Abu Darda’, Akhlak, & Dosa yg Terampuni meski Tidur

Dalam kitab al-Adab al-Mufrad, Imam al-Bukhari (w. 256 H) memasukkan sebuah riwayat tentang Sayyidina Abu Darda radliyallahu ‘anhu yg berdoa sepanjang malam supaya dibaguskan akhlaknya. Berikut riwayatnya:

حدثنا عبد الله بن محمد قال حدثنا أبو عامر قال حدثنا عبد الجليل بن عطية عن شهر عن أمّ الدرداء قالت: قام أبو الدرداء الليلة يصليّ فجعل يبكي ويقول: (اللهم أحسنتَ خَلْقي فحسّن خُلُقي) حتي أصبح. فقلتُ: يا أبا الدرداء! ما كان دعاؤك منذ الليلة إلّا في حسن الخُلُق؟ فقال: يا أمّ الدرداء! إنّ العبد المسلم يحسن خلقه حتى يدخله حسن خلقه الجنة، ويسيء خلقه حتى يدخله سوء خلقه النار، والعبد المسلم يغفر له وهو نائم. فقلت: يا أبا الدرداء! كيف يغفر له وهو نائم؟ قال: يقوم أخوه من الليل فيتهجد فيدعو الله عز وجل فيستجيب له ويدعو لأخيه فيستجيب له فيه

Abdullah bin Muhammad bercerita, ia berkata: Abu ‘Amir bercerita, ia berkata: Abdul Jalil bin ‘Athiyyah menceritakan dari Syahr, dari Ummu ad-Darda’, ia berkata:

“(Di satu waktu) Abu ad-Darda pernah menjalankan shalat malam lalu menangis dan berdoa: “Ya Allah, Engkau telah memperbagus penciptaanku, maka perbaguslah akhlakku,” (ia melakukannya) hingga pagi. Aku berkata: “Wahai Abu ad-Darda, (kenapa) doa yg (kau panjatkan) sepanjang malam hanya (tentang) kebagusan akhlak?”

Ia menjawab: “Wahai Ummu ad-Darda, sesungguhnya seorang Muslim yg berakhlak bagus maka kebagusan akhlaknya memasukannya ke surga, dan (bila) berakhlak buruk maka keburukan akhlaknya memasukkannya ke neraka. Seorang hamba yg Muslim mau diampuni meski ia (sedang) tidur.”

Kemudian aku bekata (kepada Abu ad-Darda’): “Bagaimana (dapat) ia diampuni padahal ia (sedang) tidur?”

Abu ad-Darda’ menjawab: “Saudaranya terbangun pada malam hari, melakukan (shalat) tahajjud, kemudian berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, maka Allah mengabulkannya, lalu dia pun mendoakan saudaranya, (dan) Allah mengabulkannya juga.” (Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, al-Adab al-Mufrad, Dar al-Hadits, 2005, h. 77-78)

****

Sayyidina Abu Darda (wafat sekitar 31-39 H) ialah sahabat nabi yg faqih, hafal al-Qur’an dan periwayat banyak hadits. Ia berasal dari kaum Anshar, dari Bani Ka’b bin Khazraj. Banyak yg meriwayatkan hadits darinya, sebut saja seperti Anas bin Malik, Abu Umamah al-Bahili, Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash, Ummu Darda’ (istrinya), Sa’id bin Musayyab, dan lain sebagainya. Imam al-Dzahabi menyebutnya sebagai, “hakîm hadzihil ummah, wa sayyidul qurrâ’ bi dimasyq” (hakimnya umat ini dan gurunya para pembaca/pengkaji Al-Qur’an di Dimasyq) (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lâm al-Nubalâ’, Beirut: Muassasah al-Risalah, 2001, juz 2, h. 336-337)

Dalam riwayat di atas, Sayyidina Abu Darda berdoa sepanjang malam, dan permintaannya hanya satu, memohon supaya dibaguskan akhlaknya sebagaimana Allah telah membaguskan penciptaannya. Hal itu membuat Ummu Darda (istrinya) penasaran, sehingga ia bertanya: “(kenapa) doa yg (kau panjatkan) sepanjang malam hanya (tentang) kebagusan akhlak?”

Sayyidina Abu Darda memang mengulang-ulang doanya sampai waktu subuh tiba. Ia tak menyelipkan doa lain selain meminta dibaguskan akhlaknya. Mendengar pertanyaan itu, Abu Darda menjawab: “Wahai Ummu ad-Darda, sesungguhnya seorang Muslim yg berakhlak bagus maka kebagusan akhlaknya memasukkannya ke surga, dan (bila) berakhlak buruk maka keburukan akhlaknya memasukkannya ke neraka. Seorang hamba yg Muslim mau diampuni meski ia (sedang) tidur.”

Ini artinya kebagusan akhlak (husnul khuluq) ialah bagian dari realisasi ideal keimanan seseorang. Sebab, salah satu misi utama kenabian ialah “makârim al-akhlâq” (pemuliaan akhlak) dan “mashâlih al-akhlâq” (pembagusan akhlak). Di samping itu, akhlak dapat menjadi penanda atas kesempurnaan iman seseorang. Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (HR. Imam Tirmidzi):

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

“Orang mukmin yg paling sempurna imannya ialah orang yg paling bagus akhlaknya.”

Dimensi akhlak sangat luas. Tidak dibatasi oleh relasi yg baik-baik saja, seperti “kau baik padaku, maka aku baik padamu,” atau, “aku baik padamu, maka kau pun harus baik padaku,” tapi juga relasi yg tak seimbang, seperti berbuat baik pada orang yg memusuhi, memaafkan kesalahannya dan menjalin kembali tali silaturahmi yg telah terputus. Rasulullah bersabda (HR. Imam Abdurrazaq dan Imam al-Baihaqi):

ألَا أدُلُّكم علي خير أخلاق أهل الدنيا والآخرة: أن تَصلَ مَن قطَعك, وتُعطيَ مَن حَرَمك، وتَعفو عمَّن ظلَمك

“Tidakkah kalian mau kutunjukkan sebaik-baiknya akhlak penduduk dunia dan akhirat; (yaitu) kau menyambung (kembali hubungan persaudaraan dgn) orang yg telah memutuskanmu, kau memberi (atau berbagi dgn) orang yg telah mencegah (atau mengambil hak)mu, dan kau memaafkan (kesalahan) orang yg telah menzalimimu.” (Imam Jalaluddin al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr fî Tafsîr bi al-Ma’tsûr, Kairo: Markaz Hajar li al-Buhuts wa al-Dirasat al-‘Arabiyyan wa al-Islamiiyah, 2003, juz 6, h. 711)

Karena itu, dalam jawaban Sayyidina Abu Darda’, akhlak memiliki peran penting atas posisi manusia kelak. Akhlak baik (husnul khuluq) dapat memudahkan seseorang masuk surga, dan akhlak buruk (su’ûl khuluq) dapat memudahkannya masuk neraka. 

Selain itu, ada tujuan lain yg dimaksud Sayyidina Abu Darda’, yaitu terciptanya hubungan sosial yg saling memaafkan dan saling memohonkan ampun kepada Allah. Ia mengatakan: “Seorang hamba yg Muslim mau diampuni meski ia (sedang) tidur.” Perkataan ini melahirkan tanda tanya baru di benak istrinya. Ia bertanya lagi: “Bagaimana (dapat) ia diampuni padahal ia (sedang) tidur?”

Sayyidina Abu Darda’ menjawab: “Saudaranya terbangun pada malam hari, melakukan (shalat) tahajjud, kemudian berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, maka Allah mengabulkannya, lalu dia pun mendoakan saudaranya, (dan) Allah mengabulkannya juga.”

Ini menunjukkan pertalian kuat antara husnul khuluq (akhlak yg baik) dgn kesadaran personal manusia. Bagi orang yg telah terbangun akhlaknya, ia tak berminat buat selamat seorang diri. Ia pun tak berminat buat memutus tali silaturahmi atau membiarkan tali itu tetap putus meski di dalam doa. Sebagaimana yg diajarkan oleh Rasulullah, bahwa sebaik-baik akhlak ialah meluaskan maaf, melebarkan kemurahan hati dan memanjangkan persaudaraan, meski ia disakiti, dizalimi dan dimusuhi.

Di sabdanya yg lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kita tentang iman yg mewujud dalam tindakan dan rasa. Iman yg diaktualisasikan dgn cinta kepada saudaranya sebagaimana cinta terhadap dirinya sendiri (lâ yu’minu ahadukum hattâ yuhibba li akhîhi mâ yuhibba li nafsihi). Semua manusia mau diampuni dosa-dosanya, mau dirahmati, mau dijauhkan dari siksa neraka, dan mau menikmati surga. Kemauan yg semula bersifat personal, sebab dorongan iman, meluas menjadi kemauan bersama. Seorang yg beriman, tak mau hanya mementingkan keselamatannya sendiri. Oleh sebabnya, meskipun sedang tidur, seorang mukmin dapat diampuni dosa-dosanya sebab doa dari saudaranya yg lain. Doa dari orang-orang beriman yg berlaku di atas cinta dan akhlak yg baik. 

Itu artinya, seorang yg berada di jalan akhlak, mau selalu mengingat dan mengharapkan keselamatan buat saudara-saudaranya, dari mulai yg baik kepadanya, yg memusuhinya, sampai yg tak dikenalnya sama sekali. Pertanyaannya, telahkah kita berada di jalan itu? 

Wallahu a’lam bish-shawwab…

Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen
 





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.