Ini Enam Fungsi Asbabul Wurud Hadits

Untuk memahami konteks yg tersimpan dalam sebuah hadits, seseorang membutuhkan pengetahuan mau kehidupan Nabi SAW secara mendetail, khususnya kejadian-kejadian yg berkaitan dgn munculnya sebuah hadits. Hal ini oleh para ulama disebut sebagai asbabul wurud hadits.

Ilmu asbabul wurud memiliki beberapa fungsi. Secara umum, fungsi-fungsi dari asbabul wurud ini telah tergambar dalam definisi asbabul wurud menurut As-Suyuthi, yaitu:

ما يكون طريقا لتحديد المراد من الحديث من عموم أو خصوص أو إطلاق أوتقييد أو نسخ أو نحو ذالك.

Artinya, “Setiap hal yg menjadi metode buat membatasi makna hadits, baik dari makna umum, khusus, mutlak-muqayyad, atau naskh, dan semacamnya.”

Atau dalam bahasa yg lebih mudah, As-Suyūṭī menyebutnya dgn:

ما ورد الحديث أيام وقوعه

Artinya, “Suatu kejadian yg mengiringi sebuah hadits pada masa terjadinya kejadian tersebut,” (Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Lummāʽ fi Asbābil Ḥadīts, [Beirut, Dārul Kutub: 1984 M], halaman 11).

Dalam definisinya di atas, As-Suyūṭī menjelaskan enam fungsi asbabul wurud.

Pertama, Takhshīsul ʽAmm

Salah satu contoh dari faedah ini ialah hadits yg menjelaskan bahwa pahala orang yg shalat dgn duduk ialah setengah dari pahala orang yg shalat dgn berdiri.

صلاة القاعد على النصف من صلاة القائم

Artinya, “(Pahala) shalat orang yg duduk ialah setengah dari pahala shalat dgn berdiri.”

Hadits di atas sebenarnya bukan buat semua orang yg shalat dgn duduk, melainkan hanya buat orang yg shalat dgn duduk dalam keadaan tertentu. Hadits di atas mungkin secara sekilas kelihatan masih umum. Tapi bila kita runut asbabul wurudnya, hadits tersebut ditujukan kepada orang-orang di Madinah saat itu yg shalat dgn duduk.

Pada saat itu nabi mengetahui, Nabi pun bertanya kepada Abdullāh bin Umar terkait alasan mereka shalat duduk. Mereka menjawab bahwa mereka shalat duduk sebab mereka terkena wabah penyakit panas. Kemudian Rasul bersabda hadits di atas. Para sahabat yg masih mampu berdiri pun lebih memilih berdiri ketimbang duduk, (Lihat At-Ṭhabrānī, Musnadus Syamīyyīn, [Beirut, Muassasatur Risālah: 1984 M], juz I, halaman 370).

As-Suyūṭī pun menyimpulkan bahwa yg dimaksud dgn pahala setengah dari orang yg berdiri ialah buat orang-orang yg masih kuat dan mampu buat berdiri tetapi ia lebih memilih duduk.

Dalam hadits lain riwayat Muslim juga disebutkan bahwa Rasulullah SAW tak meninggal hingga beliau shalat dgn duduk.

عن جابر بن سمرة أن النبي ﷺ لم يمت حتى صلى قاعدا.

Artinya, “Dari Jābir bin Samurah bahwa Rasulullah SAW tak meninggal dunia hingga beliau shalat dgn duduk,” (Lihat Muslim, Ṣhaḥīḥ Muslim, [Beirut, Dāru Jil: tanpa catatan tahun], juz II, halaman 165).

Ini menunjukkan bahwa Rasul SAW selalu dgn sekuat tenaga berusaha berdiri hingga beliau sakit parah yg menyebabkan kewafatannya. Artinya, Rasul hanya shalat dgn duduk ketika ia sakit parah yg menyebabkan ia meninggal dunia, (Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Lummāʽ fi Asbābil Ḥadīts, [Beirut, Dārul Kutub: 1984 M], halaman 11).

Kedua, Taqyīdul Muṭhlāq

Yang dimaksud dgn taqyīd al-muṭlāq ialah pembatasan kata yg masih terlalu umum. Salah satu contohnya ialah hadits tentang balasan bagi orang yg berbuat baik kemudian banyak orang yg menirunya. Orang yg berbuat baik tersebut mau mendapatkan pahala orang-orang yg telah meniru perbuatannya tanpa mengurangi sedikit pun pahala orang-orang tersebut.

من سن سنة حسنة عمل بها بعده كان له مثل أجر من عمل بها من غير ان ينقص من أجره شيء ومن سن سنة سيئة كان عليه مثل وزر من عمل بها من غير ان ينقص من أوزارهم شيء

Artinya, “Siapa pun orang yg mencontohkan suatu sunnah (perbuatan) yg baik  yg diamalkan oleh orang lain setelahnya maka ia mendapat pahala sebanyak pahala orang lain yg telah melakukan perbuatan baik tersebut tanpa mengurangi pahala orang-orang yg telah melakukannya. Siapun orang yg mencontohkan suatu perbuatan yg jelek maka maka ia mendapat dosa sebanyak dosa orang lain yg telah melakukan perbuatan jelek tersebut tanpa mengurangi dosa orang-orang yg telah melakukannya,” (Lihat Abdullāh Abū Muḥammad Ad-Dārimī, Sunan Ad-Dārimī, [Beirut, Dārul Kutub: 1407 H], juz I, halaman 60).

Dalam hadits di atas, kata sunnah hasanah terlihat masih umum, ditandai dgn tanda nakirah, yaitu tanwīn (ـً). Ini tentu menimbulkan pertanyaan, perbuatan baik seperti apa? Apakah perbuatan baik yg terdapat unsur dalilnya dalam naṣ agama atau boleh juga perbutan baik yg tak ada naṣ agamanya?

Menurut As-Suyūṭī, yg dimaksud sunnah hasanah dalam hal ini ialah perbuatan baik yg terdapat dalam naṣ agama. As-Suyūṭī kemudian menyebutkan redaksi hadits yg lebih lengkap, bahwa suatu hari Rasul SAW berkhotbah dan berpesan buat bertakwa, kemudian para sahabat datang membawa beberapa barang buat disedekahkan, mulai baju, uang, perhiasan, makanan pokok, hingga ada seseorang Ansor yg datang dgn bungkusan yg sangat berat dan membuatnya tak dapat mengangkatnya, hingga wajah Rasul SAW terlihat semringah. Kemudian Rasul bersabda hadits di atas. (Lihat Al-Bazzār, Musnad Al-Bazzār, [Madinah, Maktabah Ulūm wal Hukm: 2009 M], juz X, halaman 145).

Dari redaksi hadits yg disebutkan secara lengkap di atas, As-Suyūṭi berkesimpulan bahwa yg dimaksud sunnah ḥasanah atau perbuatan baik dalam hadits di atas, ialah perbuatan baik yg telah diajarkan Rasul dalam naṣ agama, baik dalam Al-Qur’an maupun hadits.

Ketiga, Tafṣīlul Mujmal

Yang dimaksud dgn tafṣīlul mujmal ialah memperinci sesuatu yg masih global. Contoh dari faedah ini ialah sebuah hadits yg diriwayatkan oleh Anas bin Mālik tentang Rasulullah SAW yg memerintahkan Biāl buat menggenapkan kalimat azan dan mengganjilkan kalimat iqamah.

أمر بلال أن يشفع الأذان ويوتر الإقامة

Artinya, “Bilāl diperintahkan buat menggenapkan kalimat adzan (dua-dua) dan mengganjilkan kalimat iqamah (satu-satu).”

Namun hadits ini seolah bertentangan dgn pendapat jumhūr ulama yg menyebutkan bahwa kalimat takbir dalam adzan itu tak hanya dua kali, tapi empat kali (tarbīʽ). Sedangkan kalimat takbir dalam iqamah ialah dua kali.

Yang dimaksud mengganjilkan dalam hadits di atas ialah empat kali. Hal ini dapat dilihat dari asbabul wurud hadits tersebut yg menjelaskan sejarah kalimat adzan, yaitu melalui proses mimpi Abdullāh bin Zaid. Kemudian Abdullāh datang kepada Rasulullah SAW dan menceritakan mimpinya, yaitu menyebutkan kalimat takbīr empat kali saat adzan dan dua kali saat iqamah. Baru kemudian Rasul SAW meminta Abdullāh mengajarkan kalimat itu kepada Bilāl, (Lihat Ibnu Ḥibbān, Ṣaḥīḥ Ibnu Ḥibbān, [Beirut, Muassasatur Risālah: 1993 M], juz IV, halaman 572).

Inilah yg dimaksud oleh As-Suyūṭī bahwa asbabul wurud hadits di atas, yg berupa penjelasan Abdullāh bin Zaid tentang kalimat lengkap adzan menjelaskan hal-hal yg masih global dalam kalimat menggenapkan dan mengganjilkan.

Keempat, Membatasi hadits yg menjadi nāsikh (penghapus) dan menjelaskan nāsikh dan mansūkh.

Seperti contoh dalam sebuah hadits yg menjelaskan bahwa orang yg berbekam dan orang yg membekam puasanya batal.

أفطر الحاجم والمحجوم

Artinya, “Batal puasanya orang yg membekam dan dibekam,” (HR Ahmad).

Namun dalam hadits lain disebutkan bahwa orang yg berbekam tak batal, sebab Rasulullah SAW juga pernah berbekam dalam keadaan sedang puasa dan sedang berihram.

إحتجم النبي ﷺ وهو صائم محرم

Artinya, “Rasulullah Saw berbekam dan beliau dalam keadaan sedang puasa dan berihram (menggunakan pakaian ihram),” (HR Ibnu Mājjah).

Juga dalam hadits lain riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa orang yg mimpi basah, muntah, dan berbekam tak membatalkan puasa.

لا يفطر من قاء ولا من احتلم ولا من احتجم

Artinya, “Tidak batal puasa orang yg mutah (tak disengaja), mimpi basah, dan berbekam,” (HR Abu Dawud).

Secara sekilas kelihatan bahwa hadits yg pertama dinasakh. As-Suyuṭī menjelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat terkait hadits mana yg menasakh dan dinasakh. Imam Alī bin Al-Madīnī dan Ibnu Mundzīr berpendapat bahwa yg menasakh ialah hadits yg pertama. Sedangkan Imam As-Syafi’i berpendapat bahwa yg menasakh ialah hadits yg kedua, (Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Lummāʽ fi Asbābil Ḥadīts, [Beirut, Dārul Kutub: 1984 M], halaman 15).

Dalam riwayat Al-Baihaqi disebutkan bahwa sebab Rasul bersabda tentang batalnya puasa dua orang yg sedang berbekam, baik dari orang yg membekam maupun dibekam ialah kerena keduanya juga melakukan ghibah.

مر رسول الله صلى الله عليه وسلم على رجل بين يدي حجام وذلك في رمضان وهما يغتابان رجلا فقال افطر الحجام والمحجوم

Artinya, “Rasulullah SAW berjalan di antara dua orang yg sedang melakukan bekam. Dan hal itu terjadi pada bulan Ramadhan, keduanya sedang menggunjing orang lain. Kemudian Rasul SAW bersabda, telah batal puasanya orang yg membekam dan dibekam,” (Lihat Al-Baihāqī, Syuʽābul Īmān, [Beirut, Darul Fikr: 1410 H], juz V, halaman 307).

Ini menunjukkan bahwa sebenarnya tak ada pertantangan dan nasikh mansukh antara satu hadits di atas dgn yg lain. Hanya saja hadits yg pertama perlu dicari asbābul wurūdnya buat mengurai dan menjelaskan apakah ada nasakh dan mansukh.

Kelima, Menjelaskan illat suatu hukum

Dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa Rasul SAW pernah melarang seorang buat minum langsung dari mulut sebuah wadah air (kendi). Dalam hadits yg lain dijelaskan bahwa ada seseorang yg minum dari mulut sebuah kendi kemudian perutnya sakit.

Inilah yg dimaksud oleh As-Suyūṭī, bahwa asbabul wurud dapat digunakan buat melihat illat suatu hukum. Dalam kasus minum air ini, illatnya ialah dapat membuat sakit perut, tersedak, dan lain sebagainya, (Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Lummāʽ fi Asbābil Ḥadīts, [Beirut, Dārul Kutub: 1984 M], halaman 17).

Keenam, Menjelaskan hal yg masih musykil (sulit dipahami)

Contohnya ketika Rasul SAW bersabda bahwa orang yg diperdebatkan hisabnya, dia mau diazab. Lalu Aisyah bertanya bukankah hisab mau dipermudah. Kemudian Rasul menjawab, yg dimaksud hisab itu ialah hanya diperlihatkan (عرض). Sedangkan orang yg diperdebatkan hisabnya dia mau hancur.

Hal ini dijelaskan dalam sebuah hadits riwayat Imam Al-Bukhari.

أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ لَا تَسْمَعُ شَيْئًا لَا تَعْرِفُهُ إِلَّا رَاجَعَتْ فِيهِ حَتَّى تَعْرِفَهُ وَأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ حُوسِبَ عُذِّبَ قَالَتْ عَائِشَةُ فَقُلْتُ أَوَلَيْسَ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى ( فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا ) قَالَتْ فَقَالَ إِنَّمَا ذَلِكِ الْعَرْضُ وَلَكِنْ مَنْ نُوقِشَ الْحِسَابَ يَهْلِكْ

Artinya, “Sungguh Aisyah istri Nabi SAW taklah mendengar sesuatu yg tak dia mengerti kecuali menanyakannya kepada Nabi SAW sampai dia mengerti, dan Nabi SAW pernah bersabda, ‘Siapa yg dihisab berarti dia disiksa’ Aisyah berkata, maka aku bertanya kepada Nabi, ‘Bukankah Allah SWT berfirman, ‘Kelak dia mau dihisab dgn hisab yg ringan.’’ Aisyah berkata, maka Nabi SAW bersabda, ‘Sungguh yg dimaksud itu ialah pemaparan (amalan). Akan tetapi barang siapa yg didebat hisabnya pasti celaka,’” (Lihat Al-BukhārÄ«, á¹¢aḥīḥ Al-BukhārÄ«, [Beirut, Dāru Ṭūqin Najāt: 1422 H], juz I, halaman 32).

Hadits di atas menunjukkan bahwa sababu wurūdil hadits dapat digunakan sebagai penjelas atas hal yg masih musykil. Wallahu a’lam.

Ustadz Muhammad Alvin Nur Choironi, Pegiat Kajian Tafsir dan Hadits.





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.