Ketika Rasulullah Dirayu Pemuka Quraisy buat Menghentikan Dakwah

Rasulullah ialah uswah (teladan) paling sempurna bagi umatnya. Meneladani beliau merupakan konsekuensi yg logis dari iman mau adanya Nabi Muhammad ï·º sebagai Rasulullah (utusan Allah). Beriman kepada Rasulullah ialah meyakini dan mempercayai dgn sepenuh hati bahwa Allah ï·» memilih di antara manusia buat dijadikan rasul-Nya dan menyampaikan semua perintah dan larangan-Nya kepada umat manusia.

 

Rasulullah sebagai pamungkas para nabi dan rasul diutus oleh Allah ï·» seraya buat memperbaiki akhlak manusia dan menjadi sebaik-baiknya teladan. Syekh Said Ramadhan al-Buthi menyampaikan dalam kitab Fiqhus Sirah Nabawiyah, di antara sikap Rasulullah yg harus diteladani ialah berdakwah dgn ikhlas sebab Allah ï·» tanpa tujuan yg lain.

 

Syekh al-Buthi menyebutkan, dalam riwayat Ibnu Hisyam dari Ibnu Ishaq bahwa Utbah bin Rabiah (seorang cerdik dan pandai dari suku Quraisy) berkata kepada para pemuka Quraisy yg berkumpul buat merundingkan sikap dan langkah mereka menghadapi gerakan dakwah Nabi Muhammad. Dia mengatakan, “Wahai Quraisy, mungkin langkah yg baik ialah aku menemui dan ngobrol langsung dgn Muhammad, lalu menawarinya beberapa hal. Barangkali dia mau menerima salah satu yg kita tawarkan kemudian kita memberinya apa pun yg dia maukan supaya dia tak lagi menyusahkan kita.”

 

Mereka menjawab, “Benar, wahai Abu al-Walid, kami menyetujui usulmu. Pergi dan bicaralah kepadanya.”

 

Maka, Utbah datang menemui Rasulullah lalu berkata, “Wahai anak saudaraku, kau ialah bagian dari kami. Sungguh sejak dulu kami telah mengenal kejujuran, kesantunan, dan kemuliaan silsilah keluargamu. Namun, kau telah membawa masalah yg sangat besar kepada kaummu. Apa yg kaubawa itu telah merusak persatuan mereka dan merendahkan cita-cita mereka. Jadi, dengarkanlah baik-baik. Aku datang sebagai utusan kaummu buat menawarimu beberapa hal, mungkin kau mau menerima salah satunya.”

 

Rasulullah ﷺ menjawab, “Katakanlah, wahai Abu al-Walid, aku menyimaknya.”

 

Utbah bin Rabiah berkata, “Wahai anak saudaraku, bila dgn yg kaubawa ini kau menghendaki harta maka kami rela menghimpun sebagian harta kami buatmu sehingga kau menjadi orang terkaya di antara kami. Jika dgn yg kaubawa ini kau mengmaukan kemuliaan, kami rela mengangkatmu sebagai pemimpin sehingga kami tak mau memutuskan persoalan apa pun tanpa persetujuanmu. Jika yg kaumaukan ialah kerajaan maka kami rela menobatkanmu sebagai raja. Dan, bila yg mendatangimu ialah jin yg tak dapat kautangkal maka kami bersedia mencarikan tabib bagimu atas biaya kami hingga kau sembuh.”

 

Rasulullah bertanya kepada Utbah, “Apakah kau telah mengatakan semua yg mau kausampaikan, wahai Abu Al-Walid?”

 

Utbah menjawab, “Ya.”

 

Kemudian, Rasulullah bersabda, “Sekarang, dengarkanlah aku.” Saat itu, Rasulullah membaca Surah Fussilat dari ayat pertama. Namun, situasi berubah ketika bacaan Nabi sampai pada ayat ke13:

 

فَإِنْ أَعْرَضُوا فَقُلْ أَنْذَرْتُكُمْ صَاعِقَةً مِثْلَ صَاعِقَةِ عَادٍ وَثَمُودَ

 

Artinya, “Jika mereka berpaling maka katakanlah, ‘Aku telah memperingatkan kamu mau (bencana) petir seperti petir yg menimpa kaum ‘Ad dan kaum Samud” (QS Fussilat: 13).

 

Tuntas Nabi Muhammad ﷺ membaca ayat itu, serta-merta Utbah menutup mulut Rasulullah dgn tangannya dan memohon buat berhenti membaca, sebab dia takut mendengar acaman yg dilantangkan ayat-ayat itu. Kemudian, Utbah kembali menemui kaum Quraisy yg menanti-nanti kedatangannya. Mereka bertanya, “Bagaimana hasilnya, wahai abu Al-Walid?”

 

Utbah menjawab, “Aku mendengar suatu perkataan yg belum pernah kudengar seperti itu sebelumnya sepanjang hidupku. Demi Allah, perkataan itu bukan syair, bukan sihir, dan bukan mantra dukun. Wahai kaum Quraisy, turutilah kata-kataku, biarkanlah orang itu (Muhammad) dgn urusannya. Biarkanlah dia! Demi Allah, menurut perkataan yg kudengar darinya, sungguh mau terjadi sesuatu yg sangat mengemparkan! Jika bangsa Arab (lain) membunuhnya, berarti kalian menghentikannya lewat orang lain. Dan, bila dia mengalahkan bangsa Arab (lain), kerajaannya ialah kerajaan kalian juga, kemuliannya ialah kemuliaan kalian juga.”

 

Kaum Quraisy berujar marah, “Demi Allah, dia (Muhammad) telah menyihirmu dgn kata-katanya, wahai Abu al-Walid.” Utbah menukas, “Demikianlah pendapatku tentang dirinya. Jika tak mau mendengarku, lakukanlah apa saja sesuka kalian” (Syekh Said Ramadhan al-Buthi, Fiqhus Sirah Nabawiyah, [Beirut: Dar al-Fikr 2020], h. 96).

 

Ada tiga pelajaran penting dari kejadian di atas, sebagaimana yg disampaikan oleh Syekh al-Buthi. Pertama, menjelaskan secara rinci tentang hakikat dakwah Rasulullah ï·º yg bersih dari segala kepentingan dan tujuan pribadi yg biasanya menjadi motivasi para pengusung propaganda baru serta para penyeru revolusi dan reformasi.

 

هل النبي ﷺ يضمر من وراء دعوته الوصول الى ملك؟ أو لعله يضمر الوصول الى مستوى رفيع من الزعامة أو الغني, أو لعل الأمر لايعدو خيالات تتراءى له بسبب مرض يعانيه.

 

Artinya, “Apakah Nabi Muhammad ﷺ berdakwah dgn tujuan buat meraih kekuasaan, atau kepemimpinan, atau kekayaan yg berlimpah? Atau, apakah dakwahnya merupakan akibat dari penyakit yg diidapnya?” (al-Buthi, Fiqhus Sirah Nabawiyah, 2020: 97)

 

Berbagai pertanyaan itu kerap disampaikan para pelaku perang pemikiran dan musuh-musuh Islam. Namun, betapa agung rahasia kehidupan yg telah dipersiapkan Tuhan semesta alam bagi rasul- Nya. Allah ï·» telah memenuhi kehidupan rasul-Nya dgn berbagai peristiwa yg menghancurkan semua kemungkinan itu, dan menyingkirkan segala bisikan buruk, dan membuat musuh-musuh Islam kebingungan mencari cara yg tepat buat menyerang dan merendahkan Rasulullah.

 

Salah satu kebijaksanaan Allah ï·» ialah menetapkan supaya kaum musyrik beberapa kali menemui Nabi Muhammad buat membujuknya menghentikan dakwah. Sebenarnya mereka telah memperkirakan bahwa Rasulullah mau menolak rayuan mereka. Sebab, mereka sangat mengenal karakter Rasulullah, tabiat dakwahnya, dan tujuan jangka panjang dari risalahnya. Mereka tahu betul bahwa Nabi Muhammad tak mau takluk oleh bujuk rayu mereka. Namun, begitulah kehendak Allah, supaya sejarah dapat membongkar kebohongan semua orang yg menebarkan keraguan. Di samping itu, pelajaran yg juga penting yaitu, kehidupan sehari-hari Rasulullah sangat selaras dgn ucapannya. Rasulullah menampik kekuasaan dan kekayaan tak hanya dgn lisannya. Penolakannya itu tergambar jelas dalam sikap, perilaku, dan perbuatannya. Rasulullah makan dan minum dgn sangat sederhana, menjalani kehidupan layaknya orang miskin.

 

Kedua, kejadian di atas juga menunjukkan kebijaksanaan Rasulullah ï·º yg telah menjadi sifatnya. Falsafah agama ini didasarkan atas pilar-pilar kehormatan dan kejujuran, baik dalam sarana maupun tujuannya. Tujuan hanya boleh ditegakkan dgn kejujuran, kehormatan, dan kebenaran. Sama halnya, sarana buat meraih tujuan itu juga harus didasari kejujuran, kehormatan, dan kebenaran. (al-Buthi, Fiqhus Sirah Nabawiyah, 2020: 98)

 

Syekh al-Buthi kembali menegaskan, mau sangat keliru bila prinsip kebijaksanaan dalam dakwah dianggap hanya digunakan buat memudahkan finansial juru dakwah atau demi menghindari kesulitan. Justru, rahasia keberhasilan dakwah ialah menempuh sarana yg paling dekat dgn akal dan pikiran masyarakat. Artinya, ketika kondisi silih berganti dan halangan serta rintangan menghalangi jalan dakwah, maka kebijakan yg harus diambil ialah mempersiapkan diri buat mengorbankan harta dan nyawa. Hikmah atau kebijaksanaan seperti yg menjadi sifat Nabi Muhammad ialah meletakkan segala sesuatu pada tempatnya.

 

Kesimpulannya, tak seorang pun boleh mengubah hukum dan prinsip Islam, atau melanggar dan meremehkan aturan-aturannya, dgn dalih “menempuh kebijaksanaan dalam berdakwah”. Sebab, suatu kebijakan hanya disebut bijak bila sesuai dgn aturan, prinsip, dan ketetapan syariat.

 

Ketiga, Rasulullah ï·º menyikapi tuntutan dan bujukan kaum Quraisy dgn tegas. Mereka mengajukan semua tuntutan itu sebagai syarat supaya mereka dapat mengikutnya. Sikap tegas Rasulullah ini didukung oleh Allah ï·». Berkaitan dgn hal ini, sebagaimana disebutkan semua ahli tafsir, Allah berfirman:

 

وَقَالُوا لَنْ نُؤْمِنَ لَكَ حَتَّى تَفْجُرَ لَنَا مِنَ الْأَرْضِ يَنْبُوعاً أَوْ تَكُونَ لَكَ جَنَّةٌ مِنْ نَخِيلٍ وَعِنَبٍ فَتُفَجِّرَ الْأَنْهَارَ خِلالَهَا تَفْجِيراً

 

Artinya, “Dan mereka berkata, ‘Kami tak mau percaya kepadamu (Muhammad) sebelum engkau memancarkan air dari bumi buat kami, atau engkau mempunyai sebuah kebun kurma dan anggur, lalu engkau alirkan di celah-celahnya sungai yg deras alirannya” (QS Al-Isra’: 90-91).

 

Alasan Allah ﷻ tak mengabulkan permintaan mereka bukanlah sebab Rasulullah tak diberi mukjizat selain mukjizat Al-Qur’an, sebagaimana sangkaan sebagian orang, melainkan sebab Allah mengetahui bahwa mereka menuntut semua itu sebagai ungkapan kekafiran, keangkuhan, dan penghinaan kepada Nabi Muhammad ﷺ. Ini tampak jelas dari cara mereka meminta dan mengajukan tuntutan. Seandainya Allah mengetahui bahwa mereka jujur dan berniat baik dalam mengajukan tuntutan sebagai upaya menegaskan kebenaran kata-kata Nabi, pastilah Allah telah mengabulkan permintaan mereka. Namun, sikap kaum Quraisy itu sesuai dgn karakteristik yg digambarkan Allah dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:

 

وَلَوْ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَاباً مِنَ السَّمَاءِ فَظَلُّوا فِيهِ يَعْرُجُونَ لَقَالُوا إِنَّمَا سُكِّرَتْ أَبْصَارُنَا بَلْ نَحْنُ قَوْمٌ مَسْحُورُونَ

 

Artinya, “Dan kalau Kami bukakan kepada mereka salah satu pintu langit, lalu mereka terus menerus naik ke atasnya, tentulah mereka berkata, ‘Sesungguhnya pandangan kamilah yg dikaburkan, bahkan kami ialah orang yg terkena sihir.” (QS Al-Hijr: 14-15)

 

 

Sunnatullah, santri sekaligus pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Kokop Bangkalan Jawa Timur.





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.