Kualitas Hadits Pembagian Ramadhan Menjadi 3: Rahmat, Maghfirah, Itqun Minannar

Bulan Ramadhan menjadi bulan tampilnya para dai. Mulai di masjid-masjid hingga di layar kaca televisi. Ajakan dan motivasi buat berbuat baik di bulan Ramadhan, mulai bersedekah, beribadah dan lain sebagainya juga tersebar di berbagai media dakwah. 

Tak ayal, buat mendukung dan melegitimasi ajakan dan motivasi tersebut, terkadang para dai belum mampu menyaring hadits-hadits yg digunakan, bahkan masih ada yg menggunakan hadits dhaif buat memotivasi orang buat beribadah.

Salah satu hadits yg sering digunakan oleh para dai ialah terkait pembagian keutamaan bulan Ramadhan menjadi tiga, yaitu sepuluh hari pertama rahmat, sepuluh hari kedua ialah ampunan, dan sepuluh hari ketiganya ialah terbebas dari api neraka.

أوله رحمة، وأوسطه مغفرة، وآخره عتق من النار

Artinya, “Awal bulan Ramadhan ialah rahmat, pertengahannya ialah ampunan, sedangkan akhirnya ialah terbebas dari neraka.”

Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Syuʽabul Iman dan juga diriwayatkan oleh Ibn Khuzaimah dalam Sahih ibn Khuzaimah. Walaupun diriwayatkan oleh Ibn Khuzaimah dalam Sahih-nya, menurut al-Suyuthi, hadits ini bermuara pada satu sumber sanad (madar), yaitu Ali ibn Zaid ibn Jadʽan yg divonis oleh para ulama sebagai orang yg dhaif. Sedangkan orang yg meriwayatkan hadits tersebut dari Ali ibn Zaid ialah Yusuf bin Ziyad yg divonis dhaif parah (dhaif jiddan). Walaupun ada ulama lain yg juga meriwayatkan hadits ini dari Ali bin Zaid, yaitu Iyas ibn Abd al-Ghaffar. Saygnya Iyas sendiri juga orang yg majhul menurut Ibn Hajar al-Asqalani. (Lihat: al-Suyuthi, Jâmiʽ al-Aḥâdîts, [Beirut: Dar Fikr, t.t], j. 23, h. 176.)

Lantas, apakah hadits tersebut dapat diamalkan?

Pada prinsipnya, hadits yg berkaitan dgn fadhail amal (keutamaan beramal) itu boleh diriwayatkan atau dalam konteks pembahasan tulisan ini, boleh digunakan buat ceramah, walaupun dhaif. 

Mahmud al-Thahhan menyebutkan bahwa hadits dhaif dapat disampaikan atau diriwayatkan, bahkan tanpa menyebutkan kedhaifannya, namun dgn dua syarat berikut: Pertama, tak berhubungan dgn akidah, seperti sifat Allah subhanahu wata’ala, dsb. Kedua, tak berhubungan dgn hukum syariat seperti halal dan haram.

Mahmud al-Thahhan menambahkan bahwa ada juga beberapa ulama yg menggunakan hadits dhaif buat semacam memberikan ceramah atau tausiyah, seperti Sufyan al-Tsauri, Abdurrahman bin al-Mahdi dan Ahmad bin Hanbal.

تجوز روايتها في مثل المواعظ والترغيب والترهيب والقصص وما أسبه ذالك. وممن روي عنه التساهل في روايتها سفيان الثوري وعبد الرحمن بن المهدي وأحمد بن حنبل.

Artinya, “Boleh meriwayatkan hadits dalam hal ceramah, anjuran, ancaman, kisah, dan semacamnya. Beberapa ulama yg toleran meriwayatkan hadits dhaif (terkait maidhah, anjuran, ancaman, kisah, dsb) ialah Sufyan al-Tsauri, Abdurrahman bin al-Mahdi dan Ahmad bin Hanbal). (Lihat: Mahmud al-Thahhan, Taysîr Musṭalaḥ al-Hadîts, [Riyadh: Maktabah al-Maarif, 2004], h. 80).

Namun, ketika seorang penceramah telah mengetahui bahwa hadits itu dhaif, jangan meriwayatkan atau menyampaikan dgn sighat jazm (sighat yg meyakinkan bahwa itu benar-benar dari Rasulullah), seperti dgn lafaz “Qâla Rasûlullah” dan semacamnya. Tapi hendaknya meriwayatkan dgn sighat tamridh saja, seperti “qîla” atau “ruwiya”. Ini ialah salah satu tindakan buat berhati-hati, sebab telah mengetahui status kedhaifan hadits tersebut.

Alangkah lebih baiknya bila dikuatkan dgn hadits lain yg secara substansi sama tapi lebih sahih sanadnya. Misalnya hadits riwayat al-Tirmidzi dan Ibn Majjah berikut ini:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ قَالَ : إِذَا كَانَتْ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ ، صُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ ، وَمَرَدَةُ الْجِنِّ ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ ، فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ ، وَفُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ ، فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ ، وَنَادَى مُنَادٍ : يَا بَاغِيَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ ، وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ ، وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ ، وَذَلِكَ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ.

Artinya, “Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Ketika tiba awal malam bulan Ramadhan, para setan dan pemimpin-pemimpinnya dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup dan tak ada yg dibuka. Pintu-pintu surga dibuka dan tak ada yg ditutup, lalu ada penyeru yg berseru, ‘Hai orang yg mencari kebaikan, teruskanlah. Hai orang yg mencari keburukan, berhentilah. Sesungguhnya Allah membebaskan orang-orang dari neraka, dan itu terjadi pada setiap malam’.” (Lihat: Ibn Majjah al-Qazwaini, Sunan Ibn Majjah, [Beirut: Dar Fikr, T.t], j. 2, h. 26.)

Dalam hadits di atas disebutkan lebih umum, bahwa semua kebaikan dan keutamaan ada dalam bulan Ramadhan. Namun, bila mau lebih berhati-hati, usahakan buat tak menggunakan hadits dhaif dan memilih hadits yg sahih saja.

Guru besar ilmu hadits Kiai Ali Mustafa Yaqub rahimahullah menyebutkan bahwa hadits yg menjelaskan bahwa cukup menggunakan hadits sahih tentang orang yg puasa Ramadhan mau mendapatkan keutamaan diampuni dosannya yg lalu, sebagaimana riwayat al-Bukhari berikut:

من صام رمضانَ إيمانا واحتسابا غُفِرَ له ما تقدَّم من ذَنْبِهِ

Artinya, “Siapa yg berpuasa pada bulan Ramadhan dgn iman dan mengharap pahala dari Allah maka diampuni dosanya yg telah lalu.” (HR. Bukhari)

Atau juga dapat dgn redaksi yg lebih umum, yaitu qâma ramadlâna, yg juga diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.

من قام رمضان إيمانا واحتسابا غُفِرَ له ما تقدَّم مِنْ ذَنْبِهِ ، ومن قام ليلةَ القَدْرِ إيمانا واحتسابا غُفِرَ له ما تقدَّم مِنْ ذَنْبِهِ

Artinya, “Siapa yg menghidupkan bulan Ramadhan (dgn puasa atau ibadah) dgn iman dan mengharap pahala dari Allah Swt. maka diampuni dosanya yg telah lalu, dan siapa yg menghidupkan (beribadah) malam lailatul qadar dgn iman dan mengharap pahala dari Allah subhanahu wata’ala maka diampuni dosanya yg telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kiai Ali Mustafa Yaqub menyatakan bahwa hadits ini telah cukup buat menjelaskan keutamaan beribadah pada bulan Ramadhan, tanpa harus menggunakan hadits-hadits dhaif bahkan maudhu‘. Ini dilakukan dalam rangka berhati-hati supaya kita tak terjerumus buat berbohong atas nama Nabi Muhammad. Wallahu a’lam.

Ustadz Muhammad Alvin Nur Choironi, pegiat kajian tafsir dan hadits, alumnus Pesantren Luhur Darus Sunnah





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.