Berbicara fiqih dan hadits tak dapat lepas dari sosok Imam Malik yg merupakan anak zaman keemasan Islam. Iklim intelektual di masa Dinasti Abbasiyah banyak melahirkan ulama-ulama kenamaan dalam berbagai bidang tak terkecuali ilmu fiqih. Salah satu tokoh yg menonjol ialah pendiri mazhab Maliki ini.
Tariq Suwaidan dalam Biografi Imam Malik (2012) menyebutkan bahwa nenek moyg Imam Malik berasal dari suku Arab Yaman. Kemudian, kakeknya berhijrah ke Madinah dan menikah dgn seorang perempuan dari Taimiyyin. Pendiri mazhab Maliki ini memiliki nama lengkap Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin ‘Amr bin al-Harrits. Ia lahir pada tahun 93 Hijriyah di Madinah Al-Munawwaroh. Paman Imam Malik yg bernama Abu Suhail menjelaskan, silsilah keluarga Malik dari Dzi Ashbah. Nasabnya berpangkal dari Ya’rub bin Yasjub bin Qaththan al-Ashbahi.
Anas bin Malik (ayah Imam Malik) yg dimaksud di sini bukan Anas bin Malik sahabat Rasulallah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ayahnya merupakan pekerja keras dan mandiri. Keulamaan Anas bin Malik tak menghalanginya buat bekerja sebagai pembuat anak panah. Ia dikenal sebagai ulama yg ahli dalam bidang hadits dan fiqih. Walaupun Ayah Imam Malik memiliki cacat fisik, tapi ia mengajarkan kepada anak-anaknya buat hidup mandiri tanpa bergantung kepada siapa pun, termasuk kepada pemerintah (Suwaidan, 2012: 32-34).
Keluarga Para Periwayat Hadits
Imam Malik tumbuh dalam iklim keilmuan dan periwayatan hadits yg berkembang pesat di Madinah. Setelah merampungkan hafalan Al-Qur’an di usia belia, Malik mulai menghafal hadits. Di kota Nabi itu ia memperoleh segala hal yg mendukung buat menghafal hadits. Imam Malik sangat termotivasi dgn kegigihan ayahnya dalam menuntut ilmu. Kesungguhan sang ayah ternyata berpengaruh besar kepada dirinya, sehingga Imam Malik menjadi seorang imam besar.
Imam Malik memiliki tiga orang paman yg terhormat dan terpandang. Mereka ialah Uwais, Nafi’ dan Rubayyi’. Selain Anas, ayah Imam Malik, mereka ialah para periwayat hadits yg meriwayatkan dari bapak mereka sendiri, yakni Malik Abu Anas. Kakek Imam Malik ialah Malik bin ‘Amr yg menjadi sumber hadits buat anak-anaknya sendiri. Kakek Imam Malik termasuk tokoh dan ulama dari kalangan Tabi’in. Abu Anas biasanya meriwayatkan hadits dari Umar bin al-Khaththab, Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, dan Aisyah Ummul Mukminin (Suwaidan, 2012: 35-36).
Karena itu, supaya menjadi seorang alim, tumbuh di tengah keluarga yg berilmu saja tak cukup. Betapa banyak orang yg terkenal dgn keilmuannya, tetapi anak-anaknya tak berilmu sama sekali, hidup dalam kemewahan dan kelalain. Sebaliknya, tak sedikit ulama hebat dan terkemuka lahir dari keluarga yg jauh dari iklim keilmuan.
Ulama Pendorong Reformasi dan Perdamaian
Saat peralihan kekuasaan dari dinasti Muawiyah ke dinasti Abbasiyah, kekacauan merajalela. Bahkan, kota Madinah diserang, dan banyak anak-anak kaum Muhajirin dan Anshar yg dibunuh. Pada masa Abu Ja’far al-Manshur keadaan mulai kondusif. Sang maestro penulis kitab al-Muwaththa’ ini hidup pada masa dua dinasti, yaitu Umayyah dan Abbasiyah. Ia juga turut menjadi saksi sejarah berbagai peristiwa dan konflik yg terjadi di masa keduanya. Makanya, ia senantiasa mendorong reformasi dalam berbagai bidang, terutama setelah keadaan damai.
Imam Malik lahir pada dinasti Bani Umayyah, tepatnya masa kekhilafahan al-Walid bin Abdul Malik di tahun 93 H/ 712 M. Banyak tragedi yg disaksikan langsung oleh pendiri mazhab Maliki tersebut. Sang Imam Madinah sempat menjadi saksi sejarah perpecahan umat Islam dampak dari perserteruan antara Sayyidina Ali dan Muawiyah. Ia juga menyaksikan pemberontakan yg dilakukan golongan Khawarij. Situasi itu yg membentuk pemikiran Imam Malik. Menurutnya, stabilitias kondisi masyarakat pasti berbuah kebaikan para penguasanya. Sebab itu, memperbaiki kondisi dan keadaan rakyat menjadi niscaya dan pangkal dalam sebuah negara.
Pada masa awal Islam, ilmu hanya didapat dgn cara mendengar. Ilmu-ilmu tersebut belum ada yg ditulis dalam satu buku, kecuali sedikit saja. Pada akhir masa dinasti Umayyah, beberapa ulama terdorong menuliskan ilmu di tengah kecamuk yg berlangsung. Masa dinasti Abbasiyah, fenomena kodifikasi keilmuan ini semakin semarak, khususnya di bidang hadits. Para ulama mempelajari hadits secara sistematis dan dari sudut pandang fiqih sehingga ilmu fiqih dan lainnya semakin luas (Suwaidan, 2012: 21).
Di masa itu, para ulama mulai menuliskan hadits dan masalah-masalah fiqih. Ulama fiqih Hijaz (Madinah) menghimpun fatwa-fatwa Abdullah bin Umar, Aisyah, Ibnu Abbas dan pembesar tabi’in yg menetap di Madinah. Sementara ulama fiqih Irak menghimpun fatwa-fatwa Abdullah bin Mas’ud, hukum-hukum hasil putusan peradilan, fatwa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, putusan-putusan hukum syariah dan hakim-hakim kufah lainnya.
Di masa Imam Malik hidup tumbuh subur segala macam aliran dan pemikiran tentang kalam dan filsafat. Sebagian aliran dan pemikiran yg berkembang meresahkan masyarakat awam. Mereka mengusung pendapat dan menyebarkan pemikiran yg kontroversial. Ada pula kelompok zindiq yg menyimpang dari kemurnian Islam. Sang Imam tahu betul rentetan peristiwa masa itu dan dampak negatif bagi umat Islam. Karena itu, ia tak membolehkan seorang pun mendiskusikan masalah aqidah di majelisnya atau di hadapannya.
Di tengah kecamuk perpecahan umat Islam, Imam Malik memilih buat “berdiam”. Maksudnya, ia tak mau ikut serta dalam mendukung salah satu pihak dgn mengeluarkan fatwa sebagai legitimasi salah satu kelompok tersebut. Bagi Imam Malik, fatwa ialah agama. Sebab itu, ia tak mau berfatwa dgn satu hal yg bertentangan dgn syariat Allah.
Imam Malik sangat menjaga persatuan dan ketentraman umat. Pada masa ini sering diadakan perdebatan dan dialog keilmuan. Para ulama saling bertemu buat berdebat dan berdialog. Debat fiqih menjadi semarak pada musim haji. Abu Hanifah, misalnya, selalu berdialog tentang masalah fiqih dgn Imam Malik. Alhasil, fiqih menjadi lebih subur dan lebih produktif dibanding ilmu lainnya. Imam Malik lebih memilih menghindari perdebatan ilmiah yg terselip motif saling mengalahkan dan menyalahkan salah satu pihak. Ia menganggap debat agama bila tak mencari kebenaran dan kemaslahatan bersama tak mendatangkan manfaat apa-apa, bahkan justru dapat merusak agama dan kejernihan hati.
Ahmad Suhendra, alumni Pondok Pesantren Al-Kamiliyyah & Pondok Pesantren Ali Maksum serta Kontributor NU Online Tangerang