Membahas tentang Larangan Gampang Menuduh Munafik Orang Lain

Akhir-akhir ini kita sering mendengar umat Islam saling mencaci saudaranya. Bahkan tak jarang, mimbar-mimbar masjid digunakan sebagai lahan buat mengumbar ujaran kebencian seperti menuduh munafik kepada pihak tertentu. Apa definisi munafik?

 

Menurut Ibnu Rajab al-Hanbali, munafik secara bahasa ialah bagian dari penipuan, berbuat licik, dan menunjukkan perbuatan yg berbeda dari yg sebenarnya. Sifat munafik terdiri dari dua jenis yaitu:

 

Pertama, munafik secara aqidah, yaitu seseorang yg menunjukkan bahwa ia termasuk golongan orang yg beriman padahal sebenarnya ia mengingkari seluruh ajaran Islam atau sebagian darinya. Sifat inilah yg mengarahkan seseorang kepada kekafiran, dan sifat munafik seperti inilah yg selalu dikecam oleh Al-Qur’an.

 

Kedua, munafik secara perbuatan, yaitu seseorang menunjukkan perilaku yg baik tetapi menyimpan sifat sebaliknya, semisal seorang Muslim yg sering berdusta, sering mengingkari janji, sering berkhianat, dan sejenisnya (Abdurrahman Ibnu Rajab al-Hanbali, Kitab Jami’ al-Ulum, Beirut: Muassasah ar-Risalah, 2001, vol. 2, hal. 481).

 

Menurut ar-Razi, Al-Qur’an mengancam golongan yg memiliki sifat munafik secara akidah dgn siksaan yg sangat berat melebihi siksaan buat golongan orang-orang kafir. Hal ini disebabkan mereka menyimpan kekafiran di hati mereka serta melakukan perbuatan penghinaan kepada umat Islam dgn berpura-pura menjadi orang Islam. Menurut sejarah, orang-orang munafik seperti inilah yg terdapat di zaman Rasulullah Saw. Mereka menunjukkan keislaman secara lahiriah mau tetapi dibalik itu mereka bersekutu dgn orang-orang kafir dan menyebarkan berita dusta buat menghancurkan agama Islam. (Fakhruddin Muhammad bin Umar ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, 1999, vol. 11 hal. 251).

 

 

Sedangkan di sisi lain, para ulama sepakat bahwa orang yg memiliki sifat munafik secara perbuatan tak termasuk dalam golongan orang munafik yg diancam dalam al-Qur’an.
 

وَفِي رِوَايَة : آيَة الْمُنَافِق ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اُؤْتُمِنَ خَانَ) وَقَدْ أَجْمَع الْعُلَمَاء عَلَى أَنَّ مَنْ كَانَ مُصَدِّقًا بِقَلْبِهِ وَلِسَانه وَفَعَلَ هَذِهِ الْخِصَال لَا يُحْكَمُ عَلَيْهِ بِكُفْرٍ، وَلَا هُوَ مُنَافِق يُخَلَّد فِي النَّار.فَاَلَّذِي قَالَهُ الْمُحَقِّقُونَ وَالْأَكْثَرُونَ وَهُوَ الصَّحِيح الْمُخْتَار : أَنَّ مَعْنَاهُ أَنَّ هَذِهِ الْخِصَال خِصَال نِفَاق، وَصَاحِبهَا شَبِيه بِالْمُنَافِقِ فِي هَذِهِ الْخِصَال، وَمُتَخَلِّق بِأَخْلَاقِهِمْ . فَإِنَّ النِّفَاق هُوَ إِظْهَار مَا يُبْطِن خِلَافه

“Dalam riwayat hadits (tanda-tanda orang munafik ada tiga yaitu ketika berbicara ia berbohong, ketika berjanji ia mengingkari, dan ketika ia diberi kepercayaan ia mengkhianati). Para ulama sepakat bahwa orang yg beriman sepenuhnya dgn hati dan lisannya, mau tetapi memiliki akhlak tercela sebagaimana dalam hadits di atas tak dapat dikategorikan kafir dan tak dapat juga dikategorikan golongan orang munafik yg diancam kekal di neraka. Maka pendapat yg diutarakan mayoritas ulama ahli tahqiq ialah hadits ini menyampaikan bahwa akhlak tercela tersebut ialah cerminan dari akhlak orang munafik. Seseorang yg memiliki akhlak tercela tersebut maka ia menyerupai akhlak orang munafik. Dan ia memiliki karakter sebagaimana karakter orang munafik. Karena pada dasarnya sifat munafik ialah menunjukkan hal yg tak sesuai dgn yg sebenarnya” (Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, 2010, vol. 2, hal. 42).

 

Oleh sebab itu, kita sebagai Muslim yg baik tak boleh mencaci maki sesama umat Islam dgn tuduhan munafik ataupun sejenisnya sebab kesalahan mereka. Karena dapat jadi mereka yg kita hujat telah bertobat atas kesalahan-kesalahan mereka di luar sepengetahuan kita.

 

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من عير أخاه بذنب لم يمت حتى يعمله

 

Rasulullah bersabda “Barang siapa menghina saudaranya sebab suatu  perbuatan dosa, niscaya ia tak mau mati sebelum melakukan dosa yg sama” (HR Turmudzi).

 

Bahkan, para ulama menyerukan buat memberikan hukuman kepada orang-orang yg secara serampangan menyebut saudara-saudara Muslim mereka dgn sebutan ataupun ejekan yg tak baik terlebih ujaran tersebut ditunjukkan kepada orang yg saleh.

 

وإذا قذف مسلما بغير الزنا فقال يا فاسق أو يا كافر أو يا خبيث أو يا سارق أو يا منافق أو يا يهودي عزرهكذا مطلقا في فتاوى قضيخان وذكره الناطقي وقيده بما إذا قال لرجل صالح.

“Dan apabila seseorang menuduh seorang Muslim dgn tuduhan selain masalah perzinaan seperti ucapan ‘Wahai orang fasik’ atau ‘Wahai orang kafir’ atau ‘Wahai orang yg  jahat’, atau ‘Wahai pencuri’ atau ‘Wahai orang munafik’ atau ‘Wahai orang Yahudi’ maka ia harus diberi hukuman. Pendapat ini berlaku secara mutlak sebagaimana dalam kitab fatawa Syekh Qadhikhan. Sedangkan menurut an-Nathiqi, pendapat ini ditunjukkan ketika seorang Muslim yg tertuduh ialah orang yg saleh” (Ali bin Sulthan al-Qari, Mirqat al-Mafatih Syarh Misykah al-Mashabih, Beirut: Dar al-Fikr, 2002, vol. 2, hal. 2381).

 

Muhammad Tholhah al Fayyadl, Mahasiswa jurusan Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir, alumnus Pondok Pesantren Lirboyo

Membahas tentang Keharaman Stigma & Diskriminasi terhadap Penyandang Disabilitas

Dalam perspektif Islam, penyandang disabilitas identik dgn istilah dzawil âhât, dzawil ihtiyaj al-khasṣah atau dzawil a’zâr: orang-orang yg mempunyai keterbatasan, berkebutuhan khusus, atau mempunyai uzur. Hal ini memunculkan pertanyaan apakah dgn demikian penyandang disabilitas harus didiskriminasi atau dikucilkan?

 

Tentu tidak, sebab penyandang disabilitas juga manusia yg mempunyai hak yg sama buat bermasyarakat dan bergaul dgn semua orang. Apalagi bila dilihat dari sudut pandang Islam, manusia yg paling mulia di hadapan Allah ialah yg paling bertakwa, seperti ditegaskan dalam firman-Nya berikut:

يَآأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ.

“Sesungguhnya orang yg paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yg paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Al-Ḥujurât/49: 13)

 

Dalam haditst Nabi Muhammad SAW juga ditegaskan:

إِنَّ الله لا يَنْظُرُ إِلى أَجْسامِكْم، وَلا إِلى صُوَرِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَشَارَ بِأَصَابِعِهِ إِلَى صَدْرِهِ (رواه مسلم)

“Sesungguhnya Allah tak melihat kepada tubuh dan rupa kamu sekalian, tetapi Allah melihat kepada hati kamu sekalian Rasulullah menujuk ke dadanya” (HR. Muslim)

 

Oleh sebab itu, stigma terhadap penyandang disabilitas sebagai kutukan dan penderitanya ialah orang-orang yg terkutuk harus segera dihentikan. Sebaliknya kita perlu menyebarkan pandangan yg positif, yg membuka wawasan masyarakat supaya mau menumbuhkan penghormatan dan empati terhadap penyandang disabilitas. Dalam hal ini, kita harus menghindari prasangka buruk (su’udh dhann) kepada penyandang disabilitas. Allah swt berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ.

Wahai orang-orang yg beriman, hindarilah banyak prasangka, sebab sesungguhnya sebagian dari prasangka itu dosa.” (QS. Al-Ḥujurât/49: 12)

 

Dalam sebuah hadits yg diriwayatkan Abu Hurairah, Nabi Muhammad saw. bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ (متفق عليه)

Jauhkan dirimu dari prasangka, sebab prasangka ialah perkataan yg paling bohong” (HR.Bukhari Muslim)

 

Bahkan, terhadap orang yg jelas menyimpang, caci maki tak boleh dilakukan. Dalam menafsirkan firman Allah SWT., “lâ yaskhar qawmun min qawmin”, Syaikh Ibn Zaid berkata:

لاَ يَسْخَرْ مَنْ سَتَرَ اللهُ عَلَيْهِ ذُنُوْبَهُ مِمَنْ كَشَفَهُ اللهُ، فَلَعَلَّ إِظْهَارُ ذُنُوْبِهِ فِي الدُّنْيَا خَيْرٌ لَهُ فِي اْلآخِرَةِ.

“Janganlah orang yg telah ditutupi dosanya oleh Allah SWT.. Mengolok-olok orang yg telah dibuka dosanya oleh Allah SWT boleh jadi terbukanya dosanya di dunia lebih baik baginya ketimbang terbuka dosanya di akhirat” (Al-Qurthubi, Al-Jami` li Ahkami Al-Quran, Tahqiq Hisyam Samir Al-Bukhori, [Rayadh: Dar `Alami Al-Kutub, 1423 H/ 2003 M], vol. XVI, hal. 325).

 

Nabi Muhammad SAW juga menegaskan:

مَنْ عَيَّرَ أَخَاهُ بِذَنْبٍ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَعْمَلَهُ (أخرجه الترمذي)

Barang siapa yg mencerca saudaranya sebab suatu dosa, maka dia tak mau mati sehingga dia melakukan dosa tersebut (HR. Tirmidzi).

 

Bila kepada yg berdosa saja kita dilarang merendahkan, apalagi kepada orang-orang yg sekadar berbeda kemampuan secara fisik. Hal ini menunjukkan penghormatan Islam yg tinggi terhadap manusia tanpa memandang dari segi keanekaragaman kemampuan atau keterbatasan fisik. Setiap manusia pada dasarnya setara, dan memiliki hak-hak yg setara. Standar kemuliaan dalam Islam ialah ketakwaan, bukan kemampuan fisik atau mental.

 

===
Artikel ini dinukil dari buku “Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas” yg disusun dan diterbitkan oleh tim Lembaga Bahtsul Masail PBNU, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), serta Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) Unibraw. Unduh buku (PDF) ini di kanal Download NU Online.


Membahas tentang Imam Abu Hanifah Pembela Aswaja yg Dagang Sutra di Pasar

Harus diakui, Abu Hanifah ialah sosok orang yg genius dan multitalenta. Ia tak hanya mampu mengurusi satu hal saja. Tetapi dapat menjalankan dua hal dalam waktu yg bersamaan. Ia mampu membagi fokus secara serius buat dua hal berbeda. Hasilnya pun tak biasa-biasa saja, sungguh sebuah pencapaian yg maksimal. Benar sekali firasat yg dirasakan imam as-Sya’bi tentang kecerdasan Abu Hanifah ketika pertama kali bertemu di sebuah jalan yg biasa dilalui orang-orang pasar.

Tak banyak orang dgn kecerdasan, kegeniusan, dan multitalen seperti Abu Hanifah. Terbukti, ketika remaja, Imam Nu’man ini mampu menggawangi peran ganda; sebagai argumentator aqidah Aswaja, sekaligus pedagang sutra. Ini pekerjaan yg tak mudah. Karena fokusnya jauh berbeda. Jika satu sisi sebagai pendakwah dan di sisi lain sebagai penulis, maka masih linier alias sejalur. Terlebih lagi, di masa Abu Hanifah tak sama dgn sekarang. 

Para pendakwah, pelajar, ataupun tenaga pengajar kita ketika ini, tak terlalu sulit menggabungkan profesinya itu dgn berbisnis. Sebab, ia dapat berpenghasilan melalui Youtube, jualan melalui Instagram dan facebook, mereka juga dapat sambil buka toko online di market place. Sedangkan Abu Hanifah, jam terbang pasar dgn dakwahnya bertaut jauh tanpa media-media online seperti ketika ini.

Jam Terbang Abu Hanifah Membela Akidah Aswaja

Sejak kali pertama Abu Hanifah mendedikasikan dirinya buat ilmu, ia mencurahkan fokusnya lebih banyak mempelajari dan mengkaji ilmu kalam. Gairah remajanya yg gemar berdebat itu muncul tak terbendung.

Kabarnya, Abu Hanifah tak hanya berdebat dan mengkritisi paham-paham Mu’tazilah dan Khawarij di tanah kelahirannya, di Kufah. Tetapi juga memiliki jam terbang sampai ke kota Bashrah, di mana jarak antara keduanya kurang lebih mencapai 434 km. 

Agar lebih riil, coba kita bandingkan dgn jarak antara Situbondo-Surabaya. Dari Situbondo ke Surabaya, jaraknya kira-kira 200 km. Berarti, dapat dibaygkan jarak antara Kufah dan Bashrah, dua kali lipat Situbondo-Surabaya.

Sekarang, berkat kemajuan transportasi, waktu tempuh maksimal dari kota santri menuju kota metropolitan, sekitar enam jam perjalanan tanpa melalui tol. Bisa lebih cepat bila masuk ke gerbang tol. Sedangkan Abu Hanifah, mengisi jam terbangnya ke Bashrah menggunakan jasa tumpangan hewan. Menumpang kepada kafilah-kafilah yg bolak-balik antara Kufah dan Bashrah itu. Lumayan berat perjuangannya.

Syekh Muhammad Abu Zahrah dalam Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah (juz 2, hal. 133) bercerita:

ويقوم بالرحلات المختلفة إلى البصرة ليجادل المعتزلة ويتعلم ما عندهم ويجادل الخوارج ويتعرف فكرهم وهكذا إستمر يتعرف ما عند الفرق المختلفة

Artinya, “Abu Hanifah menuju Bashrah dgn menumpang kepada pelbagai kafilah yg ada guna berdebat dgn Mu’tazilah dan Khawarij, seraya mempelajari dasar teologi dan pemikiran mereka. Begitulah seterusnya  ia aktif mendebati aliran demi aliran yg berbeda dgn Ahlussunnah wal Jamaah.”

Bisa dibilang, Abu Hanifah ialah singa podium Aswaja di masanya. Namun, lambat laun, ia kembali mendapat hidayah. Ia merasa dirinya tak berada di jalan yg benar seperti yg diajarkan para tabiin dan sahabat Nabi. Sebab, hari-harinya penuh debat dan sikap menyalahkan orang lain.

Akhirnya, imam Nu’man pun alih fokus ke halakah dan kajian fiqih, menjauh dari perdebatan teologi. Baginya, kendati dalam fiqih juga banyak perdebatan, tetapi semuanya bernuansa kasih-sayg. Perdebatan fiqih ialah jalan keluar dari kesulitan umat. Beda dgn teologi yg perdebatannya ialah keresahan bagi mereka.

Abu Hanifah Tetap sebagai Entrepreneur

Walau Abu Hanifah telah lama menjauhi dunia pasar dan sibuk dgn dunia barunya di kalangan para santri dan kiai, tapi tak berarti ia benar-benar gulung tikar dari bisnis sutranya. Dirinya tak serta-merta menghilangkan peninggalan mendiang sang ayah.

Ia terus melanjutkan profesinya sebagai entrepreneur dgn manajemen pasar yg lebih profesional lagi, yaitu dgn menjalin kerja sama dgn para pedagang yg lain. Baik melalui akad wakalah atau agency (mewakilkan penjualan komoditasnya), maupun dgn membangun mitra kerja (musyarakah atau partnership). Mengingat, jam belajarnya yg semakin hari semakin padat.

Masih dalam Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah (juz 2, hal. 137), Abu Zahrah menulis:

ولما إتجه إلى العلم لم ينقطع عنها بل إستمر في التجارة بنائب ينيبه أو شريك يشاركه وكان مشتركا في التجارة بقدر لا يقطعه عن العلم إذ إنصرف إليه في أكثر أحواله حتى كاد التاريخ ينسى التجارة التي إستمر فيها

Artinya, “Hijrah Abu Hanifah ke halakah intelektual tak lantas membuatnya meninggalkan usaha sutra yg dibangun ayahnya. Usahanya tetap berjalan di tangan para pekerjanya. Ia tetap fokus sebagai manajer bisnis tersebut. Sebab, ia tak punya waktu sebagai pelaku langsung, menjajakkan barang-barangnya. Sebagian besar waktunya dihabiskan di hadapan para ulama. Sampai-sampai, nyaris sejarah melupakan jejak entrepreneur Abu Hanifah.”

Benar, nyaris sejarah melupakan jejak dagang imam Nu’man. Untung saja beberapa sejarawan meneliti dan mencatatnya. Walaupun tak terlalu rapi, kalah dgn karir dan popularitasnya sebagai ulama pendiri Mazhab Hanafi.

Berkah catatan sejarah yg sederhana itu, semua orang yg bergelut di dunia bisnis yg mengenal Abu Hanifah, pasti menjadikannya tokoh panutan dalam karirnya. Bahkan, banyak buku-buku entrepreneurship yg mengulas sejarah dagang Abu Hanifah. Wallahu a’lam bis shawab.

 

Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus Ma’had Aly Situbondo, dan pendiri Komunitas Lingkar Ngaji Lesehan di Lombok NTB.

Membahas tentang Status Hukum Pernikahan & Perwalian Orang Murtad

Sepasang muda-mudi didampingi seorang laki-laki paruh baya datang ke KUA sebagai calon pengantin yg tak lama lagi mau melakukan ijab qabul pernikahan. Ketiganya datang ke KUA dalam rangka proses pemeriksaan data oleh penghulu.

Pada mulanya dari data yg ada sang penghulu tak mendapatkan masalah. Namun ketika melihat surat pernikahan orang tua calon pengantin perempuan sang penghulu mulai menaruh curiga. Pasalnya surat pernikahan itu dikeluarkan oleh kantor catatan sipil yg berarti kedua orang tua calon pengantin perempuan menikah tak dgn tata cara Islam.

Maka sang penghulu mulai menelusuri perihal perkawinan dan agama kedua orang tua dari calon pengantin perempuan. Dari penelusuran itu didapatkan satu simpulan riwayat yg menyebutkan bahwa bapak dari calon pengantin perempuan dahulunya seorang muslim yg keluar dari agamanya atau murtad. Kemudian ia menikah dgn seorang perempuan nonmuslim.

Dari pernikahan ini keduanya dikarunia beberapa orang anak laki-laki dan perempuan. Di tengah kehidupan pernikahan dan rumah tangganya ini sang bapak yg dahulu murtad kembali memeluk agama Islam. Sedangkan sang ibu masih tetap pada agamanya, nonmuslim.

Kini anak perempuan pasangan itu yg beragama Islam hendak melakukan pernikahan. Sang bapak berkehendak buat menjadi wali bagi anak perempuannya. Namun kehendak ini ditolak oleh penghulu.

Mengapa penghulu menolak sang bapak buat menjadi wali, bukankah ia telah kembali menjadi seorang muslim?

Atas permasalahan dan pertanyaan ini para ulama di dalam berbagai kitab fiqih menjelaskan duduk perkaranya. Bila seorang muslim murtad sebelum menikah kemudian ia melakukan pernikahan, maka pernikahannya itu batal, tak sah. Ini sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaytiyyah:

اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا ارْتَدَّ ثُمَّ تَزَوَّجَ فَلا يَصِحُّ زَوَاجُهُ ؛ لأَنَّهُ لا مِلَّةَ لَهُ ، فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَتَزَوَّجَ مُسْلِمَةً  وَلا كَافِرَةً وَلا مُرْتَدَّةً

Artinya, “Para pakar fikih sepakat bahwa seorang laki-laki muslim yg murtad kemudian menikah maka pernikahannya itu tak sah, sebab ia tak memiliki agama. Maka ia tak dapat mengawini seorang perempuan muslim, perempuan kafir, atau perempuan murtad.” (Kementerian Wakaf dan Urusan Agama, Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. [Kuwait: Kementerian Wakaf dan Urusan Agama, 1983 M]).

Lebih jauh Imam Syafi’i di dalam Kitab Al-Umm menyampaikan secara lebih rinci:

وَإِذَا ارْتَدَّ الْمُسْلِمُ فَنَكَحَ مُسْلِمَةً أَوْ مُرْتَدَّةً أَوْ مُشْرِكَةً أَوْ وَثَنِيَّةً فَالنِّكَاحُ بَاطِلٌ أَسْلَمَا أَوْ أَحَدُهُمَا أَوْ لَمْ يُسْلِمَا وَلَا أَحَدُهُمَا

Artinya: “Apabila seorang muslim murtad kemudian ia menikah dgn seorang perempuan muslim, perempuan murtad, perempuan musyrik, atau perempuan watsaniyah maka nikahnya batal, baik keduanya masuk Islam (setelah menikah) atau salah satunya masuk Islam, atau keduanya tak masuk Islam, atau salah satunya tak masuk Islam.” (Muhammad bin Idris As-Syafi’i, Al-Umm [Beirut: Darul Fikr, 2009]).

Dari apa yg disampaikan Imam Syafi’i di atas sangat jelas bahwa pernikahan yg dilakukan oleh seorang yg murtad tak dianggap sah oleh Islam. Ini berlaku bagi pernikahan sang murtad dgn perempuan yg menganut agama apapun, bahkan dgn perempuan yg juga murtad. Ketidakabsahan pernikahan itu terus berlanjut meskipun salah satu atau kedua pasangan itu kembali memeluk agama Islam.

Bila demikian adanya lalu bagaimana dgn hukum perwalian orang yg murtad? Bila ia kembali memeluk agama Islam sebagaimana kasus di atas dapat kah ia menjadi wali bagi anak perempuan dari hasil perkawinannya?

Menjawab pertanyaan ini Imam Syafi’i lebih lanjut menegaskan:

وَلَا يَكُونُ لِلْمُرْتَدِّ أَنْ يُزَوِّجَ ابْنَتَهُ وَلَا أَمَتَهُ وَلَا امْرَأَةً هُوَ وَلِيُّهَا مُسْلِمَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَلَا مُسْلِمًا وَلَا مُشْرِكًا وَإِذَا أَنْكَحَ فَإِنْكَاحُهُ بَاطِلٌ

Artinya: “Seorang yg murtad tak berhak buat menikahkan anak perempuannya, budak perempuannya, dan perempuan yg ia menjadi walinya, baik perempuan itu seorang muslimah atau musyrik, baik perempuan itu bukan seorang muslimah atau musyrik. Apabila ia telah menikahkan maka pernikahannya itu batal.” 

Tidak adanya hak buat menikahkan anak perempuannya atau perempuan lain yg berada di bawah perwaliannya menunjukkan bahwa seorang yg murtad tak dapat menjadi wali nikah bagi siapapun. Ini dapat dimaklumi mengingat salah satu syarat menjadi wali nikah ialah harus beragama Islam.

Kalaupun orang yg murtad itu kembali memeluk agama Islam sebagaimana kasus di atas ia tetap tak dapat menjadi wali bagi anak perempuannya, mengingat pernikahannya tak dianggap sah sehingga anak perempuannya juga dianggap lahir di dalam pernikahan yg tak sah dan sebabnya tak bernasab kepada sang ayah. Karena tak ada hubungan nasab ini lah maka sang ayah tak dapat menjadi wali dalam pernikahan anak perempuan tersebut. Wallâhu a’lam.

 

Ustadz Yazid Muttaqin, alumnus Pondok Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan Surakarta, kini aktif sebagai penghulu di Kantor Kementerian Agama Kota Tegal.

Membahas tentang Cara Sayyidina Umar bin Khattab Mengoreksi Diri

Sayyidina Umar bin Khattab ra merupakan orang yg sangat teguh memegang prinsip. Ia dikenal tangguh, keras, dan memiliki pendirian yg kuat. Kendati demikian, ia bukan orang yg merasa benar selalu. Ia merasa sebagai manusia biasa yg memiliki kekurangan.

Sayyidina Umar ra bahkan mendoakan orang-orang yg mengoreksi dirinya dan menunjukkan kekurangannya, sebagaimana dikutip oleh Imam Al-Ghazali berikut ini:

رَحِمَ اللهُ امْرَأً أَهْدَى إِلَيَّ عُيُوْبِي

Artinya: “Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada orang menunjuki kekuranganku,” (Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439 H-1440 H], juz III, halaman 69).

Sayyidina Umar ra tak segan meminta masukan secara jujur kepada sahabatnya buat mengoreksi dirinya. Ia menanyakan kepada sahabatnya di mana letak kekurangan dirinya baik yg bersifat pribadi maupun bersifat kebijakan publik.

Suatu hari ia meminta sahabat Salman ra buat menunjukkan kekurangan dirinya. Ketika Salman ra datang, Sayyidina Umar ra berkata, “Kabar apa terkait diriku yg sampai kepadamu dan kamu tak suka?”

“Ku dengar kamu memiliki dua jenis lauk dalam sebuah meja makan dan memiliki pakaian bagus yg dipakai siang dan malam,” jawab Salman ra.

“Apakah ada lagi selain itu?” kata Umar ra.

“Tidak,” kata Salman ra.

“Baiklah, dua ini cukup,” kata Umar ra.

Sayyidina Umar ra juga pernah meminta sahabat Hudzaifah ra buat memberikan catatan perihal dirinya.

“Wahai Hudzaifah, kamu ialah sahabat dekat Rasulullah perihal menghadapi orang-orang munafik. Apakah kau melihat tanda-tanda orang munafik pada diriku?” tanya Sayyidina Umar ra.

Sayyidina Umar bin Khattab ra, kata Imam Al-Ghazali, ialah sahabat terkemuka Rasulullah saw yg dijamin masuk surga. Di tengah kedudukannya yg mulia dan pangkatnya yg tinggi, ia tetap mencurigai dirinya sendiri dan tak segan meminta pertolongan orang lain buat menunjukkan kekurangan dirinya.

Cara Sayyidina Umar bin Khattab ra dimasukkan oleh Imam Al-Ghazali sebagai cara kedua buat menilai aib dan kekurangan diri kita sendiri. yakni sebuah cara dgn mencari sahabat jujur yg dapat dipercaya, religius, dan taat pada nilai-nilai agama yg dapat melihat kekurangan kita dan mengamati perilaku kita baik lahir maupun batin, serta memperhatikannya.

Sayyidina Umar bin Khattab ra dan orang seperti Sayyidina Umar ra mau mendoakan orang yg memberitahukan aibnya. Ia mau senang kalau ada sahabat yg mengoreksi kekurangannya. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)

Membahas tentang Khutbah Bahasa Jawa: Rezekine Tiang Iman lan Takwa

Berikut ini ialah contoh naskah khutbah Jumat dalam bahasa Jawa. Kebutuhan buat menyampaikan khutbah dalam bahasa lokal ada di berbagai daerah hingga ketika ini, yg masih melestarikan bahasa daerah sebagai komunikasi-sehari-hari.
 

Teks khutbah Jumat berikut ini berjudul “Khutbah Bahasa Jawa: Rezekine Tiang Iman lan Takwa”. Untuk mencetak naskah khutbah Jumat ini, silakan klik ikon print berwarna merah di atas atau bawah artikel ini (pada tampilan dekstop). Semoga bermanfaat! (Redaksi)


Khutbah I

 

الْحَمْدُ لِلّٰهِ الْمَلِكِ الدَّيَّانِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ سَيِّدِ وَلَدِ عَدْنَانَ، وَعَلَى اٰلِهِ وَصَحْبِهِ وَتَابِعِيْهِ عَلَى مَرِّ الزَّمَانِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ الْمُنَـزَّهُ عَنِ الْجِسْمِيَّةِ وَالْجِهَةِ وَالزَّمَانِ وَالْمَكَانِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ أَمَّا بَعْدُ، عِبَادَ الرَّحْمٰنِ، فَإنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ المَنَّانِ، الْقَائِلِ فِي كِتَابِهِ الْقُرْآنِ: فَاِذَا بَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ فَاَمْسِكُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ اَوْ فَارِقُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ وَّاَشْهِدُوْا ذَوَيْ عَدْلٍ مِّنْكُمْ وَاَقِيْمُوا الشَّهَادَةَ لِلّٰهِ ۗذٰلِكُمْ يُوْعَظُ بِهٖ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ ەۗ وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا ۙ

 

Ma’asyiral Muslimin sidang Jumat ingkang kawulo hormati,

Ing wekdal ingkang mulyo meniko, monggo sami ningkataken ketakwaan utowo raos wedi dateng Allah swt, arupi nglampahi sedoyo ingkang dipun perintah deneng Allah swt lan ngadohi dateng sedoyo ingkang dipun larang Allah swt. Monggo ugi sami ningkataken keimanan arupi ngencengake keyakinan dateng rukun iman ingkang enem enggeh puniko iman dateng Allah, malaikat, kitab, utusan, dinten akhir, lan pestine Allah—ingkang sae utowo olo. Mugi-mugi anggenipun nguataken iman lan takwa meniko, kito dipun catet deneng malaikat-malaikat Allah, mlebet wonteng kaum utowo golongan tiang ingkang mukminin lan muttaqin. Amin.

 

Ma’asyiral Muslimin sidang Jumat ingkang minulyo,

Golongan tiang mukmin (tiang ingkang iman) lan muttaqin (tiang ingkang takwa) meniko, miturut Allah swt, inggih puniko golongan ingkang bade dipun tulung lan dipun panggenakan wonten ing papan palenggahan ingkang sae. Tiang iman lan takwa ugi bade tansah dipun sukani dalan saking sedoyo keruwetan gesang wonten ing alam dunyo. Golongan ingkang saget terus nguataken iman lan takwa ugi bade dipun sukani rezeki saking arah ingkang dipun mboten nyono-nyono.

 

Meniko sampun dipun tegesaken deneng Allah swt wonten ing Al-Qur’an surat ath-Thalaq ayat 2:

 

وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا

 

Ayat meniko negesaken dateng sinten mawon ingkang takwa utowo wedi dateng Allah swt, moko tiang niku bade dipun gampangake dalanipun saking perkoro ingkang angel. Ayat meniko lajeng dipun terasaken kalian ayat selajengipun inggih puniko ayat ketigo:

 

وَّيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُۗ وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُهٗۗ اِنَّ اللّٰهَ بَالِغُ اَمْرِهٖۗ قَدْ جَعَلَ اللّٰهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا

 

Artosipun : “Allah paring rezeki marang wong iku soko kang ora kiniro-iro. Sing sopo sumarah pasrah ing Allah, panjenengaNe (Allah) bakal anyukupi marang dheweke. Mangertio sanyoto Allah iku mesthi angleksonoake prekoroNe, Allah andamel samubarang iku wus kanthi papestheNe”.

 

Ma’asyiral Muslimin sidang Jumat ingkang minulyo

Saking kalih ayat Al-Quran meniko sampun jelas, dene Allah swt ngajaraken dateng kito sedoyo supados yakin dene sedoyo wonteng ing alam dunio meniko wonten ing kuosonipun Allah. Kito mboteng angsal cilik ati lan was-was dateng rezeki nopo ingkang bade dipun cepeng dateng kito wonten ing dinten mbenjang. Sedoyo sampun dipun toto lan atur deneng Allah lan kito namung dipun perintah makaryo utowo usaha kalian dipun iringi dungo dateng Allah swt. Menawi raos pasrah meniko kito lampahi kanthi ikhlas, lajeng dipun iringi raos iman lan taqwa, insyaallah, Allah swt tansah maringi rezeki saking dalan utowo arah ingkang mboten dipun dugo-dugo.

 

Perlu kito renungi lan sadari ugi, naminipun rezeki saking Allah swt meniko mboten anamung rezeki ingkang wujud dhahir utuwa arupi bondo. Rezeki ugi katah ingkang wujud bathin kados raos sehat, wekdal sempet lan sapinunggalipun sedoyo. Rezeki utowo nikmat ingkang mboten saget kito etang setunggal-setunggalipun meniko kedah dipun kito syukuri supados Allah mangke tansah nambahi nikmat dateng kito sedoyo. Ampun kito mlebet wonten ing golonganipun tiang ingkang dipun wales olo utowo dipun laknat kranten mboten saget syukur dateng nopo ingkang dipun paringaken dateng kito sedoyo.

 

Allah swt sampun dawuh wonten ing Qur’an surat Ibrahim ayat pitu:

 

وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ

 

Artosipun: “lan elingno, nalikone Pengeran iro paring sumurup ono ing kitab: ‘Saktemene menowo siro podo syukur, yekti Ingsung nambahi nikmat marang siro, dene yen siro kafir, satemene siksan Ingsun iku sayekti banget lorone”.

 

Ma’asyiral Muslimin sidang Jumat ingkang kawulo hormati

Moko niku, anggenipun mbahas rezeki wonten ing dunyo meniko ampun namung dipun etang model matematika mawon. Rezeki meniko mboten setunggal ditambah setunggal dadosipun kalih. Nanging setunggal ditambah setunggal saget dados kalih, tigo, sewelas lan ugi saget dados nol. Sedoyo niku sampun dipun atur deneng Allah swt. Kito namung kedah ikhtiar nglakoni kalian tawakkal pasrah lan ndungo mugi Allah pinaringan rezeki ingkang barakah dateng kito sedoyo.

 

Meniko katah contoh wonten ing lingkungan kito sedoyo arupi tiang ingkang nyambut damel mboten ningali wekdal. Mulai enjing dumugi ndalu, dumugi enjing malih, nanging anggenipun nyambut damel mboten ngasilaken ingkang katah lan nyekapi dateng nopo ingkang dipun kersaaken. Naging sakwangsulipun, katah tiang ingkang nyambut damelipun santai, mboten ngoyo, saget ibadah kalian tenang, nanging rezekinipun lancar lan katah. Keluarganipun ugi sami sehat, ayem, lan anteng sedoyo. Niki-niki dados renungan kito sedoyo, dene nyambut damel pados rezeki niki kedah dipun niati kangge sangu ngibadah. Ampun saksampunipun kita nyambut damel lan angsal rezeki, kito malah mboten nindaaken kewajiban ibadah alias ninggalaken ingkang dados pokoke gesang wonten ing alam dunio.

 

Rasulullah sampun dawuh wonten ing hadits ingkang dipun riwayataken saking  Imam Tirmidzi:

 

عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ:سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ:لَوْ اَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ, تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا.

 

Hadits meniko ngengetaken dateng kito sedoyo bilih menawi kito tawakkal, yekti Allah bakal paring rizeki dateng kito kados Allah nyukani rezeki dateng manuk. Manuk meniko mboten gadah raos was-was nopo rezeki dinten meniko. Manuk namung tandang makaryo wiwit enjing dugi sonten. Bidal medal kalihan weteng ngeleh, nanging saget wangsul kalihan weteng wareg angsal rezeki saking Allah swt.

 

Ma’asyiral Muslimin sidang Jumat ingkang kawulo hormati

Saking nopo ingkang sampun dipun terangaken meniko, monggo sami noto ati lan mbagusi niat gesang wonten ing alam dunyo meniko. Kito dipun damel deneng Allah swt wonten ing dunyo meniko anamung kangge ibadah nyembah dateng Allah swt. Lan sampun dados kapesten, dene kito ampun supe sedoyo wonten ing dunyo meniko sampun dipun kersaaken Allah swt.

 

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ الْقُرْأَنِ الْكَرِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْأَيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمِ، وَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

 

Khutbah II

 

 اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ 

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ 

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

 

Muhammad Faizin, Guru Madrasah Aliyah Negeri 1 Pringsewu


Membahas tentang Biografi Imam Yahya Abi Zaidah, Penulis Kitab Pertama di Kufah

Selalu ada hal positif yg dapat diserap dari riwayat dan tapak tilas para ulama salaf. Teladan dan keberhasilannya dalam berbagai bidang dapat menjadi pelajaran bagi generasi ketika ini. Di antara sekian banyak ulama inspiratif  itu ialah Imam Yahya bin Abi Zaidah. Perjalanan intelektualnya, produktivitasnya dalam menulis, hingga keulamaannya diakui para ulama lain dan patut dicontoh.

 

Nama lengkapnya ialah Imam Yahya bin Zakaria bin Abi Zaidah bin Maimun al-Aslami bin Fairuz al-Hamdani al-Wadi’i al-Kufi al-Hamdani al-Hanafi. Beliau lahir pada masa Imam Abu Hanifah an-Nu’man, yg sekaligus merupakan salah satu guru darinya. Oleh sebabnya, afiliasi fiqihnya terpengaruhi oleh gurunya, Abu Hanifah.

 

Kendatipun namanya hingga kini tetap harum dan selalu dikenang sepanjang zaman, tetapi tempat dan tahun kelahiran ulama yg satu ini belum diketahui secara persis. Tidak ada riwayat yg penulis temukan secara pasti perihal tahun kelahiran hingga wafatanya.

 

Akan tetapi, dgn menelisik jalan hidupnya, Imam Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman ad-Dzahabi (wafat 748 H) dalam kitabnya dapat menengarai bahwa Imam Yahya bin Zakaria dilahirkan sekitar paruh pertama abad kedua, tepatnya pada tahun 120 H, dan wafat pada bulan Jumadal Ula tahun 183 H, kemudian dimakamkan di kota Kufah, sebagaimana nisbat pada namanya, al-Kufi. (Ad-Dzahabi, Siyaru A’lamin Nubala, [Muassasah ar-Risalah, cetakan ketiga: 1405 H/1985 M, tahqiq: Imam Syu’ib], juz XI, halaman 72).

 

Perjalanan Intelektual Imam Yahya Abi Zaidah

Menurut Syekh Khairuddin ad-Dimisyqi (wafat 1396 H), keluarga Imam Yahya merupakan keluarga bangsawan pada masa kesultanan Dinasti ‘Abbasiyyah, tepatnya di era kepemimpinan Raja Harun ar-Rasyid. Ayahnya merupakan seorang menteri pada masa itu, begitu juga dgn beberapa saudaranya. (Ad-Dimisyqi, al-A’lam, [Darul ‘Ilmi, cetakan kelima: 2002], juz VIII, halaman 145).

 

Jika dilihat sekilas, maka mau terbesit bahwa kehidupan Yahya kecil sangat istimewa melebih para ulama lain yg kisahnya sangat memprihatinkan, namun kenyataannya, ayah Imam Yahya merupakan sosok yg tak cinta dunia, hasil dari pekerjaannya sering ia sedekahkan kepada fakir-miskin, ia hanya menyisakan secukupnya buat dimakan bersama keluarganya.

 

Dengan sifat ayahnya yg tak cinta dunia, Yahya kecil tumbuh sebagai sosok yg tak cinta pada dunia, ia menghabiskan hari-harinya di Kufah dgn fokus mengaji dan belajar melalui bimbingan langsung dari ayahnya. Di selain waktu bertugas, ayahnya selalu mengajarkan ilmu agama kepadanya hingga Yahya Kecil banyak menguasai beberapa kitab pada masa itu.

 

Keistiqamahan sang anak buat mengaji, dan ketekunan ayah dalam membimbing memberikan pengaruh sangat positif anaknya, semangat dan kemauannya buat memiliki ilmu yg luas dan pemahaman yg dalam sangat tampak dalam dirinya. Semua itu sangat tampak dalam diri Yahya pada masa-masa pertumbuhan, bahkan tak berselang beberapa lama, semua ilmu yg dimiliki ayahnya ia lahap secara perlahan.

 

Selain belajar kepada orang tuanya, ia juga belajar kepada guru-guru ada di Kufah yg pada masa itu, di antara gurunya ialah, (1) Imam Abu Hanifah an-Nukman; (2) Imam Ayyub bin Kaitsan; (3) Imam Idris bin Yazid bin Abdurrahman; (4) Imam Ja’far bin Muhammad bin Ali; dan beberapa guru lainnya. Dari guru-guru tersebut, Yahya memiliki perkembangan yg sangat pesat dalam masalah keilmuan. Bahkan, pada umur yg masih relatif muda, ia telah mampu menghafalkan Al-Qur’an dan beberapa matan-matan kitab lainnya.

 

Di bawah bimbingan para ulama tersohor pada masa itu, ia tumbuh sebagai pribadi yg sangat semangat dalam mencari ilmu. Tidak ada waktu yg ia sia-siakan, semuanya digunakan buat mempelajari ilmu dan menambah pengetahuannya. Imam Yahya tumbuh menjadi sosok yg sangat cerdas, paham ilmu fiqih dgn semua cabang-cabangnya, memiliki rasio yg luas, sehingga sangat mudah memahami semua penjelasannya. Tidak hanya itu, ia juga menjadi salah satu ulama yg sangat kuat daya hafalnya, dan sangat luhur etikanya.

 

Setelah beberapa tahun hidup dalam pengembaraan menjadi seorang thalib (penuntut ilmu), tiba saatnya Imam Yahya menuai hasil, tepatnya setelah beberapa tahun belajar kepada para ulama di masa itu. Beliau akhirnya mulai mandiri, dan dapat merumuskan pendapat sendiri dalam beberapa cabang ilmu syariat. Ilmunya yg sangat luas menjadikannya sebagai salah satu ulama yg sangat disegani oleh para ulama, umara dan dicintai oleh semua rakyatnya.

 

Penulis Kitab Pertama di Kufah

Setelah masa berguru kepada para ulama tersehor waktu itu telah dirasa cukup, tiba saatnya bagi Imam Yahya buat menyebarkan apa yg telah ia dapatkan. Ia pulang ke kampung halamannya buat menyebarkan ilmu yg ia miliki. Ia ialah sosok ulama produktif yg juga berhasil menuliskan beberapa kitab di kota Kufah.

 

Sebagaimana jamak diketahui, sejak beberapa yg lalu, kota Kufah merupakan kota yg memiliki sejarah penting dalam Islam. Salah satu kota yg terletak di Irak, dibangun sejak masa Rasulullah, tepatnya pada masa ekspansi pertama kali Islam ke luar semenanjung Arab. Selain itu, Kufah juga menjadi salah satu pusat munculnya khazanah ilmu Islam yg telah melahirkan sejumlah ulama-ulama produktif. Bahkan, dalam ilmu gramatika Arab, pendapat ulama Kufah menjadi salah satu rujukan paling otoritatif.

 

Akan tetapi, yg banyak tak diketahui ialah, siapakah pengarang (penyusun) kitab pertama kali di kota Kufah? Maka jawabannya ialah Imam Yahya bin Zakaria bin Abi Zaidah. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh ad-Dzahabi dalam kitabnya:

 

هُوَ أَوَّلُ مَنْ صَنَّفَ الْكُتُبَ بِالْكُوْفَةِ

 

Artinya, “Dia (Yahya bin Abi Zaidah) merupakan orang pertama yg menyusun kitab-kitab di kota Kufah.” (Ad-Dzahabi, Siyaru A’lamin Nubala, juz VIII, h. 339).

 

Selain sebagai penyusun kitab pertama, Imam Yahya juga ulama yg sangat produktif dalam menyusun kitab, bayak kitab-kitab karyanya yg kemudian menjadi salah satu referensi yg banyak disyarahi oleh ulama-ulama setelahnya, khususnya ulama kalangan mazhab Hambali. Di antara kitabnya, yaitu; Fatawa Yahya, Mughnisy Syifa min Raudhati Syahariraha, dan beberapa kitab lainnya.

 

Pujian Ulama kepada Imam Yahya Abi Zaidah

Lahirnya Imam Yahya bin Zakaria tentu memberikan kebanggan tersendiri bagi bangsa Kufah, khususnya perihal perkembangan khazanah keilmuan di kota tersebut. Sebelum Kufah menjadi kota terkenal dgn lahirnya beberapa ulama terkemuka, ada sosok Imam Yahya yg menengarai sekaligus menjadi cikal-bakal di balik kesuksesan generasi selanjutnya. Oleh sebabnya, ia mendapatkan banyak pujian dan apresiasi yg sangat tinggi oleh para ulama.

 

Imam Husain bin Umar meriwayatkan bahwa Imam Yahya dalam pandangan Imam Abu Hanifah perihal luasnya ilmu hadits yg ada dalam dirinya laksana pengantin baru yg sangat harum. Artinya, luasnya ilmu hadits yg ada dalam dirinya tak mau pernah mengecewakan orang-orang yg menuntut ilmu kepadanya. Hal ini tak lain selain sebagai apresiasi tinggi dari Imam Abu Hanifah perihal kesuksesan muridnya dalam ilmu hadits,

 

يَحْيَى بِنْ أَبِي زَائِدَةْ فِي الْحَدِيْثِ مِثْلُ العَرُوْسِ العَطِرَةِ

 

Artinya, “(Imam) Yahya bin Abi Zaidah dalam ilmu hadits laksana mempelai wanita yg sangat harum.” (Ad-Dzahabi, Siyaru A’lamin Nubala, juz VIII, h. 339).

 

Menurut pendapat Imam Ali bin Ahmad, Imam Zakaria dan putranya, Imam Yahya bin Zakaria merupakan orang-orang yg dapat dipercaya, keduanya sama-sama alim. Hanya saja, yg memiliki karya hanyalah Imam Yahya, beliau berhasil mengumpulkan hadits dan ilmu fiqih dalam satu kodifikasi. (Abdul Qadir bin Abil Wafa’, al-Jawahirul Mudhiyah fi Thabqatul Hanafiah, [Darul ‘Ashimah, cetakan pertama: 1349 H], juz I, halaman 542).

 

Demikian sekelumit biografi Imam Yahya bin Zakaria, mulai dari kelahiran dan wafatnya, perjalanan intelektualnya dalam mencari ilmu, perjuangan dan pengorbanan hingga semangatnya dalam berupaya mendapatkan ilmu, sehingga beliau dikenal sebagai ulama yg diakui oleh ulama-ulama lain pada masanya hingga ulama setelahnya. Wallahu A’lam bisshawab.

 

Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.


Membahas tentang Khutbah Jumat: Rezekimu Telah Dijamin & Tak Akan Tertukar

Materi khutbah Jumat ini mengingatkan kita semua bahwa Allah yg Mahakaya telah menjamin rezeki  bagi seluruh makhluk-Nya, tak terkecuali manusia. Bahkan, rezeki dunia diberikan kepada siapa saja, baik yg taat kepada Allah maupun tidak. Yang patut menjadi perhatian ialah sumber dan cara kita bersikap terhadap rezeki.

 

 

Teks khutbah Jumat berikut ini berjudul “Khutbah Jumat: Rezekimu Telah Dijamin dan Tak Akan Tertukar”. Untuk mencetak naskah khutbah Jumat ini, silakan klik ikon print berwarna merah di atas atau bawah artikel ini (pada tampilan dekstop). Semoga bermanfaat! (Redaksi)


Khutbah I

 

الحَمْدُ لِلّٰهِ مُكَوِّنِ الْأَكْوَانِ، الْمَوْجُوْدِ أَزَلًا وَّأَبَدًا بِلَا مَكَانٍ، الْمُنَزَّهِ عَنِ الشَّكْلِ وَالْأَعْضَاءِ وَالْأَرْكَانِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ سَيِّدِ وَلَدِ عَدْنَانَ، وَعَلَى اٰلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِصِدْقٍ وَإِحْسَانٍ، أَشْهَدُ أنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ الْمُنَزَّهُ عَنِ الْأَيْنِ وَالزَّمَانِ، وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ الَّذِي كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ 

أَمَّا بَعْدُ، عِبَادَ الرَّحْمٰنِ، فَإنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ المَنَّانِ، الْقَائِلِ فِي كِتَابِهِ الْقُرْآنِ: وَمَا مِنْ دَاۤبَّةٍ فِى الْاَرْضِ اِلَّا عَلَى اللّٰهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۗ كُلٌّ فِيْ كِتٰبٍ مُّبِيْنٍ (هود: ٦)

 

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Mengawali khutbah pada siang hari yg penuh keberkahan ini, khatib berwasiat kepada kita semua terutama kepada diri khatib pribadi buat senantiasa berusaha meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah subhanahu wata’ala dgn melakukan semua kewajiban dan meninggalkan seluruh yg diharamkan.

 

Hadirin jamaah shalat Jumat rahimakumullah,

Khutbah pada siang hari ini mengambil tema “Rezekimu Telah Dijamin dan Tak Akan Tertukar”.

 

Hadirin,

Rezeki berasal dari bahasa Arab: rizqun, yg artinya ma yuntafa‘u bihi, yakni sesuatu yg digunakan dan diambil manfaatnya (Mukhtar ash-Shihah). Sedangkan dalam Syarh al-‘Aqa’id, at-Taftazani menjelaskan bahwa rezeki ialah nama bagi sesuatu yg diberikan oleh Allah kepada hayawan (manusia dan selain manusia, seperti jin dan binatang) lalu ia gunakan dan ambil manfaatnya, baik halal maupun haram.

 

Dari pengertian yg telah kami sebutkan, dapat kita pahami bahwa rezeki ialah sesuatu yg telah digunakan dan diambil manfaatnya, seperti makanan yg telah dimakan, minuman yg telah diminum, pakaian yg telah dikenakan, rumah yg telah ditempati, mobil yg telah digunakan dan lain sebagainya. Adapun seseorang yg telah membeli makanan atau memasak makanan, namun sebab hal tertentu lalu tak ia makan, maka itu bukanlah rezekinya. Begitu juga seseorang yg telah membangun rumah, lalu sebab sebab tertentu tak ia tempati, maka rumah itu bukanlah rezekinya. Benar apa yg dikatakan oleh seorang penyair Arab:

 

قَدْ يَجْمَعُ الْمَالَ غَيْرُ آكِلِهِ * وَيَأْكُلُ الْمَالَ غَيْرُ مَنْ جَمَعَا

 

“Terkadang harta dihimpun oleh selain pemakannya. Dan terkadang harta dimakan oleh yg bukan penghimpunnya.”

 

Rezeki tak terbatas pada harta yg halal. Harta yg haram pun juga disebut rezeki. Sebagaimana hal itu ditegaskan oleh Imam an-Nasafi dalam al-‘Aqidah an Nasafiyyah. Semuanya mau dihisab di pengadilan akhirat. Yang halal mau ditanyakan dari mana diperoleh. Sedangkan yg haram mau dibalas dgn siksaan. Diriwayatkan dari Sayyidina Ali bahwa beliau berkata:

 

الدُّنْيَا حَلَالُهَا حِسَابٌ وَحَرَامُهَا عِقَابٌ (رواه البيهقي في شعب الإيمان)

 

“Dunia ini halalnya ialah hisab dan haramnya ialah siksa” (Diriwayatkan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman).

 

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Setiap orang dijamin rezekinya oleh Allah ta’ala sebagaimana dalam firman-Nya:

 

 وَمَا مِنْ دَاۤبَّةٍ فِى الْاَرْضِ اِلَّا عَلَى اللّٰهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۗ كُلٌّ فِيْ كِتٰبٍ مُّبِيْنٍ (هود: ٦)

 

Maknanya: “Dan tak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yg nyata (Lauh Mahfuzh)” (QS Hud: 6).

 

Imam Syafi’i mengatakan:

 

عَلِمْتُ أَنَّ رِزْقِي لَا يَأْكُلُهُ غَيْرِي فَاطْمَأَنَّ بَالِي

 

“Aku mengetahui bahwa rezekiku tak mau dimakan orang lain, maka menjadi tenanglah hatiku.”

 

Rezeki kita tak mau tertukar dgn rezeki orang lain. Rezeki kita juga tak mau diambil oleh orang lain. Imam an-Nasafi mengatakan:

 

وَلَا يُتَصَوَّرُ أَنْ لَا يَأْكُلَ إِنْسَانٌ رِزْقَهُ أَوْ يَأْكُلَ غَيْرُهُ رِزْقَهُ

 

“Dan tak terbayg apabila seseorang tak memakan rezekinya atau rezekinya dimakan selainnya.”

 

Rezeki seseorang telah ada jatah dan takarannya. Sekuat apa pun usaha seseorang bila bukan rezekinya, maka tak mau ia raih. Sebaliknya selemah apa pun upaya seseorang, bila telah ditentukan sebagai rezekinya, pastilah mau ia peroleh. Karenanya kewajiban kita ialah menghindarkan diri dari mencari rezeki dgn cara yg diharamkan dan dari sumber yg haram.

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

إِنَّ رُوْحَ الْقُدْسِ نَفَثَ فِي رُوْعِيْ أَنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوْتَ حَتَّى تَسْتَكْمِلَ رِزْقَهَا فَاتَّقُوْا اللهَ وَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ (رواه الحاكم والبيهقي وأورده القضاعي في مسند الشهاب بلفظه)

 

Maknanya: “Sesungguhnya Jibril menyampaikan wahyu ke hatiku bahwa seseorang tak mau mati sehingga menyempurnakan rezekinya, maka bertakwalah kepada Allah dan carilah rezeki dgn cara yg baik” (HR al-Hakim, al-Baihaqi, dan disebutkan oleh al-Qudha’i dalam Musnad asy Syihab dgn lafaznya).

 

Hadirin jamaah shalat Jumat rahimakumullah,

Meski rezeki telah digariskan dan ditentukan, tetapi Allah dan Rasul-Nya memberitahukan kepada kita beberapa sebab dan kunci pembuka rezeki. Di antaranya:

 

Pertama, takwa.

 

Allah ta’ala berfirman:

 

وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا ۙ ، وَّيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُۗ (الطلاق: ٣-٢)

 

Maknanya: “Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia mau membukakan jalan keluar baginya, dan Dia memberinya rezeki dari arah yg tak disangka-sangkanya” (QS ath Thalaq:2-3).

 

Kedua, istighfar dan taubat

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

مَنْ لَزِمَ الْاِسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللهُ لَهُ مِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا وَمِنْ كُلِّ ضِيْقٍ مَخْرَجًا وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لَايَحْتَسِبُ (رواه أبو داود وابن ماجه وغيرهما)

 

Maknanya: “Barang siapa yg menetapi (memperbanyak) istighfar, maka Allah mau menjadikan baginya kelapangan dari setiap kesedihan, jalan keluar dari setiap kesempitan dan menganugerahkan rezeki kepadanya dari arah yg tak ia sangka-sangka” (HR Abu Dawud, Ibnu Majah dan lainnya)

 

Ketiga, menjauhi maksiat.

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

إِنَّ الرَّجُلَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيْبُهُ (رواه الحاكم وابن حبان وغيرهما)

 

Maknanya: “Sesungguhnya seseorang mau terhalang dari suatu rezeki sebab dosa yg dilakukannya.” (HR al-Hakim, Ibnu Hibban, dan lainnya).

 

Keempat, tawakal kepada Allah.

 

Allah ta’ala berfirman:

 

وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُهٗ (الطلاق: ٣)

 

Maknanya: “Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah mau mencukupinya” (QS ath Thalaq: 3).

 

Tawakal ialah bergantung kepada Allah semata dan mengandalkan-Nya dalam segala urusan. Tawakal tidaklah menafikan usaha. Tawakal hakikatnya ialah menyerahkan segala urusan kepada Allah dan percaya penuh kepada-Nya disertai melakukan sebab, usaha dan ikhtiar. Kita tetap bekerja secara lahiriah dan bertawakal kepada Allah secara batin. Meskipun kita bekerja, kita tak menggantungkan tercukupinya kebutuhan kepada pekerjaan, mau tetapi dalam hal tercukupinya segala urusan, kita hanya bergantung kepada Allah.

 

Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

 لَوْ أَنَّكُمْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ، لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ، تَغْدُو خِمَاصًا، وَتَرُوحُ بِطَانًا (رواه أحمد وابن ماجه والحاكم)

 

Maknanya: “Jika kalian bertawakkal kepada Allah dgn sebenar-benar tawakkal, niscaya Allah mau memberikan rezeki kepada kalian seperti Ia memberikan rezeki kepada burung. Burung-burung itu keluar di pagi hari dalam keadaan perut kosong dan kembali ke sarang-sarangnya dalam keadaan perut yg terisi penuh.” (HR Ahmad, Ibnu Majah dan al-Hakim).

 

Kelima, silaturahim.

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ (رواه البخاري ومسلم)

 

Maknanya: “Barang siapa yg mau dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia bersilaturahim” (HR al-Bukhari dan Muslim)

 

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Penting buat kita pahami bersama bahwa banyaknya rezeki bukanlah tanda dicintai oleh Allah. Sebaliknya sempitnya rezeki juga bukanlah tanda dibenci dan dimurkai oleh Allah ta’ala.

 

Dalam sebuah hadits, Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

وَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يُعْطِي الدُّنْيَا مَنْ يُحِبُّ وَمَنْ لَا يُحِبُّ وَلَا يُعْطِي الدِّيْنَ إِلَّا لِمَنْ أَحَبَّ (رواه أحمد)

 

Maknanya: “Sesungguhnya Allah ‘azza wajalla memberikan dunia kepada orang yg Ia cintai dan kepada orang yg tak Ia cintai, dan tak memberikan agama (Islam) kecuali kepada orang yg Ia cintai” (HR Ahmad)

 

Dalam riwayat yg lain:

 

وَإِنَّ اللهَ يُعْطِي الْمَالَ مَنْ يُحِبُّ وَمَنْ لَا يُحِبُّ وَلَا يُعْطِي الْإِيْمَانَ إِلَّا مَنْ يُحِبُّ (رواه الطبراني)

 

Maknanya: “Sesungguhnya Allah memberikan harta kepada orang yg Ia cintai dan kepada orang yg tak Ia cintai, dan tak memberikan iman kecuali kepada orang yg Ia cintai” (HR Ahmad)

 

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Demikian khutbah singkat pada siang hari yg penuh keberkahan ini. Semoga bermanfaat dan membawa barakah bagi kita semua. Amin.

 

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

 

Khutbah II

 

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ 

أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ 

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

 

Ustadz Nur Rohmad, Anggota Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Aswaja NU Center PCNU Kab. Mojokerto


Baca naskah khutbah lainnya:


Membahas tentang Nasihat Rasulullah buat Menciptakan Rumah Tangga Penuh Cinta

Pada kesempatan ini kami mau mengulas tentang Membahas tentang Nasihat Rasulullah buat Menciptakan Rumah Tangga Penuh Cinta,

 Pasangan suami istri pasti mengmaukan hubungan rumah tangganya berjalan dgn harmonis hingga menciptakan keluarga yg Sakinah, Mawaddah, Warahmah. Untuk mewujudkan hal tersebut pasti banyak cobaan dan rintangan, maka sebuah pasangan dituntut buat saling menjaga dan memahami buat mencapai rida illahi.

Salah satu nasihat Rasulullah ﷺ tentang beberapa hal yg boleh dan tak boleh dilakukan oleh suami kepada istri berdasarkan anjuran Nabi Muhammad ﷺ. Hadis yg diriwayatkan Abu Dawud dari Bahz bin Hakim, dari ayah dari kakek, yg artinya:

“Saya pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ: wahai Rasulullah, terkait istri-istri kami apa yg wajib kami lakukan dan yg harus kami tinggalkan? Nabi pun menjawab: kamu boleh bersenggama dgnnya sesuai selera kamu, berilah ia pakaian ketika kamu dapat berpakaian, dan janganlah mengolok-olok mukanya dan jangan memukul,”.

Selain hal di atas, suami harus mengimbanginya dgn memenuhi seluruh kebutuhan pangan, sandang, hingga bersumpah buat tak berperilaku buruk kepada Istri.

Menjaga komunikasi juga penting buat membuat rumah tangga penuh cinta, dgn komunikasi yg baik pasangan suami istri mau mampu mengaspirasi kemauannya dgn baik. Sebuah riwayat yg diceritakan Ibnu Abbas, sebagai berikut:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: بِتُّ عِنْدَ خَالَتِي مَيْمُونَةَ، فَتَحَدَّثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ أَهْلِهِ سَاعَةً، ثُمَّ رَقَدَ

“Aku menginap di rumah bibiku, maimunah, (aku mendengar) Rasulullah berbincang-bincang dgn istrinya (maimunah) beberapa lama lalu beliau tidur.” (H.R. Bukhari Muslim).

Dalam membina rumah tangga, tindakan saling membantu sangat diperlukan. Banyak riwayat yg menyatakan bahwa Rasulullah ﷺ ialah pribadi yg mandiri dan tak mau membuat istrinya repot.

سئلت عائشة رضي الله عنها: ما كان النبيُّ يصنع في أهله؟ قالت: كان في مهنة أهله – أي يساعدها في أعمالها في البيت – فإذا حضرت الصلاة قام إلى الصلاة (رواه البخاري)

Aisyah ra. pernah ditanya, “Apa yg dilakukan Rasulullah ﷺ (bila) bersama istrinya di rumah)?”. Aisyah menjawab: “beliau sibuk membantu istrinya, dan apabila tiba waktu salat beliau bergegas melaksanakan salat” (H.R. Bukhari).

Demikianlah ulasan mengenai Membahas tentang Nasihat Rasulullah buat Menciptakan Rumah Tangga Penuh Cinta . apabila ada pertanyaan dapat dgn menuliskan pada kolom komentar dibawah ini.

terima kasih





Membahas tentang Inilah Sedekah yg Paling Ringan, Yuk Kita Amalkan

Pada kesempatan ini kami mau mengulas tentang Membahas tentang Inilah Sedekah yg Paling Ringan, Yuk Kita Amalkan,

Sedekah berasal dari kata “shadaqa” yg artinya jujur, benar, dan memberi dgn ikhlas. Sedekah merupakan amalan yg dicintai Allah Swt.

Hal ini dibuktikan dgn banyaknya ayat Al-Quran yg menyebutkan tentang sedekah. Salah satunya dalam surah Al-Baqarah ayat 271. Bahkan, dalam ayat menyebutkan bahwa Allah mau menghapus sebagian kesalahan-kesalahan umatnya yg rajin bersedekah.

Perlu diketahui bahwa sedekah tak melulu soal materi. Karena sedekah dapat dgn apa saja. Dan seringan-ringannya sedekah ialah dgn senyuman.

Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ mengatakan:

تَبَسُّمُكَ فيِ وَجْهِ أَخِيْكَ لَكَ صَدَقَة وَأَمْرُكَ بِالمـعْرُوفِ وَنَهْيُكَ عَنِ المـنْكَرِ صَدَقَة وَإِرْشاَدُكَ الرَّجُلَ فيِ أَرْضِ الضَّلاَلِ لَكَ صَدَقَة وَبَصَرُكَ لِلرَّجُلِ الرَدِيْءِ البَصَرِ لَكَ صَدَقَة وَإِمَاطَتُكَ الحَجَرَ وَالشَّوكَ والعِظَمَ عَنِ الطَّرِيقِ لَكَ صَدَقَة

Artinya: Senyummu pada wajah saudaramu ialah sedekah, amar makruf dan nahi munkar ialah sedekah, penunjuk orang yg tersesat ialah sedekah, matamu buat menunjuki orang buta ialah sedekah, membuang batu, duri atau tulang dari jalanan ialah sedekah. (HR. At-Tirmizy)

Menurut hadis di atas banyak cara buat seseorang dapat bersedekah, kapan pun dan di mana pun. Dari beberapa cara tersebut, tersenyum ialah hal yg sangat mudah buat dilakukan, tak harus menunggu kaya.

Dalam hadis lain Rasulullah ﷺ juga bersabda:

لَا تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا، وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ

Artinya: “Janganlah engkau meremehkan kebaikan sedikit pun, meskipun hanya dgn bertemu dgn saudaramu dgn wajah yg berseri”. (HR. Muslim)

Sama halnya dgn tersenyum, seseorang juga dapat dinamakan bersedekah dgn melakukan kebaikan seperti menyambut orang lain dgn wajah berseri. Karena dgn hal tersebut orang yg melihat mau senang. Tetapi semuanya hendaklah disertai dgn hati yg tulus dan ikhlas.

Demikianlah ulasan mengenai Membahas tentang Inilah Sedekah yg Paling Ringan, Yuk Kita Amalkan . apabila ada pertanyaan dapat dgn menuliskan pada kolom komentar dibawah ini.

terima kasih