abdullah al-Anshariy, shahifah ini berisi manasik haji yang disebutkan Imam Muslim dalam kitab al-Hajj.
  7. Shahifah Hamman bin Munabbih, ia merupakan seorang tabi’in terkemuka yang menulis hadis dari Abu Hurairah kemudian dan menghimpunnya di dalam Shahifah yang dikenal dengan sebutan Shahifah al-Shahihah. Muhammad Hamidullah menemukan Shahifah tersebut dalam dua manuskrip yang sama, masing-masing di Perpustakaan Berlin dan Damaskus. Terdapat 138 buah Hadis dalam Shahifah al-Shahihah yang diriwayatkan Imam Ahmad secara utuh dalam kitab Musnadnya. Disamping itu, Imam Bukhari juga meriwayatkan sebagian besar hadisnya dalam beberapa bab di dalam kitab Shahihnya.
  8. Shahifah Sa’ad bin Ubadah al-Anshariy, Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Shahifah ini merupakan salinan dari Shahifah Abdullah bin Abi Aufa.
  9. Shahifah Abu Rafi’, Shahifah ini memuat istiftah shalat, kemudian diberikannya kepada Abu Bakar bin Abdurrahman bin al-Harits.
  10. Shahifah Asma’ binti Umais.
  11. Nuskhah Samurah bin Jundub.
  12. Nuskhah Suhai bin Abu Shalih, sebenarnya Suhail bin Abu Shalih tidak memberikan nama apa-apa kepada karya tulisnya itu. Karenanya, kitab Suhail ini akhirnya hanya popular dengan sebutan Nuskhah Suhail bin Abu Shalih. Pada tahun 1966, Nuskhah Suhai bin Abu Shalih ditemukan dalam bentuk manuskrip (tulisan tangan) oleh Muhammad Mustafa Azami di perpustakaan al-Dhahiriyah di Damaskus, Syria. Azami kemudian meneliti, mengedit, dan menertibkannya bersama disertasinya untuk meraih gelar doctor dari Universitas Cambridge, Inggris. Maka, pada gilirannya Nuskhah Suhai bin Abu Shalih ini juga ikut memperkuat pembuktian bahwa Hadis Nabawi tekah ditulis dan dibukukan sejak awal abad ke-1 H.
Demikianlah beberapa Shahifah dan Nuskhah yang menjadi pedoman awal dalam bentuk tertulis terhadap hadis-hadis Nabi Saw. Keberedaan Shahifah dan Nuskhah ini memberikan bukti bahwa Hadis Nabi yang kita temukan saat ini benar-benar otentik, bukan rekayasa sebagaimana penilaian sebagian orientalis masa kini. Harus juga dipahami bahwa sampainya Hadis Nabi kepada kita selain melalui perantara tertulis, juga tidak terlepas melalui perantara hafalan. Bahkan, terdapat sebagian ulama yang menuliskan hadis dan menghapusnya setelah menghafalnya. Ini menunjukkan bahwa tradisi menghafal tetap kental dan kuat dalam tradisi kodifikasi dan pengumpulan Hadis sampai termuat dalam koleksi-koleksi yang besar.

Sebagai tambahan, perlu juga disebutkan bahwa terdapat istilah lain yang dipakai oleh ahli Hadis klasik untuk menunjuk kepada catatan-catatan atau tulisan-tulisan hadis selain Shahifah dan Nuskhah. Istilah-istilah itu adalah Daftar, Kurrasah, Diwan, Kitab, Tumar, dan Darj. Dalam konteks sekarang, Daftar, Kurrasah, Diwan, dan Kitab ialah tulisan yang datar, dimana bentuk luarnya mirip buku yang dikenal sekarang ini. Adapun Tumar dan Darj ialah bentuk tulisan yang panjang dan digulung.

Berikut Halaman awal dan akhir Nuskhah Suhail bin Abu Shalil yang ditemukan oleh Muhammad Mustafa Azami di Damaskus:

Halama Awal;

Nuskhah Suhai bin Abu Shalih

Halaman Akhir;

Nuskhah Suhai bin Abu Shalih

 

2) Metode Jus dan Atraf

Kedua metode ini, yaitu Juz dan Atraf merupakan sistemaatika sederhana yang digunakan ahli Hadis dalam menyusun hadis pada periode awal. metode ini hampir mirip dengan bentuk Shahifah dan Nuskhah.

Juz berarti bagian. Adapun pengertiannya dalam kajian ini ialah metode pembukuan matan-matan (materi) Hadis berdasarkan guru yang meriwayatkan Hadis kepada penulis kitab. Contoh kitab Hadis yang memakai metode ini ialah Nuskhah Suhai bin Abu Shalih (w. 138 H) dimana ia hanya menyebutkan satu jalur sanad yang meriwayatkan hadis-hadis yang ditulisnya, yaitu Abu Shalih (Ayahnya) – Abu Hurairah – Nabi Muhammad Saw.

Adapun Atraf secara istilah ialah berarti pangkal-pangkal. Dalam ilmu Hadis, atraf ialah metode pembukuan hadis dengan menyebutkan pangkalnya saja sebagai petunjuk matan Hadis selengkapnya. Di antara ulama klasik yang menulis Hadis dengan metode ini ialah Auf bin Abu Jamilah al-‘Abdi (w. 146 H). Metode ini berkembang pada abad ke-4 dan ke-5 H.

3) Motode Muwatta

Muwatta berarti sesuatu yang dimudahkan. Sedangkan menurut terminology ilmu Hadis, Muwatta adalah metode pembukuan Hadis yang berdasarkan hukum Islam (Abwab Fiqhiyyah) dan mencantumkan Hadis-hadis marfu’, mauquf, dan maqtu. Motifasi pembukuan Hadis dengan metode ini adalah untuk memudahkan orang dalam menemukan Hadis.

Ulama yang menyusun kitan Hadis dengan menggunakan metode ini ialah Ibnu Abi Dzi’b (w. 158 H), Imam Malik bin Anas (w. 179 H), Imam Abu Muhammad al-Marwazi (w. 293 H), dan lain-lain. Kitab Imam Malik merupakan yang paling popular di antara kitab-kitab Muwatta. Sehingga, apabila disebut nama Muwatta maka konotasinya selalu tertuju kepada kitab Imam Malik bin Anas.

4) Metode Mushannaf

Mushannaf berarti sesuatu yang disusun. Namun, secara terminologis kata Mushannaf ini sama artinya denga kata Muwatta, yaitu metode pembukuan Hadis berdasarkan klasifikasi hukum Islam dan mencantumkan Hadis-hadis marfu’, mauquf, dan maqtu. Seperti halnya Muwatta, ulama yang menulis Hadis dengan metode Mushannaf ini juga banyak. Di antaranya, Imam Hammad bin Salamah (w. 167 H), Imam Waki’ bin al-Jarrah (w. 196 H), Imam Abd al-Razzaq (w. 211 H), Imam Ibnu Abi Syaibah (w. 235 H).

5) Metode Musnad

Metode Musnad ialah penyusunan kitab Hadis berdasarkan nama para Sahabat Nabi Saw yang meriwayatkan Hadis. Oleh karenanya, dalam kitab Hadis dengan metode hadis yang diriwayatkannya.

Jumlah kitab Musnad mencapai 100 kitab. Namun, beberapa kitab saja yang populer, misalnya kitab Musnad karya al-Humaidi (w. 219 H), kitab Musnad karya Abu Daud al-Tayalisi (w. 204 H), kitab Musnad karya Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), dan kitab Musnad karya Abu Ya’la al-Maushili (w. 307 H).

Menurut Muhammad ‘Ajaj al-Khathib dalam bukunya, Ushul Hadis bahwa yang mula-mula menyusun kitab Hadis dengan metode Musnad adalah Abu Daud al-Tayalisi. Kemudian, Musnad Ahmad bin Hanbal dianggap sebagai musnad yang paling lengkap dan luas.

6) Metode Jami’

Kata Jami’ berarti mengumpulkan, menggabungka, dan mencakup. Dalam disiplin ilmu Hadism kata Jami’ adalah kitab Hadis yang penyusunanya mencakup seluruh topic-topik dalam agama, baik akidah, hukum, adab, tafsir, manaqib, dan lain-lain. Kitab-kitab Hadis yang menggunakan metode ini jumlahnya cukup banyak.

Di antara kitab yang menggunakan metode Jami’ ialah karya Imam al-Bukhari (w. 256 H) yang popular dengan sebutan Shahih Al-Bukhari. Judul aslinya adalah “al-Jami’ al-Shahih al-Musnad al-Mukhtashar min Umur Rasulillah Shallallahu ‘alaihi wa al-Sallam wa Sunanih wa Ayyamih”. Kitab Jami’ lainnya ialah karya Imam Muslim bin al-Hajjaj al-Naisapuri (w. 262 H) yang popular dengan judul Shahih Muslim.

7) Metode Mustakhraj

Metodea Mustakhraj ialah penyusunan kitab Hadis berdasarkan penulisan kembali Hadis-hadis yang terdapat dalam kitab lain kemudian mencantumkan sanad dari dia sendiri, bukan sanad yg terdapat dalam kitab yang dirujuknya. Ada lebih 10 buah kitab Mustakhraj. Di antaranya al-Mustakhraj ‘ala Shahih al-Bukhari karya Isma’ili (w. 371 H), al-Mustakhraj ala Shahih Muslim karya al-Isfirayini (w. 310 H), dan ada pula kitab mustakhraj atas Shahih Al-bukhari dan Shahih Muslim, seperti karya Abu Nu’aim al-Ishbahani (w. 430 H), Ibnu al-Akhram (w. 344 H), dan lain-lain.

8) Metode Mustadrak

Metode Mustadrak adalah penyusunan kitab Hadis berdasarkan Hadis-hadis yang tidak tercantum dalam suatu kitab Hadis dengan mengikuti persyaratan penerimaan hadis dalam kitab tersebut. Contoh kitab Hadis dengan metode ini ialah kitab al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain karya Imam Hakim al-Naisapuri (w. 405 H). Imam Hakim menyusun kitabnya dengan menyeleksi hadis-hadis yang sesuai dengan persyaratan dalam penerimaan Hadis oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim, tetapi tidak mencantumkannya dalam kitab shahih keduanya.

Jadi, Hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Mustadrak tidak terdapat dalam kitab asalnya. Berbeda dengan kitab-kitab Mustakhraj yang hadisnya juga terdapat dalam kitab asalnya.

9) Metodea Sunan

Kata Sunan adalah bentuk jamak “Sunnah” yang pengertiannya sama dengan Hadis. Sementara yang dimaksud disini ialah metode penyusunan kitab Hadis berdasarkan klasifikasi hukum Islam (Abwab al-Fiqhiyyah) dan hanya mencantumkan hadis marfu saja. Apabila terdapat hadis mauquf dan maqtu, maka relatif jumlahnya hanya sedikit. Berbeda dengan kitab Muwatta dan Mushannaf yang banyak memuat hadis mauquf dan maqtu.

Di antara kitab-kitab Sunan yang popular adalah karya Abu Dawud al-Sijistani (w. 275 H), -bedakan dengan Abu Dawud al-Tayalisi-, kemudian al-Nasa’i (w. 303 H) yang semula kitabnya diberi nama al-Mujtaba, al-Tirmidzi, Ibnu Majah al-Qaswini (w. 275 H), dan lain-lain.

10) Metode Mu’jam

Metode Mu’jam adalah metode penulisan kitab Hadis yang disusun berdasarkan nama-nama para Sahabat, guru-guru Hadis, negeri-negeri, atau yang lain. Dan lazimnya nama-nama itu disusun berdasrkan huruf Mu’jam (alfabet). Kitab Hadis yang menggunakan metode ini banyak sekali. Di antaranya yang popular adalah karya Imam al-Thabrani (w. 360 H), beliau menulis 3 buah kitab Mu’jam, al-Mu’jam al-Kabir, al-Mu’jam al-Ausat, dan al-Mu’jam al-Shagir.

11) Metode Majma

Metode Majma digunakan dalam penyusunan kitab Hadis kira-kira akhir abad ke-5 H. metode ini digunakan untuk membuat terobosan baru dalam penyusunan kitab hadis dengan menggabungkan kitab-kitab Hadis yang sudah ada. Sehingga, metode ini disebut Jama’ atau Majma’. Contoh kitab Hadis dengan metode ini ialah kitab al-Jama’ baina al-Shahihain karya al-Humaidi. (w. 488 H). Tentu isinya merupakan gabungan antara kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Contoh lainnya ialah Jama’ baina al-Ushul al-Sittah karya Ibnu al-Atsir (w. 606 H) yang merupakan gabungan antara 6 kitab Hadis (Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Nasa’i, Sunan al-Tirmidzi, dan Sunan Ibnu Majah).

12) Metode Zawaid

Zawaid menurut bahasa berarti tambahan-tambahan. Adapun menurut terminologi Hadis ialah penyusunan kitab Hadis yang mengkhususkan hanya Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh satu penulis Hadis saja. Contoh kitab Hadis dengan metode Zawaid ialah kitab Mizbah al-Zujajah fi Zawaid Ibn Majah karya Bushairi (w. 480 H) yang berisi Hadis-hadis yang ditulis hanya oleh Ibnu Majah dalam kitab Sunannya.

PUSTAKA BACAAN

  • Muhammad ‘Ajaj al-Khathib, Ushul Hadis
  • Ali Mustafa Yaqub, Ktitik hadis
  • Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis