Alasan Nabi Muhammad Menerima Perjanjian Hudaibiyah

Pada 628 M, setahun setelah Perang Parit, tepatnya pada Dzulqa’dah tahun ke-6 hijriah, Nabi Muhammad tanpa diduga mengumumkan mau pergi ke Makkah buat melakukan ibadah haji. Karena dia sedang dalam sengketa perang yg belum usai dgn penduduk Makkah, tentu ini suatu keputusan yg tak masuk akal. Nabi Muhammad tak peduli bagaimana kaum Quraisy dalam enam tahun terakhir berusaha keras membunuhnya—yg dapat jadi dgn mudah mereka lakukan saat dia dan pengikutnya melakukan tawaf.

Namun, pendirian Nabi Muhammad tak goyah. Dengan lebih dari seribu orang pengikut berbaris di belakangnya, dia mengarungi padang pasir menuju kota kelahirannya, sambil mengumandangkan puji-pujian pertanda kedatangan peziarah tanpa rasa takut di sepanjang jalan: “Labbayk Allahumma labbayk”—“Aku datang, Ya Allah, Aku datang!”

Kaum Quraisy Makkah yg panik dan bingung segera mengadang Nabi Muhammad dan orang-orangnya sebelum mereka dapat memasuki kota Makkah. Kedua pihak bertemu di pinggiran luar kota, di sebuah tempat bernama Hudaibiyah. Kaum Quraisy menawarkan gencatan senjata kepada Nabi Muhammad. Penawaran ini sangat bertentangan dgn apa yg dimaukan Nabi Muhammad dan bagi pengikutnya pasti kelihatan seperti suatu penghinaan.

Hudaibiyah merupakan sebuah sumur yg terdapat di arah barat daya kota Makkah yaitu sekitar 22 km. Peristiwa itu terjadi ketika Rasulullah beserta rombongan kaum Muslimin yg hendak melaksanakan umrah. Walaupun Rasulullah tahu bahwa orang-orang kafir Quraisy mau menghalanginya, dan mau terjadi kontak senjata.

 

Baca juga: Teladan Moderasi Nabi Muhammad dalam Perjanjian Hudaibiyah

Dalam perjanjian dgn Kafir Quraisy tersebut, keputusan yg dilakukan Rasulullah sangat tak masuk akal dalam pandangan para sahabatnya. Bahkan Umar bin Khattab tak mau menuliskan perjanjian itu, sebab bukan hanya tak adil, tetapi juga dianggap melecehkan simbol-simbol akidah Islam. Karena saat itu, akidah Islam harus terus diperkuat di tengah kekejaman orang-orang kafir pada fase dakwah Islam Makkah.

Muhammad al-Ghazali dalam Sejarah Perjalanan Hidup Muhammad (2003) menyatakan, sulit mendedahkan mengapa Mabi Muhammad menerima Perjanjian Hudaibiyah ini. Bisa jadi dia punya rencana buat menggalang kekuatannya kembali dan menunggu waktu yg pas buat menaklukkan Makkah secara paksa.

Bisa jadi Nabi Muhammad juga menjalankan mandat Ilahi dan doktrin jihad buat “memerangi mereka sehingga tak ada lagi penindasan, dan yg ada hanya keadilan dan keimanan kepada Allah SWT; tetapi bila mereka berhenti, janganlah ada lagi permusuhan. Kecuali terhadap mereka yg melakukan kezaliman.” (Q.S. 2: 193)

Pada akhirnya, apa yg ditetapkan oleh Nabi ternyata benar. Sekiranya para pelintas batas kaum kafir Quraisy harus ditahan di Madinah, maka mau memberikan beban ekonomi tambahan bagi masyarakat Madinah yg telah kebanjiran pengungsi dari Makkah. Sebaliknya, para pelintas dari Madinah yg ditahan di Makkah mau dibiarkan, sebab pasti mereka ialah para kader yg dapat melakukan upaya politik pecah belah di antara suku-suku yg ada di dalam masyarakat Quraisy.

 

Baca juga: Lima Butir Perjanjian Hudaibiyah

Dalam diplomasi Hudaibiyah, Nabi menuai kesuksesan luar biasa di kemudian hari. Semua lahir dari kemampuan menahan diri dari meraih keuntungan jangka pendek hari ini, demi keuntungan yg lebih besar di masa depan. Dengan kata lain, dalam menghadapi situasi yg sulit sekali pun hendaknya kita mencontoh sikap dan perilaku Rasulullah yg tak mudah terbawa emosi, seraya meletakkan pandangan jauh ke depan.

Disebutkan oleh Pakar bidang Tafsir Prof KH Nasaruddin Umar dalam Khutbah-khutbah Imam Besar (2018) bahwa ketika dilakukan perundingan gencatan senjata antara umat Islam dan kaum kafir Quraisy, Rasulullah memimpin langsung delegasinya dan dari pihak kafir Quraisy dipimpin oleh seorang diplomat ulung bernama Suhail.

Sebagai preambul naskah perjanjian Hudaibiyah itu, Rasulullah meminta diawali dgn kata bismillahirrohamanirrohim, tetapi ditolak oleh Suhail sebab kalimat itu asing. Lalu Suhail mengusulkan kalimat bismika allhumma, kalimat yg populer di tengah masyarakat Arab kala itu.

Sebagai penutup, perjanjian itu diusulkan dgn kata hadza ma qadha ‘alaihi Muhammad Rasulullah (perjanjian ini ditetapkan oleh Muhammad Rasulullah). Akan tetapi Suhail kembali menolak kalimat tersebut dan mengusulkan kalimat hadza ma qudhiya ‘alaihi Muhammad ibn Abdullah (perjanjian ini ditetapkan oleh Muhammad putra Abdullah).

 

Baca juga: Perjanjian Hudaibiyah, Umrah Qadha, dan Virus Corona

Akibat pencoretan basmalah dan kata Rasulullah membuat para sahabat Nabi tersinggung dan menolak perjanjian tersebut. Namun, Rasulullah meminta para sahabatnya buat menyetujui naskah perjanjian itu. Konon, Rasulullah mengambil sendiri penulisan naskah itu sebab para sahabat tak ada yg tega mencoret kata Rasulullah, yg dianggapnya sebagai salah satu prinsip dalam akidah Islam.

Kelemahan lain dari sisi substansi, menurut para sahabat, terdapat materi yg tak adil sebab apabila orang kafir Quraisy yg menyeberang batas wilayah Muslim di Madinah, maka segera dibebaskan. Sedangkan bila yg melanggar batas umat Islam, maka orangnya ditahan di Makkah. Materi perjanjian ini pun disetujui oleh Nabi Muhammad.

Soal pencoretan kata basmalah dan Rasulullah, Nabi menilai hal itu sebagai batas maksimum yg dapat dilakukan, terutama buat mengatasi jumlah korban jiwa akibat peperangan. Nabi mengetahui akibat yg mau dialami umat Islam bila dilakukan gencatan senjata. Namun, beliau sangat paham langkah-langkah yg mau dilakukan selanjutnya. Akidah di dada umat Islam semakin kuat. Teladan dan ajaran Rasulullah juga tak sedikit pun luntur di hati para pengikutnya. 

Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.