Perang Abwa & Perjanjian Damai Rasulullah dgn Bani Dlamrah

Membahas tentang peperangan yg terjadi pada zaman Rasulullah, maka yg tergambar ialah upaya Rasulullah dan para sahabat buat menegakkan Islam supaya tak diremehkan oleh orang-orang kafir. Perang yg terjadi saat itu merupakan solusi terakhir yg memang tak dapat ditawar dgn solusi yg lain. Dari adanya perang yg merupakan solusi terakhir itu, ada beberapa peperangan di mana umat Islam berhasil meraih kemenangan dan sukses dalam membumikan Islam di wilayah tersebut, dan ada juga beberapa peperangan yg umat Islam justru harus menerima kekalahan.

Imam Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim ats-Tsa’labi (wafat 427), dalam salah satu karya tafsirnya mengatakan, bahwa peperangan yg terjadi pada masa Rasulullah sangat banyak, dan dapat terbagi menjadi dua bagian, (1) peperangan yg diikuti oleh Rasulullah; dan (2) peperangan yg tak diikuti olehnya. Menurut ats-Tsa’labi, jumlah peperangan yg diikuti Rasulullah pada masa hidupnya ialah sebanyak dua puluh enam peperangan, di antaranya ialah perang Abwa’ atau yg juga dikenal dgn perang Waddan. (ats-Tsa’labi, Al-Kasyfu wal Bayan ‘an Tafsiril Qur’an, [Bairut, Darul Ihya al-‘Arabi, Lebanon: 2002], juz VI, halaman 475).

Waddan atau Abwa merupakan salah satu daerah yg terletak di antara kota Makkah dan Madinah. Oleh sebabnya, perang ini diberi nama Perang Abwa/Wuddah. Perang yg satu ini memang tak terlalu masyhur sebagaimana perang Uhud dan perang Badar, bahkan dalam kitab-kitab sirah juga jarang disebutkan. Meski demikian, perang ini tetaplah peristiwa bersejarah yg tak boleh dilupakan umat Islam dalam mengingat perjuangan Rasulullah. Tidak hanya itu, perang Abwa juga menjadi permulaan perang dari beberapa peperangan selanjutnya.

Syekh Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi dalam sirah-nya menjelaskan, bahwa hadits-hadits shahih dan atsar menyebutkan perintah perang turun setelah hijrahnya Rasulullah. Di antaranya ialah hadits Rasulullah yg diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, kemudian dipublish oleh Syekh al-Buthi:

اَلْأَنَ نَغْزُوْهُمْ وَلَايَغْزُوْنَا

Artinya, “Saat ini, kita yg mau memerangi mereka, bukan mereka yg mau memerangi kita.” (HR Bukhari)

Menurut al-Buthi, hadits ini akhirnya direalisasikan pada bulan Safar tahun kedua hijriah bertepatan dgn bulan Agustus, tahun 623 M, tepatnya 12 bulan setelah Rasulullah menetap di Madinah setelah hijrah. Saat itulah pertama kali Rasulullah bergerak keluar buat berperang. Saat itu pula, ia hendak menyerang kaum Quraisy dan Bani Hamzah. Namun, Bani Hamzah menawarkan perjanjian sehingga perang tak terjadi. Rasulullah dan para sahabat kembali ke Madinah. Perang pertama ini dikenal dgn sebutan Perang Waddan. (Al-Buthi, Fiqhus Sirah Nabawiyah ma’a Mujazin li Tarikhil Khilafahir Rasyidah, [Bairut, Darul Fikr: 2019], halaman 171).

Sebagaimana jamak diketahui, hijrah Rasulullah dan para sahabat ke Madinah buat menghindar dari ancaman dan hinaan orang kafir Quraisy yg selalu mengganggu mereka. Perjuangan umat Islam di Makkah mendapat tantangan yg sangat hebat dari pemuka Quraisy. Umat Islam menerima serangan dan mental, dikucilkan dan diberi sanksi berupa embargo ekonomi. Sebagian dari mereka ada yg terpaksa melakukan hijrah ke Habsyah sebab kerasnya penindasan yg dilakukan orang kafir Quraisy. Nabi Muhammad dituduh sebagai penyair, bahkan ada yg menuduhnya sebagai tukang sihir. Al-Qur’an dianggap sebagai syair yg dirangkai oleh Nabi Muhammad.

Hari demi hari umat Islam mendapatkan tekanan dan cobaan yg begitu kuat dari orang kafir Quraisy. Ketika itulah, kaum muslimin terpaksa melakukan hijrah ke Madinah. Sesampainya di Madinah, perlakuan aniaya kafir Quraisy tak berhenti begitu saja, mereka tak tinggal diam dan membiarkan Rasulullah hidup tenang bersama sahabat Muhajirin dan Anshar di sana. Ancaman datang silih berganti, hinaan dan fitnah selalu berdatangan kepada mereka, tebaran fitnah sana-sani, bahkan, tak lama setelah hijrahnya Nabi Muhammad, kafir Quraisy mengumumkan perang buat menyerang Rasulullah dan umat Islam.

Di saat yg sama, umat Islam benar-benar berada dalam ancaman yg tak gampang. Siap atau tak sekali pun, mereka harus berani menghadapi koalisi kafir Quraisy yg hendak memerangi mereka. Dalam kondisi seperti itulah Allah menurunkan ayat pertama yg mengizinkan umat Islam buat berperang. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:

أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ

Artinya, “Diizinkan (berperang) kepada orang-orang yg diperangi, sebab sesungguhnya mereka dizalimi. Dan sungguh, Allah Mahakuasa menolong mereka itu.” (QS Al-Hajj: 39).

Syekh Dr. Wahbah Zuhaili dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini merupakan ayat pertama yg memberi izin kepada umat Islam buat melakukan perang. Tepatnya pada tahun kedua setelah hijrahnya Rasulullah ke Madinah. Latar belakang turunnya ayat ini tak lain disebabkan banyaknya hinaan dan cacian sekaligus ancaman yg kerap diluncurkan oleh orang kafir dan musyrik kepada umat Islam saat itu. (Az-Zuhaili, At-Tafsirul Munir, [Bairut, Darul Fikr, Damaskus: 2012], juz II, halaman 261).

Strategi Rasulullah

Setelah orang kafir Quraisy mengampanyekan perang melawan umat Islam dan ada izin dari Allah swt buat memberikan perlawanan kepada mereka. Tibalah waktunya umat Islam unjuk badan menghadapi semua kekejaman yg orang kafir lakukan kepada mereka. Peperangan ini kemudian disebut dgn perang Abwa (ghazwatul Abwa’) atau ada juga yg menamainya dgn perang Waddan (ghazwatul Waddan).

Syekh Sulaiman bin Musa al-Andalusi (wafat 643 H) mengatakan, sebelum Rasulullah dan para sahabat bergegas menuju lokasi perang, ia merencanakan strategi yg mau digunakan saat perang meletus, kesepakatan terakhir yg diambil Rasulullah dan para sahabat ialah strategi menyekat kaum Quraisy yg didominasi oleh orang-orang kafir Quraisy dan orang Musyrik lainnya, yaitu umat Islam berpencar dan menempati tempat yg berbeda, tujuannya tak lain kecuali supaya orang kafir Quraisy dapat dikepung di tempat tersebut.

Namun, rencana matang yg umat Islam sepakati tak terlaksana, hal itu disebabkan orang-orang kafir telah pergi dan pulang sebelum umat Islam datang. Akibatnya, strategi yg telah disepakati tak dapat diterapkan serta upaya pengepungan mereka tak terlaksana. (Sulaiman al-Andalusi, al-Iktifa min Maghazi Rasulillah wal Khulafa, [Bairut, Darul ‘Alam: 1999], juz II, halaman 5).

Perjanjian Rasulullah dan Bani Dlamrah

Setelah umat Islam tak mendapati seorang pun di tempat perang, mereka pulang tanpa terjadi peperangan dan genjatan senjata. Namun, tanpa Rasulullah dan sahabat sadari, mereka disekat oleh kaum kafir yg diprakarsai oleh Makhsy bin Amr adl-Dlamrah, dan beberapa koalisi kaum kafir dari Bani Dlamrah.

Melihat reaksi mereka yg datang secara tiba-tiba, umat Islam langsung sigap dan siap buat meluluhlantakkan dan memukul mundur pasukan yg dipimpin oleh Makhsy bin Amr. Hanya saja, kedatangan mereka ternyata bukan buat berperang melawan Rasulullah dan umat Islam saat itu, mereka hanya mau membuat kesepakatan dgn Rasulullah supaya antarmereka dan umat Islam tak berperang sehingga keputusan damai disepakati oleh Rasulullah dan pasukan Bani Dlamrah.

Syekh ‘Ali bin Ibrahim bin Ahmad al-Halabi (wafat 1044 H) dalam salah satu kitab karangannya mengatakan, di antara isi perjanjian itu ialah sebagai berikut:

بِسْمِ اللّهِ الرّحْمَنِ الرّحِيمِ. هَذَا كِتَابٌ مِنْ مُحَمّدٍ رَسُولِ اللّهِ لِبَنِي ضَمْرَةَ، فَإِنّهُمْ آمِنُونَ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ وَأَنّ لَهُمْ النّصْرَ عَلَى مَنْ رَامَهُمْ إلا أَنْ يُحَارِبُوا فِي دِينِ اللّهِ. وَإِنّ النَّبِي إذَا دَعَاهُمْ لِنَصْرِهِ أَجَابُوهُ، عَلَيْهِمْ بِذَلِكَ ذِمّةُ اللهِ وَذِمّةُ رَسُولِهِ، وَلَهُمْ النّصْرُ عَلَى مَنْ بَرَّ مِنْهُمْ وَاتّقَى.

Artinya, “Dengan menyebut nama Allah Yang Mahapengasih lagi Mahapenyayg. Ini ialah surat perjanjian dari Muhammad Rasulullah buat Bani Dlamrah. Sesungguhnya, harta dan jiwa mereka dijamin keamanannya, dan sesungguhnya mereka mau mendapatkan pertolongan menghadapi orang-orang yg menyerang mereka, kecuali bila mereka memerangi agama Allah. Dan, bila Rasulullah meminta pertolongan kepada mereka, mereka pun mau menolongnya. Mereka mendapat jaminan keamanan dari Allah dan Rasul-Nya dan diberi pertolongan dari mereka yg baik dan menjaga (perjanjian). (‘Ali al-Halabi, Insanul ‘Uyun fi Siratil Aminil Ma’mun, [Bairut, Darul Kutubil ‘Ilmiah: 2004], juz II, halaman 347).

Sebagaimana penjelasan di atas, perang ini merupakan perang pertama di mana Rasulullah terjun langsung dalam memimpin jalannya peperangan. Ini menunjukkan bahwa umat Islam bukanlah kelompok lemah yg dapat dihina dan diremehkan oleh kafir Quraisy dan orang-orang musyrik saat itu.

Umat Islam telah memiliki kekuatan militer yg cukup buat memberikan perlawanan kepada siapa pun yg mencoba memerangi ajaran Islam dan menghalangi penyebarannya. Demikian sejarah perang Abwa/Waddan yg dapat penulis sampaikan. Wallahu A’lam bisshawab.

Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam, Durjan, Kokop, Bangkalan.





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.