Sejarah Kurban: Teladan Nabi Ibrahim & Nabi Ismail

Selain kisah yg diperankan dua putra Nabi Adam ‘alaihis salam pada tulisan sebelumnya, sejarah juga mencatat tentang perjalanan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yg harus mengurbankan putranya, yaitu Nabi Ismail ‘alaihis salam.

Peristiwa itu terjadi setelah meledaknya tragedi pembakaran Nabi Ibrahim yg dilakukan Raja Namrud dan anak buahnya. Hanya saja sebagai bukti kenabian dan salah satu mukjizat Nabi Ibrahim, Allah menyelamatkannya dgn memerintahkan api yg membakar tubuhnya menjadi dmau dan keselamatan baginya.

Setelah peristiwa itu terjadi, Nabi Ibrahim memutuskan buat berhijrah meninggalkan Raja Namrud dan kaumnya. Ketika perjalanan hijrah yg ia tempuh telah selesai, Nabi Ibrahim menikah dgn Siti Hajar dan dikaruniai putra, yaitu Nabi Ismail ‘alaihis salam yg kelak juga diangkat menjadi nabi.

Perjalanan bersama keluarga terus berkelanjutan. Begitupun dgn Ismail kecil. Semakin lama bersama sang ayah, umurnya semakin hari semakin bertambah. Saat Nabi Ibrahim begitu sayg kepadanya, ternyata dalam tidurnya ia bermimpi menyembelih dan mengurbankan putra tersaygnya itu. Saat itu, Nabi Ismail telah dapat membantu ayahnya dalam setiap pekerjaan-pekerjaannya. Ia telah tumbuh menjadi anak yg dapat bertanggung jawab.

Menurut sebagian pendapat, ketika Nabi Ibrahim mendapatkan mimpi tersebut, Nabi Ismail sedang berumur tujuh tahun, ada juga yg mengatakan berumur tiga belas tahun, sebagaimana yg dijelaskan Syekh Wahbah Zuhaili dalam Kitab Tafsir Al-Munir.

Nabi Ibrahim sangat bingung menyikapi mimpinya. Ia tak lantas membenarkan, namun tak pula mengingkari. Nabi Ibrahim merenunginya beberapa kali dan memohon kepada Allah  buat memberi petunjuk yg benar kepada-Nya. Setelah malam yg sangat membingungkan itu selesai, ternyata malam kedua juga datang kepadanya mimpi yg sama, begitupun dgn malam ketiga. Setelah mimpinya yg ketiga, barulah Nabi Ibrahim meyakini dan membenarkan, bahwa mimpi itu benar-benar nyata dan harus dilaksanakan.

Setelah itu, Nabi Ibrahim menyampaikan mimpinya pada anak semata waygnya. Dalam Al-Qur’an Allah  mengisahkan cerita itu, yaitu:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى

Artinya, “Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, ‘Wahai anakku! Sungguh aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah bagaimana pendapatmu!’” (Surat As-Saffat ayat 102).

Mendengar pernyataan dan pertanyaan ayahnya, dgn tegas dan tenang Nabi Ismail menjawab,

قَالَ ياأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَآءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ

Artinya, “Dia (Ismail) menjawab, ‘Wahai ayahku! Lakukanlah apa yg diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau mau mendapatiku termasuk orang yg sabar.’” (Surat As-Saffat ayat 102).

Sebagai sosok yg sangat  taat pada perintah Allah, Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ‘alaihimas salam melakukan apa yg telah menjadi ketetapan bagi keduanya. Dengan hati yg sedih dan raut wajah yg dipenuhi linangan air mata, semuanya harus mereka ikhlaskan demi memenuhi perintah-Nya, bahkan Nabi Ibrahim harus mengurbankan anaknya sendiri, disembelih di hadapannya dan dilakukan dirinya sendiri. Namun, semua itu mereka lakukan sebagai manifestasi bahwa seorang hamba haruslah mengikuti semua perintah Tuhan-Nya. Kejadian itu juga merupakan contoh keteladanan luar biasa yg harus dilakukan oleh umat Islam setelahnya, bahwa tak ada yg lebih mulia selain mengikuti perintah-Nya, dan tak ada kenikmatan yg lebih sempurna selain menjalankan semua kewajiban-Nya.

Setelah keduanya sepakat buat melakukan penyembelihan itu, Nabi Ibrahim membawa putranya, Nabi Ismail ke Mina dan membaringkannya di atas pelipisnya. Saat-saat penuh kesedihan itu, Nabi Ismail lantas mengatakan pada ayahnya dgn penuh keikhlasan, yaitu:

يا أبت اشدد رباطى حتى لا اضطرب، واكفف عنى ثيابك حتى لا يتناثر عليها شئ من دمى فتراه أمى فتحزن، وأسرع مرّ السكين على حلقى ليكون أهون للموت على، فإذا أتيت أمى فاقرأ عليها السلام منى

Artinya, “Wahai ayahku! Kencangkanlah ikatanku supaya aku tak lagi bergerak, singsingkanlah bajumu supaya darahku tak mengotori, dan (bila nanti) ibu melihat bercak darah itu niscaya ia mau bersedih, percepatlah gerakan pisau itu dari leherku, supaya terasa lebih ringan bagiku sebab sungguh kematian itu sangat dahsyat. Apabila engkau telah kembali maka sampaikanlah salam (kasih)ku kepadanya.” (Syekh Muhammad Sayyid Ath-Thanthawi, Tafsir Al-Wasith, [Beirut, Darul Fikr: 2005 M], halaman 3582).

Setelah mendengar ucapan anaknya yg sangat baik dan taat, dgn dipenuhi perasaan sedih dan linangan air mata, Nabi Ibrahim sebagai ayah darinya menjawab:

نعم العون أنت يا بُني على أمر الله

Artinya, “Sungguh, sebaik-baiknya pertolongan ialah engkau wahai anakku dalam menjalankan perintah Allah,” (Imam Fakhruddin Ar-Razi, Tafsir Mafatihul Ghaib, [Beirut, Darul Kutub: 2000 M], juz XXVI, halaman 138).

Setelah perbincangan antara keduanya telah selesai, meledaklah tangisan mereka. Nabi Ibrahim tak dapat menahan air matanya buat tak mengalir. Di satu sisi, ia harus melaksanakan perintah-Nya. Di sisi yg lain, ia sangat sayg pada anaknya. Namun, sebagai seorang yg taat mau perintah-Nya, Nabi Ibrahim harus merelakan anaknya buat dijadikan kurban saat itu. Begitupun dgn Nabi Ismail, ia masih tak mau berpisah dgn ayah dan ibunya. Namun adanya perintah Allah harus lebih ia kedepankan dari yg lainnya.

Nabi Ibrahim melakukan apa yg telah disampaikan putranya. Kemudian Nabi Ibrahim menciumnya dgn penuh kasih sayg dan linangan air mata, dan akhirnya mengambil pisau buat menyembelihnya. Setelah pisau telah ada di tangannya, ia meletakkan pisau tajam itu ke leher Nabi Ismail, namun keajaiban datang dari Allah. Pisau itu ternyata sama sekali tak melukai Nabi Ismail. Beberapa kali Nabi Ibrahim mengulanginya, namun tetap sebagaimana semula. Jangankan melukai, bahkan pisau itu tak memberi bekas apa pun pada anak semata waygnya itu. Nabi Ismail mengatakan pada ayahnya:

يا أبتِ كبّني لوجهي على جبيني، فإنّك إذا نظرت في وجهي رحمتني، وأدركتك رقّة تحول بينك وبين أمر الله وأنا لا أنظر إلى الشفرة فأجزع

Artinya, “Wahai ayahku! Palingkanlah wajahku hingga tak terlihat olehmu! Karena sungguh, bila melihat wajahku, engkau mau selalu merasa iba. Perasaan iba itu dapat menghalangi kita buat melaksanakan perintah Allah. Apalagi di depan mataku terlihat kilatan pisau yg sangat tajam, tentu membuatku ketakutan.” (Syekh Abu Ishaq bin Ibrahim Ats-Tsa’labi, Tafsir Ats-Tsa’labi, [Beirut, Darul Ihya’: 2002 M], halaman 1901).

Lagi-lagi sosok Nabi Ismail sangat berperan dalam menjalankan perintah Allah ketika perintah yg harus dilakukannya merupakan perintah tak dapat diterima oleh akal. Kemudian, Nabi Ibrahim kembali menuruti permintaan anaknya. Namun, yg terjadi masih saja seperti semula, pisaunya yg sangat tajam tetap tak dapat melukai Nabi Ismail. Berbagai pertanyaan muncul saat itu, di mana pisau yg sangat tajam, bahkan dapat membelah batu yg begitu keras tak dapat melukai leher Nabi Ismail yg begitu halus dan lembut. Saat itulah Allah menurunkan firman-Nya, sekaligus menjawab berbagai pertanyaan itu. Dalam Al-Qur’an disebutkan,

وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلاءُ الْمُبِينُ وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآخِرِينَ.

Artinya, “Lalu Kami panggil dia, ‘Wahai Ibrahim! Sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.’ Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yg berbuat baik. Sungguh ini benar-benar suatu ujian yg nyata. Kami tebus anak itu dgn seekor sembelihan yg besar. Kami abadikan buat Ibrahim (pujian) di kalangan orang-orang yg datang kemudian,” (Surat As-Saffat ayat 104-108).

Seperti itulah kisah heroik, histeris, dan sangat dramatis yg terjadi pada Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail ‘alaihimas salam. Ketika keimanan dan keyakinan telah melekat dalam jiwa, ia mampu mengalahkan segala kemauan yg bersifat rasionalitas. Meski rasio tak menerima mau tindakan seorang ayah buat menyembelih anaknya, namun keimanan lebih ia kedepankan dari semuanya.

Setelah semua skenario itu selesai, sangat tampak kesabaran dan ketaatan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Oleh sebabnya Allah  tak menghendaki penyembelihan itu terjadi, bahkan melarangnya dan mengganti kurbannya dgn seekor kambing.

Menurut Syekh Jalaluddin Al-Mahalli dalam Kitab Tafsir Al-Qur’an al-Karim, kambing yg digunakan sebagai ganti dari penyembelihan tersebut merupakan sembelihan yg agung (dzibhul azhim), sebab sebenarnya, kambing itu merupakan kurban Habil yg diangkat ke langit, saat Allah memerintahkannya buat melaksanakan kurban, lalu digembalakan di surga buat waktu yg sangat lama.

Ustadz Sunnatullah, pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Kokop Bangkalan Jawa Timur.





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.