Al-Qur’an merupakan sumber dan pedoman utama bagi umat Islam yg diyakini sebagai wahyu Allah yg turun kepada Nabi Muhammad ﷺ. Al-Qur’an mempunyai hubungan erat dgn kehidupan Nabi dan masyarakat Arab pada masa awal, sehingga tak mengherankan ketika ungkapan-ungkapan yg dinarasikan Al-Qur’an mengandung nilai sastra tinggi. Dalam pandangan Imam Jalaluddin As-Suyuti, penggunaan kalimat-kalimat yg indah dan ungkapan-ungkapan yg penuh dgn sastra itu ialah bentuk mu’jizat Al-Qur’an sebagai respons dari peradaban Arab pada masa Arab yg penuh dgn nilai sastra.
Meskipun diturunkan di daerah Arab dan berinteraksi dgn budaya Arab, bukan berarti Al-Qur’an menjadi bagian dari budaya Arab. Hal tersebut disebabkan orisinalitas dan otentisitas Al-Qur’an dijaga langsung oleh Allah, sebagaimana firman-Nya dalam Surat al-Hijr 9, “Sesungguhnya Kami-lah yg menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.â€
Imam Ibnu Jarir at-Thabari dalam tafsirnya menafsirkan bahwa ayat tersebut menjelaskan kesucian Al-Qur’an dari penambahan dan pengurangan atas ayat yg ada di dalamnya, serta ayat Al-Qur’an tak mau mengandung kebatilan. Yang demikian menandakan bahwa turunnya Al-Qur’an selalu dijaga dan terpelihara dari sifat-sifat negatif.
Berkaitan dgn otentisitas Al-Qur’an, muncul pertanyaan penting: bagaimana proses turunnya wahyu Al-Qur’an? Perihal transformasi wahyu menjadi objek kajian menarik yg banyak dilakukan oleh ulama. Secara tegas mereka menjelaskan makna wahyu dalam artian umum dan pengertian wahyu dalam konteks Al-Qur’an diturunkan pada Nabi Muhammad.
Imam Zarqani dalam karyanya Manahil Irfan fi Ulum Al-Qur’an menjelaskan bahwa ada empat karakter makna wahyu yg terdapat dalam Al-Qur’an. Pertama, wahyu mempunyai makna ilham yg bersifat fitri. Sebagaimana firman Allah dalam QS al-Qashash ayat 7:
وَأَوْØَيْنَآ Ø¥Ùلَىٰٓ Ø£Ùمّ٠مÙوسَىٰٓ أَنْ أَرْضÙعÙيه٠ۖ ÙÙŽØ¥Ùذَا Ø®ÙÙْت٠عَلَيْه٠ÙَأَلْقÙيه٠ÙÙÙ‰ ٱلْيَمّ٠وَلَا تَخَاÙÙÙ‰ وَلَا تَØْزَنÙىٓ، Ø¥Ùنَّا رَآدّÙوه٠إÙلَيْك٠وَجَاعÙÙ„Ùوه٠مÙÙ†ÙŽ ٱلْمÙرْسَلÙينَ
Artinya: “Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa; ‘Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, sebab sesungguhnya Kami mau mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul’.â€
Kedua, kata wahyu dalam Al-Qur’an berkaitan dgn naluri pada binatang, seperti dalam QS an-Nahl 68-69:
وَأَوْØÙŽÙ‰ رَبّÙÙƒÙŽ Ø¥ÙÙ„ÙŽÙ‰ النَّØْل٠أَن٠اتَّخÙØ°ÙÙŠ Ù…ÙÙ†ÙŽ الْجÙبَال٠بÙÙŠÙوتًا ÙˆÙŽÙ…ÙÙ†ÙŽ الشَّجَر٠وَمÙمَّا يَعْرÙØ´Ùونَ، Ø«Ùمَّ ÙƒÙÙ„ÙÙŠ Ù…Ùنْ ÙƒÙÙ„ÙÙ‘ الثَّمَرَات٠ÙَاسْلÙÙƒÙÙŠ سÙبÙÙ„ÙŽ رَبÙّك٠ذÙÙ„Ùلا يَخْرÙج٠مÙنْ بÙØ·ÙونÙهَا شَرَابٌ Ù…ÙخْتَلÙÙÙŒ أَلْوَانÙÙ‡Ù ÙÙيه٠شÙÙَاءٌ Ù„Ùلنَّاس٠إÙنَّ ÙÙÙŠ Ø°ÙŽÙ„ÙÙƒÙŽ لآيَةً Ù„Ùقَوْم٠يَتَÙَكَّرÙونَÂ
Artinya: “Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah, ‘Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yg dibikin manusia’.â€
Ketiga, kata wahyu mempunyai arti bisikan jahat, baik bersumber dari setan, jin, maupun manusia. Surat al-An’am ayat 112 menyatakan:
وَكَذَٰلÙÙƒÙŽ جَعَلْنَا Ù„ÙÙƒÙلّ٠نَبÙيّ٠عَدÙوًّا شَيَاطÙينَ الْإÙنْس٠وَالْجÙنّ٠يÙÙˆØÙÙŠ بَعْضÙÙ‡Ùمْ Ø¥Ùلَىٰ بَعْض٠زÙخْرÙÙÙŽ الْقَوْل٠غÙرÙورًا وَلَوْ شَاءَ رَبّÙÙƒÙŽ مَا ÙَعَلÙوه٠ÙَذَرْهÙمْ وَمَا ÙŠÙŽÙْتَرÙونَ
Artinya: “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yg lain perkataan-perkataan yg indah-indah buat menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yg mereka ada-adakan.â€
Keempat, kata wahyu yg bermakna memberikan isyarat, tanda dan simbol yg terdapat dalam Surat al-Maryam ayat 11:
Ùَخَرَجَ عَلَىٰ قَوْمÙÙ‡Ù Ù…ÙÙ†ÙŽ الْمÙØْرَاب٠ÙَأَوْØَىٰ Ø¥ÙلَيْهÙمْ أَنْ سَبّÙØÙوا بÙكْرَةً وَعَشÙيًّا
Artinya “Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petangâ€.
Adapun wahyu yg diturunkan pada Nabi Muhammad mempunyai beberapa model atau cara, tetapi secara umum para ulama berpendapat bahwa proses turunnya wahyu pada Nabi melalui dua cara. Pertama ialah al-inzâl, yakni proses turunnya Al-Qur’an yg diyakini berasal dari lauhul mahfudh ke langit dunia. Kedua ialah at-tanzîl, yakni proses turunnya Al-Qur’an yg dilakukan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad ï·º.Â
Proses turunnya Al-Qur’an ini sekaligus menggambarkan tentang keasliannya yg tak dapat dipalsukan, sebab dikuatkan dgn hadits Nabi yg diriwayatkan Abdullah bin Abbas, “Allah menurunkan Al-Quran sekaligus ke langit dunia, tempat turunnya secara berangsur-angsur. Lalu, Dia menurunkannya kepada Rasul-Nya ï·º bagian demi bagian.â€Â
Konsep yg pertama (al-inzâl) merupakan proses di luar nalar sebab tak memerlukan dimensi waktu, tetapi pada konsep yg kedua Nabi harus menerima dgn beragam kondisi sebab faktor manusiawi, semisal kedmauan atau terasa seperti bunyi lonceng. Tidak semua orang dapat menangkap eksistensi wahyu Al-Qur’an kecuali Nabi Muhammad.
Baca juga: Sejarah Nabi Muhammad (2): Wahyu Pertama yg Menggetarkan
Menurut ulama ada tiga kategori proses turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad. Pertama dgn cara ilham. Cara ini ialah salah satu pengalaman Nabi ketika dalam keadaan terjaga maupun tidur seperti hadits Nabi yg diriwayatkan Aisyah, “Pertama kali Rasulullah menerima wahyu ialah dalam mimpi yg benar pada waktu tidur. Beliau tak melihat mimpi itu, kecuali datang seperti cahaya subuh.â€
Adapun model kedua ialah secara langsung, dan hal ini hanya sekali ketika Nabi mi’raj, di mana Nabi menerima perintah langsung tanpa perantara malaikat Jibril. Dan, cara ketiga—yg sering Nabi terima—ialah melalui perantara malaikat Jibril. Jibril menyampaikan wahyu Allah berupa makna (“ideâ€), kemudian Nabi mengungkapkan sendiri sendiri lafadhnya. Dan ada pula yg makna dan redaksinya langsung datang dari malaikat Jibril. Meskipun demikian hal ini tak mengurangi sedikitpun keaslian atau otentisitas wahyu Al-Qur’an yg diterima oleh Nabi Muhammad, sebab secara tegas Al-Qur’an memberikan argumentasi bahwa Al-Qur’an telah tertanam dalam hati Nabi, sebagaimana QS as-Syu’ara ayat 192-195.
ÙˆÙŽØ¥Ùنَّه٠لَتَنزيل٠رَبّ٠الْعَالَمÙينَ، نزلَ بÙه٠الرّÙÙˆØ٠الأمÙينÙØŒ عَلَى قَلْبÙÙƒÙŽ Ù„ÙتَكÙونَ Ù…ÙÙ†ÙŽ الْمÙنْذÙرÙينَ، بÙÙ„Ùسَان٠عَرَبÙيّ٠مÙبÙينÙÂ
Â
Artinya: “Dan sesungguhnya Al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) supaya kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yg memberi peringatan, dgn bahasa Arab yg jelas.â€
Moh. Muhtador, Dosen Ushuluddin IAIN Kudus
Referensi
Al-Bukhari, Shahih Bukhari, kitab Bad’i al Wahyi (Dar Salam, Riyad 1997)
Jalal al Din al Syuyuti, al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an, juz II (Beirut: Dar al Fikr, 2012).
Ibnu Jarir al Thabari, Tafsir al Thabari (Beirut: Muassah Risalah, 2000)
Muhammad Abd al Azhim al Zarqani, Manahilul-Irfan fi Ulum Al-Qur’an, jilid I (Beirut: Darul Fikr, 1988)
Uncategorized