lima Syarat Amar Ma’ruf Nahi Munkar menurut Syekh Abdul Qadir al-Jilani

Akhir-akhir ini, terutama di era informasi, era digital, dan era media sosial (medsos), banyak acara atau program yg memuat konten keagamaan, dibuat dan dikemas secara personal ataupun kelembagaan dalam berbagai media dan platform yg diatasnamakan dan dimaksudkan sebagai dakwah atau amar ma’ruf nahi munkar, bahkan jihad.

Memang, dakwah dan amar ma’ruf-nahi munkar, termasuk jihad, ialah ajaran dan perintah Islam. Sungguhpun begitu, dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar, termasuk di dalamnya jihad, tak mesti dan tak layak dilakukan oleh setiap Muslim, sebab sangat berkaitan dgn persyaratan dan kriteria yg ketat dan konteks yg tepat pula.

 

Tidak sedikit orang yg berdakwah dan amar ma’ruf nahi munkar, tetapi justru berseberangan dgn ajaran Islam itu sendiri, bahkan mencederai citra Islam sebagai agama yg mulia. Bagaimana sejatinya berdakwah dan amar ma’ruf nahi munkar dalam perspektif Islam? Mari kita perhatikan dgn seksama firman Allah SWT, sebagaimana termaktub dalam Kitab Suci Al-Qur’an Al-Karim:

 

وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

 

Artinya: ”Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yg menyeru kepada kebabilan, menyuruh (berbuat) yg makruf, dan mencegah dari yg mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yg beruntung.” (QS Âli ‘Imrân [3]: 104)

 

Imam Jalâl ad-Dîn as-Suyûthî (849-911 H/1445-1505 M), dalam kitab yg sangat populer, Tafsîr al-Jalâlain, dalam menafsirkan ayat tersebut mengatakan:

 

ومن للتبعيض لأن ما ذكر فرض كفاية لا يلزم كل أمة ولا يليق بكل أحد كالجاهل

 

Artinya: ”Huruf ‘min’ buat arti sebagian, sebab apa yg telah disebutkan (dalam ayat 104 itu, yakni dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar) merupakan fardhu kifâyah, tak layak dilakukan oleh setiap orang, seperti orang yg bodoh (tak berpengetahuan)” (al-‘Allâmah Ahmad as-Shâwî al-Mâlikî, Hâsyiyat al-‘Allâmah as-Shâwî ‘alâ Tafsîr al-Jalâlain, Beirut: Dâr al-Fikr, 1993, Juz I, h. 229).

 

Syekh Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr (1296-1393 H/1879-1973 M), tokoh Islam dan pakar fikih berkebangsaan Tunisia, dalam kitab tafsirnya, at-Tahrîr wa-at-Tanwîr, menjelaskan tingkatan dakwah: “Sungguh dakwah kepada kebaikan itu bertingkat-tingkat: di antaranya ada tingkatan yg dapat dilakukan oleh setiap Muslim; dan ada tingkatan dakwah yg memerlukan pengetahuan yg (hanya) dilakukan oleh ahlinya, dan inilah yg dinamakan fardhu kifâyah, yakni bila telah dilakukan oleh sebagian orang, maka gugurlah kewajiban atas yg lainnya. (Dalam hal ini) Menjadi jelas sekelompok orang yg menjalankan dakwah ini (harus) dgn memenuhi persyaratan-persyaratannya, seperti punya energi kekuatan dalam mengangkat pedang (senjata) –dalam situasi perang [pen.], dapat berenang dalam menyelamatkan orang yg tenggelam, dan mempunyai ilmu tentang ajaran-ajaran agama mengenai beramar ma’ruf nahi munkar, juga (syarat mengenai) jumlah orang yg diperlukan melakukan dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar tersebut….” (Syekh Muhammad Thâhir ibn ‘Âsyûr, at-Tahrîr wa-at-Tanwîr, ad-Dâr at-Tûnîsiyyah li-an-Nasyr, Tunisia, 1984, Jilid IV: 39).

 

Selanjutnya, berkaitan dgn amar ma’ruf nahi munkar, terdapat persyaratan atau kriteria khusus. Ada lima persyaratan atau kriteria amar ma’ruf nahi munkar itu, sebagaimana dikemukakan oleh Sulthân al-Auliyâ’ Syekh ‘Abd al-Qadîr al-Jîlânî al-Hasanî (470-561 H), dalam kitabnya al-Gunyah li-Thâlibi Tharîq al-Haqq. Syekh ‘Abd al-Qadîr al-Jîlânî membuat suatu fasal berikut:

 

Orang yg beramar ma’ruf nahi munkar harus memenuhi lima persyaratan: Pertama, ia mengetahui sesuatu yg diperintahkan dan sesuatu yg dilarang. Kedua, tujuan atau motivasi dari amar ma’rufnya ialah mencari ridha Allah dan meluhurkan agama-Nya, serta meninggikan Kalimat-Nya, bukan sebab riyâ’, sum‘ah, dan kebanggaan bagi diri sendiri. Ia mau membantu dan membimbing orang yg berbuat kemungkaran ke arah kebaikan, bila memang ia (orang yg beramar ma’ruf nahi munkar) berlaku benar dan ikhlas.

 

Ketiga, perintah dan larangannya dilakukan dgn lemah lembut, ramah dan kasih sayg. Nasihat disampaikan dgn cara yg baik, bukan dgn keras dan marah-marah, supaya ia tak mempersamakan musuhnya itu dgn setan yg terkutuk. Nabi ﷺ dalam hadits Usâmah bersabda: ”Tidaklah patut bagi seseorang yg menyeru kepada kebaikan dan melarang kepada kemungkaran, sehingga di dalam dirinya terpenuhi tiga macam: memahami apa yg dia perintahkan; memahami apa yg dia larang; dan lemah lembut terhadap sesuatu yg dia perintah dan lemah lembut terhadap sesuatu yg dia larang.”

 

Keempat, ia menjadi seorang yg penyabar, murah hati, toleran, rendah hati, mampu mengontrol hawa nafsu, kuat hatinya, penurut (tak beringas atau sangar), laksana dokter yg mengobati pasiennya, bijak bestari yg mengobati orang gila, dan pemimpin yg memberikan petunjuk.

 

Kelima, ia melaksanakan sesuatu yg dia perintahkan, menjauhi sesuatu yg dia larang, dan tak berlumuran dgn sesuatu yg dilarang tersebut, supaya ia tak dikuasi oleh mereka, yg justru menjadikannya hina dan tercela di hadapan Allah Taala.” (Syekh ‘Abd al-Qadîr al-Jîlânî, al-Gunyah li-Thâlibi Tharîq al-Haqq fî al-Akhlâq wa-al-Tashawwuf wa-al-Âdâb al-Islâmiyyah, Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, t.t., juz I, h. 51-53).

 

Lebih lanjut, dalam beramar ma’ruf nahi munkar juga penting memperhatikan etikanya, sebagaimana dijelaskan Syekh ‘Abd al-Qâdir al-Jîlânî:

 

(فَصْلٌ) وَالْأَوْلَى لَهُ إِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَأْمُرَهُ وَيَنْهَاهُ فِيْ خَلْوَةٍ لِيَكُوْنَ ذَلِكَ أَبْلَغَ وَأَمْكَنَ فِي الْمَوْعِظَةِ وَالزَّجْرِ وَالنَّصِيْحَةِ لَهُ وَأَقْرَبَ إِلَى الْقَبُوْلِ وَالْإِقْلَاع

 

(Fasal) Yang utama baginya (orang yg beramar ma’ruf nahi munkar) ialah bila ia mampu memerintah seseorang atau melarang seseorang di tempat atau keadaan yg sepi, supaya itu lebih mengena dan lebih efektif dalam memberikan mau‘izhah, larangan, dan nasihat kepadanya, serta lebih diterima dan produktif (berhasil).

 

Menjadi clear (jelas dan nyata) bahwa dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar taklah mudah dan taklah serta-merta dapat dilakukan oleh setiap orang atau media publik, tetapi harus memenuhi persyaratan dan kriteria yg ketat. Bagi siapa pun yg tak mempunyai kompetensi atau ilmu keagamaan yg cukup memadai tentang suatu bidang atau tema keagamaan, maka dilarang berdakwah dan amar ma’ruf nahi munkar dalam bidang tersebut, terlebih ditujukan kepada publik (masyarakat umum), dan dgn berbagai media dan platform apa pun: televisi dan radio, media cetak, digital (online) ataupun medsos, sebab hal itu justru dapat mengakibatkan mafsadat atau kerusakan terhadap umat, dan citra Islam sebagai agama mulia, agama rahmatan lil ‘alamin. Padahal sungguh jelas mafsadat wajib dihindarkan (lâ dharar wa-lâ dhirâr, dar’ al-mafâsid muqaddamun ‘alâ jalb al-mashâlih)!

 

 

 

Ahmad Ali MD, Wakil Sekretaris Lembaga Pentashih Buku dan Konten Keislaman Majelis Ulama Indonesia (LPBKI-MUI).

 





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.