Kita setiap hari menghadapi persoalan atau satu masalah kehidupan dgn berbagai kompleksitas dan intensitasnya. Namun kita sesekali menghadapi persoalan atau satu masalah yg membuat pikiran kita terpaku padanya.
Imam Al-Ghazali menganjurkan kita buat membaca sebuah doa ketika kita dirundung oleh satu masalah kehidupan tertentu. (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439-1440 H], juz I, halaman 409).
اللَّهُمَّ إِنِّي عَبْدُكَ وَابْنُ عَبْدِكَ وَابْنُ أَمَتِكَ نَاصِيَتِي بِيَدِكَ مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ عَدْلٌ فِيَّ قَضَائُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ أَوْ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الغَيْبِ عِنْدَكَ أَنْ تَجْعَلَ القُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِي وَنُوْرَ صَدْرِي وَجِلَاءَ غَمِّي وَذَهَابَ حُزْنِي وَهَمِّي
Allāhumma innī ‘abduka, wabnu ‘abdika, wabnu amatika. Nāshiyatī bi yadika mādhin fiyya hukmuka, ‘adlun fiyya qadhā’uka. As’aluka bi kulli ismin huwa laka sammayta bihī nafsaka, wa anzaltahū fī kitābika, aw ‘allamtahū ahadan min khalqika, awista’tsarta bihī fī ilmil ghaybi ‘indaka, an taj’alal qur’āna rabī‘a qalbī, wa nūra shadrī, wa jilā’a ghammī, wa dzahāba huznī wa hammī.
Artinya: “Ya Allah, sungguh aku hamba-Mu, putra hamba-Mu (laki-laki), putra hamba-Mu (perempuan). Nasibku di tangan-Mu, berlaku padaku ketentuan-Mu, adil padaku putusan-Mu. Aku memohon kepada-Mu dgn segala nama-Mu yg Kau sebut buat diri-Mu, (nama) yg Kau turunkan dalam kitab-Mu, (nama) yg Kau ajarkan pada segelintir hamba-Mu, atau (nama) yg hanya Kau sendiri yg mengetahuinya dalam pengetahuan ghaib supaya Kau menjadikan Al-Qur’an sebagai musim semi (di) hatiku, cahaya batinku, pelenyap kebingunganku, dan penghilang kesedihan serta kebimbanganku.”
Doa ini dikutip oleh Imam Al-Ghazali dari riwayat Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim sebagai berikut:
قال صلى الله عليه و سلم ما أصاب أحدا حزن فقال ذلك إلا أذهب الله همه وأبدله مكانه فرحا فقيل له يا رسول الله أفلا نتعلمها فقال صلى الله عليه و سلم بلى ينبغي لمن سمعها أن يتعلمها
Artinya: “Rasulullah saw bersabda, ‘Tidaklah orang yg dirundung sebuah masalah yg membuatnya sedih, lalu membaca doa itu, melainkan Allah mau menghilangkan kebimbangannya dan menggantikannya dgn kebahagiaan.’ Rasulullah ditanya, ‘Apakah tak boleh kami mempelajarinya?’ ‘Tentu (boleh), seharusnya orang yg pernah mendengarnya mempelajari doa tersebut,’ jawab Rasulullah,” (HR Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim).
Sayyid Muhammad Az-Zabidi dalam Kitab Ithafus Sadatil Muttaqin (Syarah Ihya Ulumiddin) mengatakan, riwayat hadits yg berisi doa ini telah diverifikasi oleh Al-Iraqi. (Az-Zabidi, Ithaf, [Beirut, Muassasatut Tarikh Al-Arabi: 1994 M/1414 H], juz V, halaman 106). Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)
Setiap hari kita selalu melakukan rutinitas kegiatan. Kita juga kadang kala harus menggeluti bidang-bidang baru. Pada ketika memasuki aktivitas atau bidang baru itu, kita memohon kepada Allah supaya senantiasa memberikan kemudahan dan kelancaran.
Imam Al-Ghazali menganjurkan kita buat membaca doa berikut ini ketika kita memulai aktivitas atau memasuki bidang baru yg mau kita geluti. (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439-1440 H], juz I, halaman 408). Doa ini dikutip dari kitab suci Al-Qur’an.
رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا. رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي، وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي
Rabbanā ātinā min ladunka rahmatan, wa hayyi’ lanā min amrinā rasyadan (Surat Al-Kahfi ayat 10), rabbisyrah lī shadrī, wa yassir lī amrī. (Surat Thahā ayat 25-26).
Artinya: “Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yg lurus dalam urusan kami (ini). Ya Tuhanku, lapangkanlah buatku dadaku, dan mudahkanlah buatku urusanku.”
Sayyid Muhammad Az-Zabidi dalam Kitab Ithafus Sadatil Muttaqin (Syarah Ihya Ulumiddin) mengatakan, doa ini dapat dibaca ketika kita hendak memulai aktivitas atau mulai menggeluti bidang-bidang kehidupan tertentu. (Az-Zabidi, Ithaf, [Beirut, Muassasatut Tarikh Al-Arabi: 1994 M/1414 H], juz V, halaman 103-104).
Kita berharap dgn doa ini, Allah memberikan kemudahan aktivitas kita tanpa hambatan berarti. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)
Pada kesempatan ini kami mau mengulas tentang Membahas tentang Meneladani Dakwah Ala Nabi Muhammad SAW,
Dakwah ialah menyeru, mengajak, serta memanggil manusia buat meneladani Allah Swt sesuai dgn akidahnya. Dakwah bertujuan buat mewujudkan hidup yg bahagia dunia dan akhirat.
Sebagai umat muslim hendaklah mensyukuri atas apa yg diberikan oleh Allah Swt serta Nabi Muhammad ﷺ. Karena segala yg mau dilakukan telah memiliki pedoman yg benar dari-Nya. Salah satunya seperti melakukan dakwah. Nabi Muhammad ﷺ telah mencontohkan dakwah dgn berbagai cara, yakni secara lisan, tulisan, dan perbuatan.
Dalam berdakwah tentu memiliki beberapa cara supaya apa yg disampaikan dapat tersampaikan dgn baik dan benar. Sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. An-Nahl Ayat 125:
Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dgn hikmah dan pengajaran yg baik, dan berdebatlah dgn mereka dgn cara yg baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yg lebih mengetahui siapa yg sesat dari jalan-Nya dan Dialah yg lebih mengetahui siapa yg mendapat petunjuk.
Dalam ayat di atas ada tiga acara dalam menyampaikan dakwah, dgn cara al hikmah, al mau'izah al hasanah, dan al mujialah billati hiya ahsan.
1. Al Hikmah yaitu menyampaikan dgn tegas, bijak, mengetahui tujuannya dan memahami siapa yg menjadi sasarannya.
2. Al Mau'izah al hasanah yaitu mencoba buat meyakinkan masyarakat yg menjadi sasaran dgn cara yg baik serta dgn memberi nasehat dan contoh yg praktis.
3. Al Mujialah billati hiya ahsan yaitu dgn cara berdialog sesuai kondisi orang yg menjadi sasaran, tentunya dgn cara yg baik pula.
Nabi Muhammad ﷺ dalam berdakwah juga tak melupakan orang di sekelilingnya. Karena sasaran utama ialah dimulai dari orang terdekat.
Seperti yg tertulis dalam QS. Asy-Syu’ara Ayat 214:
Artinya: Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yg terdekat.
Berdasarkan ayat ini, Rasulullah ﷺ diperintahkan buat mendahulukan orang-orang terdekatnya. Seperti keluarga serta pengikut-pengikutnya yg setia.
Demikianlah ulasan mengenai Membahas tentang Meneladani Dakwah Ala Nabi Muhammad SAW . apabila ada pertanyaan dapat dgn menuliskan pada kolom komentar dibawah ini.
terima kasih
Aktivitas penjualan tak selamanya menghasilkan keuntungan. Aktivitas penjualan mengalami dinamikanya sendiri sesuai hukum pasar. Aktivitas penjualan terkadang mengalami kerugian dgn berbagai faktor penyebabnya. Rugi bukan sesuatu yg asing dalam aktivitas pasar. Rugi sesuatu yg lazim dalam hukum pasar.
Dalam kondisi rugi, kita tak perlu menyesali diri. Kita harus tetap optimis buat menjalankan aktivitas perdagangan. Kita dianjurkan buat membaca doa sebagai berikut ketika mengalami kerugian dalam berjualan:
عَسَى رَبُّنَا أَنْ يُبْدِلَنَا خَيْرًا مِنْهَا إِنَّا إِلَى رَبِّنَا رَاغِبُونَ
‘Asā rabbuna an yubaddilanā khayran minhā, innā ilā rabbinā rāghibūna (Surat Al-Qalam ayat 32).
Artinya: “Semoga Tuhan memberikan ganti buat kami dgn yg lebih baik dari yg ini. Sunnguh kami mengharapkan (ampunan) kepada Tuhan kami,” (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439-1440 H], juz I, halaman 408).
Sayyid Muhammad Az-Zabidi dalam Kitab Ithafus Sadatil Muttaqin (Syarah Ihya Ulumiddin) mengatakan, doa ini disebutkan oleh penulis Kitab Qutul Qulub Syekh Abu Thalib Al-Makki. (Az-Zabidi, Ithaf, [Beirut, Muassasatut Tarikh Al-Arabi: 1994 M/1414 H], juz V, halaman 103)
Doa ini mengisyaratkan kepada kita yg merugi buat tak pesimis. Doa ini membangun optimisme dan harapan kita buat kembali lagi melakukan aktivitas berjualan atau berdagang. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)
Bisa membayar utang merupakan sebuah nikmat besar dari Allah yg harus disyukuri oleh orang yg berutang. Pembayaran utang merupakan anugerah ilahi yg melapangkan dan melegakan pikiran orang yg berutang.
Meski demikian orang yg berutang juga wajib berterima kasih kepada orang meminjamkannya uang atau memberikan utang kepadanya. Orang yg berutang dianjurkan buat mendoakan keberkahan bagi orang yg memberikannya utang.
Berikut ini ialah doa yg diriwayatkan dari Abdullah bin Abi Rabi’ah ra:
بَارَكَ اللهُ لَكَ فِي أَهْلِكَ وَمَالِكَ
Bārakallāhu laka fī ahlika wa mālika.
Artinya: “Semoga Allah memberkatimu pada keluarga dan hartamu.” (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439-1440 H], juz I, halaman 407).
Doa ketika membayar utang ini merupakan bentuk ucapan terima kasih kepada mereka yg yg berbuat baik, yaitu memberikan utang. Doa ini menunjukkan adab yg sangat tinggi dari orang yg berutang. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)
Kita berharap amal sedekah kita diterima oleh Allah. Oleh sebab itu, kita dituntut buat memberikan amal sedekah dalam bentuk apapun tanpa diikuti dgn kalimat yg menyakitkan. Kita dianjurkan buat berdoa sebagai berikut:
رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Rabbanā taqabbal minnā innaka antas samī‘ul ‘alīmu (Surat Al-Baqarah ayat 127).
Artinya: “Tuhan kami, terimalah persembahan dari kami. Sungguh Engkau maha mendengar lagi maha mengetahui.” (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439-1440 H], juz I, halaman 408).
Sayyid Muhammad Az-Zabidi dalam Kitab Ithafus Sadatil Muttaqin (Syarah Ihya Ulumiddin) mengatakan, doa ini disebutkan oleh penulis Kitab Qutul Qulub Syekh Abu Thalib Al-Makki. (Az-Zabidi, Ithaf, [Beirut, Muassasatut Tarikh Al-Arabi: 1994 M/1414 H], juz V, halaman 103)
Doa ini dibaca oleh Nabi Ibrahim bersama Nabi Ismail ketika keduanya meninggikan fondasi Ka’bah. Keduanya berharap amal saleh mereka diterima oleh Allah. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)
Dalam amaliah dzikir berjamaah, sang imam seringkali memandu jamaah sebelum dzikir Lâ ilâha illâllâh (Tiada Tuhan selain Allah) dgn kalimat afdlaludz dzikri fa‘lam annahû (أفضل الذكر فاعلم أنه). Perlukah menambah atau memulai kalimat ini?
Pertanyaan, sekaligus pernyataan ini, pernah saya dengar dari 3 orang berbeda di Desa Wedi Kecamatan Gedangan Sidoarjo. Salah seorang di antaranya memberikan sumber dari ulasan terjemah Jawi (penjelasan) Ustadz Misbah bin Zain al-Mustafa Bangilan dalam kitab al-Jami‘ush Shaghir karya Jalaluddin as-Suyuthi.
Dalam kitab tersebut (juz 03, hal. 665), Ustadz Misbah menjelaskan, “Wong kang dzikir kanti diwiwiti ‘afdlaludz dzikri fa‘lam annahû lâ ilâha illâllâh” kang mengkene iki salah. Ora keno dii‘robi. Kang bener iku ‘afdlaludz dzikri lâ ilâha illa Allah’ (orang yg berdzikir dgn awalan ‘afdlaludz dzikri fa‘lam annahû lâ ilâha illâllâh’ itu salah. Tidak dapat dii‘rabi. Yang benar itu ‘afdlaludz dzikri lâ ilâha illa Allah’).”
Jika kita amati, letak kritik dari Ustadz Misbah ialah dari sisi i’râb (keteraturan susunan bahasa) ketika memulai dzikir dgn afdlaludz dzikri fa‘lam annahû. Sebagaimana kita pahami, i‘rab merupakan bagian struktur penting dalam ilmu Nahwu (gramatikal Arab). Kritik Ustadz Misbah mengarah pada diksi “fa’lam annahû” yg mengacaukan struktur bangunan i’rab-nya.
Lafal afdlaludz dzikri Lâ ilâha illâllâh, bila kita urai i’rabnya, maka Afḍalu al-dzikr Lâ ilâha illâllâh menjadi Mubtadâ’ (isim yg menjadi awal kalimat) berupa susunan idâfah, dan “Lâ ilâha illâllâh” berstatus sebagai Khabar (isim yg melengkapi makna Mubtadâ’). I’rab jelas tanpa ada sisipan yg memisah.
Pola langsung seperti ini, yakni tanpa sisipan fa‘lam annahû, sebenarnya juga digunakan dalam beberapa hadits, di antaranya dalam Sunan al-Turmudzī No.3383, Sunan Ibn Mâjah No.3800, Sunan al-Nasâ’ī No.10599, Ṣaḥīh Ibn Ḥibbân No.846 dan beberapa kitab hadits lain.
Artinya, apa yg dikatakan Ustadz Misbah, selain memiliki argumen keteraturan struktur bangunan i’rab, juga landasan normatif dari hadits. Hal ini dapat dipahami sebab sisipan “fa’lam annahû” justru sedikit mengacaukan bangunan keteraturan Mubtada dan Khabar. Lafal “fa’lam annahû” ditengarahi “merebut” status Khabar dari Lâ ilâha illâllâh, yg mestinya menjadi khabar dari afdlaludz dzikri.
Kalau kita urai, diksi “Afdlaludz dzikri fa‘lam annahû Lâ ilâha illâllâh”, maka afdlaludz dzikri menjadi Mubtada’, fa‘lam menjadi Khabar (berbentuk fiil amar yg menyimpan dhamir mustatir wujûb berupa anta), annahû menjadi Maf‘ûl dari fa‘lam, kemudian Lâ ilâha illâllâh menjadi Khabar dari annahû. Begitu perkiraan amatan uraian i’rabnya.
Jadi, bila kita uraikan sisi gramatikalnya (Nahwu), pengi’raban dgn sisipan fa’lam annahû tidak sesederhana yg tanpa sisipan. Tapi setelah ditelaah, pengi’raban dgn pola seperti itu, yakni dgn sisipan, menurut kami tak sepenuhnya salah. Hal itu rumit memang benar, tapi belum tentu sesuatu yg rumit itu salah.
Bahkan, diksi fa’lam annahû sebelum Lâ ilâha illâllâh, termaktub juga dalam Al-Qur’an Surat Muhammad ayat 19:
فَٱعۡلَمۡ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لِذَنۢبِكَ وَلِلۡمُؤۡمِنِينَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتِۗ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ مُتَقَلَّبَكُمۡ وَمَثۡوَىٰكُمۡ
Artinya, “Maka ketahuilah bahwa Tidak ada Tuhan (yg patut disembah) kecuali Allah, dan mohonkan ampun atas dosamu, dan atas dosa orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Allah mengetahui tempat usaha dan tempat tinggalmu.”
Jadi dzikir Lâ ilâha illâllâh, baik dgn sisipan fa’lam annahû atau tidak, sebenarnya memiliki landasan gramatikal dan normatif. Keduanya dapat dibenarkan. Bahkan, menurut amatan kami, sisipan fa’lam annahû memiliki 2 keutamaan lain.
Pertama, dzikir itu harus diiringi dgn pemahaman dan pengetahuan (al-‘ilm). Dalam beberapa ceramah, para kiai kita juga seringkali mengingatkan jamaah buat menjiwai “Lâ ilâha illâllâh”. Penjiawaan itu tentu hadir bila kita “ngelmuni” apa yg terucap oleh lisan. Sehingga yg keluar dari mulut bukan semata repitisi lafal, tetapi disertai dgn pemahaman dan ilmu.
Selain itu, ketika menafsiri Surat Muhammad:19, Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam Tafsir al-Jalalain berkata: ”dum yâ muḫammad ‘alâ ‘ilmika bi dzâlik an-nâfi‘ fi al-Qiyâmah (Terus-meneruslah engkau wahai Muhammad, pengetahuanmu atas hal itu (kalimat Lâ ilâha illâllâh) itu bermanfaat kelak di Hari Kiamat.
Kedua, pengetahuan atas Lâ ilâha illâllâh menghantarkan seseorang ke surga. Dalam hadits riwatat Muslim, dari Sahabat Usman bin Affan. Rasulullah bersabda:
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
Artinya, “Barang siapa yg meninggal, sementara dia mengetahui/memahami Lâ ilâha illâllâh (bahwa, Tidak ada tuhan selain Allah), maka dia mau masuk surga.”
Hadits tersebut selain diriwayatkan oleh Muslim nomor 145, juga terdapat dalam kompilasi hadits Musnad Ahmad bin Hanbal No.464, Sahih ibn Hibban nomor 201, Sunan an-Nasa’i nomor 10953, dan beberapa kitab hadits lainnya.
Oleh sebab itu, sisipan fa’lam annahû masih perlu dilanjutkan. Tentu saja, pilihan sang imam yg memberikan komando tanpa “fa’lam annahû” juga tak perlu dihentikan. Masing-masing memiliki landasan argumentasi. Jadi, pembaca biasa melakukan yg mana?
Mohammad Ikhwanuddin, Wakil Mudir Ma’had Aly Pondok Pesantren Annur 1 Malang; sedang studi di Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya.
Bulan Rajab mengingatkan kita duka lara yg sedang dirasakan oleh Nabi Muhammad saw ketika itu. Di tengah kekejaman kaum Quraisy yg semakin merajalela, orang-orang tercinta Nabi justru meninggal dunia, salah satunya Abu Thalib, seorang paman yg selalu membelanya penuh pengorbanan.
Sejak Abdul Muthalib (kakek Nabi) wafat, usia Nabi Muhammad masih kanak-kanak, yaitu baru delapan tahun dua bulan sepuluh hari. Pengasuhan Nabi kemudian diserahkan kepada Abu Thalib, sang paman. Seperti kakeknya dulu, kasih sayg Abu Thalib kepada Nabi juga begitu besar. Bahkan ia mendahulukan kepentingan Nabi dibanding anak-anaknya sendiri.
Kesetiaan dan kasih sayg Abu Thalib kepada keponakannya itu berlangsung cukup lama, yaitu selama lebih dari empat puluh tahun hingga ia wafat. Bahkan ia rela bila harus menyatakan musuh pada kerabat-kerabat yg berani menyakiti dan menentang Rasulullah.
Pernah suatu hari kaum Quraisy meneror Abu Thalib dan mengancam mau menghabisi nyawanya bila tak mau menghentikan aktivitas dakwah Nabi Muhammad. Ia sempat khawatir dgn ancaman itu sehingga meminta Rasulullah buat menyudahi kegiatan dakwah. Setelah dibujuk, ternyata Nabi tetap kuat buat melanjutkan misi risalahnya. Mendengar itu, Abu Thalib kembali tegar membelanya. (Safyurrahman al-Mubarakfuri, Raḫîqul Makhtûm, [Beirut: Daru Ihya’it Turats, tt], h. 85)
Rupanya ancaman kaum Quraisy buat menghabisi Abu Thalib itu sebatas gertakan. Buktinya, begitu mereka tahu bahwa Rasulullah tetap melanjutkan kegiatan dakwah, mereka tak merealisasikan ancaman tersebut. Mereka kemudian memikirkan cara lain hingga akhirnya mendatangi Abu Thalib buat kedua kalinya.
Kedatangan mereka kali ini dgn membawa Ammarah bin Walid bin Mughirah, seorang pemuda Quraisy yg paling tampan. Mereka mau membujuk Abu Thalib buat menukar Ammarah dgn Nabi Muhammad buat dibunuh. Abu Thalib menolak tegas tawaran itu. Kaum Quraisy pun pulang dgn kecewa. (Safyurrahman al-Mubarakfuri, h. 86)
Ringkas hikayat, Abu Thalib jatuh sakit. Kian hari semakin parah yg hingga tinggal menunggu saat-saat kematiannya. Akhirnya ia pun berpamit buat selamanya pada bulan Rajab tahun kesepuluh dari kenabian. Pendapat lain mengatakan bahwa ia wafat pada bulan Ramadhan, selang tiga bulan setelah wafatnya Siti Khadijah.
Saat detik-detik kematiannya, Rasulullah berada di sampingnya dan berkata, “Wahai paman, ucapkanlah lâ ilâha illallâh, satu kalimat yg dapat engkau jadikan hujah di sisi Allah.”
Sementara Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah al-Makhzumi yg juga berada di situ menyela, “Wahai Abu Thalib, apakah engkau tak menyukai agama Abdul Muthalib?” Keduanya terus mengulangi ucapan itu hingga kalimat yg keluar dari mulut Abu Thalib ialah tetap berada pada agama Abdul Muthalib. (Safyurrahman al-Mubarakfuri, h. 103)
Mengenai status keimanan Abu Thalib sendiri ulama berbeda pendapat. Ada yg berpendapat Abu Thalib wafat dalam keadaan tak beriman sebab sampai detik terakhir kewafatan tak mengucapkan kalimat syahadat. Dari pemaparan di atas, Abu Thalib tetap berpegang pada agama Abdul Muthalib. Argumen ini juga dilandasi beberapa hadits Nabi, di antaranya sabda Nabi berikut:
عَنْ عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ نَفَعْتَ أَبَا طَالِبٍ بِشَيْءٍ فَإِنَّهُ كَانَ يَحُوطُكَ وَيَغْضَبُ لَكَ قَالَ نَعَمْ هُوَ فِي ضَحْضَاحٍ مِنْ نَارٍ لَوْلَا أَنَا لَكَانَ فِي الدَّرَكِ الْأَسْفَلِ مِنْ النَّارِ (رواه البخاري و مسلم)
Artinya: Dari Abbas bin Abdul Mutthalib dia berkata: “Wahai Rasulullah, apakah anda dapat memberi manfaat kepada Abu Thalib, sebab dia telah mengasuhmu dan terkadang marah (buat memberikan pembelaan) kepadamu.” Beliau menjawab: “Ya, ia berada di bagian neraka yg dangkal, dan kalaulah bukan sebab diriku, niscaya berada di dasar neraka.” (HR Bukhari dan Muslim)
Kemudian hadits berikut:
لَعَلَّهُ تَنْفَعُهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ القِيَامَةِ، فَيُجْعَلُ فِي ضَحْضَاحٍ مِنَ النَّارِ يَبْلُغُ كَعْبَيْهِ، يَغْلِي مِنْهُ أُمُّ دِمَاغِهِ
Artinya: “Semoga syafaatku berguna baginya pada hari kiamat, sehingga dia tak diletakkan dalam neraka yg dalam, yg tingginya sebatas kedua mata kakinya, namun itu pun menjadikan ubun-ubun kepalanya mendidih.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Selain itu juga hadits yg mengatakan Abu Thalib masuk neraka dgn mendapat siksa neraka paling ringan.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَهْوَنُ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا أَبُو طَالِبٍ
Artinya: “Dari Ibnu Abas bahwa Rasulullah saw bersabda: “Penduduk neraka yg siksanya paling ringan ialah Abu Thalib.” (HR Muslim)
Sementara kelompok ulama yg meyakini Abu Thalib wafat dalam keadaan beriman ialah dari kalangan Asy’ariyah. Bahkan seorang Mufti Makkah Syekh Ahmad bin Zaini Dahlan menulis kitab khusus yg membantah tuduhan Abu Thalib wafat dalam keadaan kafir. Kitab tersebut berjudul Asnal Mathâlib fî Najâti Abî Thâlib.
Dalam paparannya, Syekh Ahmad banyak menggunakan argumen Syekh Al-Barzanji, seorang mufti bermadzhab Syafi’i di Madinah. Berikut penulis jabarkan ringkasan argumennya.
Syekh Al-Barzanji mengaku bahwa kualitas ketiga hadits di atas sahih. Memang bila dipahami sekilas, hadits-hadits tersebut menyatakan bahwa Abu Thalib wafat dalam keadaan beriman, tetapi bila dipahami lebih teliti, maka mau menemukan makna sebaliknya, yaitu Abu Thalib wafat dalam keadaan beriman.
Menurut Al-Barzanji, keengganan Abu Thalib mengucapkan kalimat syahadat pada detik-detik kewafatannya sebab khawatir mau keselamatan Nabi Muhammad, mengingat pada ketika itu ada Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah al-Makhzumi, dua tokoh kafir Quraisy yg cukup berpengaruh.
Hanya saja, lanjut Al-Barzanji, ada kemungkinan Abu Thalib mengucapkan kalimat syahadat. Sebab, ketika Abu Thalib menjelang wafat, seorang sahabat Nabi bernama Abbas melihat Abu Thalib menggerak-gerakkan mulutnya mengucapkan kalimat syahadat. Kesaksian Abbas ini kemudian dikabarkan kepada Nabi.
Berikutnya, Al-Barzanji juga mengomentari bahwa dalam beberapa hadits, Abu Thalib dijelaskan memperoleh syafaat Nabi, hal ini jelas ia wafat dalam keadaan beriman. Sebab, syafaat hanya dapat diperoleh orang mukmin.
Selain itu, Al-Barzanji juga menegaskan bahwa hadits yg menjelaskan bahwa Abu Thalib mendapat siksa neraka paling ringan bukan sebab kemusyrikannya, tapi sebatas dosa maksiat. Sebab, bila statusnya kafir, tak mungkin ia mendapat siksa paling ringan sebab levelnya mau membawahi siksa seorang mukmin yg bermaksiat. Secara teori, seharusnya siksa orang kafir lebih berat dibanding seorang mukmin ahli maksiat.
Walhasil, Al-Barzanji berkesimpulan, pihak yg mengatakan Abu Thalib wafat dalam keadaan tak beriman hanya berdasar interpretasi literal dari hadits-hadits Nabi. Tapi sejatinya, bila ditelaah lebih dalam, justru mau dipahami sebaliknya. (Syekh Ahmad bin Zaini Dahlan, Asnal Mathâlib fî Najâti Abî Thâlib, [Amman: Darul Imam an-Nawawi, 2007], h. 69-90)
Penulis: Muhamad Abror
Editor: Fathoni Ahmad
Kebersihan mulut sangat penting di masa pandemi Covid-19, tetapi masih sering diabaikan. Mulut, hidung, telinga, dan tenggorokan merupakan saluran yg bersambung dan saling berkaitan. Saluran-saluran tersebut menghubungkan tubuh manusia dgn udara di sekitarnya. Untuk mencegah penularan ketika ada wabah penyakit yg menyebar melalui udara seperti Covid-19, penting buat memperhatikan kebersihan saluran-saluran tubuh tersebut.
Salah satu anjuran Islam buat menjaga kesehatan mulut dan saluran di sekitarnya ialah dgn bersiwak. Nabi Muhammad SAW bahkan hampir saja mewajibkan bersiwak kepada umat Islam ketika mau shalat, tetapi tak jadi sebab khawatir mau memberatkan umatnya.
Kaum muslimin ketika ini mengenal bahwa bersiwak hukumnya sunnah. Seiring dgn waktu, ada rahasia besar di balik anjuran bersiwak yg terungkap pada masa pandemi Covid-19 merebak.
Saat gelombang baru pandemi meningkat, sulit bagi masyarakat menghindari kontak dgn sumber-sumber infeksi yg membawa virus. Oleh sebab itu, diperlukan upaya perlindungan ekstra buat menjaga kebersihan pribadi.
Siwak ternyata memberikan perlindungan ekstra buat keperluan menjaga kebersihan mulut individu atau personal hygiene. Bila virus memapar tubuh dan masuk melalui mulut maupun daerah pernapasan di sekitarnya, siwak menyediakan beberapa manfaat supaya kesehatan tubuh tetap terjaga.
Seorang peneliti dari India melakukan riset studi kasus dan menelaah kejadian infeksi Covid-19 tanpa gejala yg memapar kaum muslimin (Rehaman, 2021, Pharmacological Benefits of Miswak Users and Its Impact on Covid-19 Patients-A Review, International Journal of Pharma and Bio Sciences, halaman L123-129). Studi kasus ini melihat potensi siwak buat meredam munculnya gejala meskipun penggunanya terpapar virus.
Hasil studi ini menunjukkan bahwa 99% orang yg terdeteksi positif Covid-19 dan memiliki kebiasaaan bersiwak, baik sebelum terpapar maupun setelah terpapar virus itu, ternyata tak memiliki gejala apapun. Penelitian tersebut dilakukan terhadap sekelompok kecil kaum muslimin pada ketika Covid-19 merebak di India.
Umumnya orang mengenal kayu siwak sebagai kayu arak atau yg dikenal secara ilmiah dgn sebutan Salvadora persica. Sebenarnya kayu arak yg digunakan buat bersiwak dapat berasal dari bagian batang dan akar tanaman Salvadora persica.
Karena bentuknya seperti batang kecil, maka orang menyebutnya kayu. Struktur unik dari batang dan akar tanaman ini bila dikunyah mau menjadi mirip seperti kayu berserat lembut yg menyerupai serabut sikat gigi.
Di Indonesia, tanaman Salvadora persica sulit buat ditemukan. Berdasarkan pengkajian yg dilakukan peneliti India, ada beberapa tanaman yg disebut berpotensi seperti siwak.
Bila tak ada Salvadora persica, maka batang yg masih basah dari tanaman jeruk seperti batang jeruk manis (Citrus sinensis) atau batang jeruk nipis (Citrus aurantifolia) juga dapat digunakan buat bersiwak. Selain batang jeruk, batang yg masih basah dari tanaman mimba (Azadirachta indica) juga dapat digunakan buat bersiwak dan banyak terdapat di Indonesia.
Sekelompok peneliti dari Mesir melakukan riset mendalam tentang kandungan Salvadora persica. Mereka menggali manfaat siwak secara spesifik ketika digunakan pada masa pandemi Covid-19.
Studi tersebut menguji potensi beberapa kandungan alami siwak dari tanaman Salvadora persica. Hasilnya, kandungan kayu arak tersebut memiliki efek menghambat virus penyebab Covid-19 dan antiinflamasi atau antiradang (Owis, dkk, 2021, Flavonoids of Salvadora persica L. (meswak) and its Liposomal Formulation as a Potential Inhibitor of SARS-CoV-2, Royal Society of Chemistry, halaman 13537-13544).
Selain menghambat virus dgn kemampuan yg hampir mendekati obat Remdesivir, efek positif kayu arak lainnya ialah antiradang. Hal ini tentu sangat bermanfaat mengingat efek dari Covid-19 dapat menyebabkan peradangan pada paru-paru maupun organ lainnya pada orang yg terpapar.
Bagi kaum muslimin, bersiwak tak hanya upaya menjaga kebersihan, tetapi melaksanakan amalan sunnah. Dengan konsep sunnah ini, menyikat gigi dgn sikat gigi atau benda kasar lainnya juga dapat memperoleh pahala kesunnahan, sebagaimana menggosok gigi dgn kayu siwak bila dilakukan dgn niyat yg benar.
Boleh-boleh juga bersiwak dgn niat menjaga kebersihan dan tentunya supaya berbuah kesehatan, apalagi ketika pandemi Covid-19 merebak seperti ketika ini.
Al-Habib As-Sayyid Muhammad bin Alawi Alaydrus, atau yg dikenal dgn Habib Sa’ad dalam Kitab Niyat menyatakan bahwa niyat bersiwak ialah:
“Aku berniat mengerjakan amalan sunnah dan perintah nabi dgn bersiwak, membersihkan mulutku buat membaca Al-Qur’an yg mulia dan buat berzikir mengingat Allah dalam shalat, mewangikan aroma mulutku, membuat gigiku menjadi lebih putih dan buat menjaga kebersihan.” (Alaydrus, Kitab An-Niyat, Al-Jumhuriyah al-Yamaniyah, [Tarim: tahun 2003 M], halaman 43-44).
Berdasarkan niat yg lengkap tersebut, bersiwak sangat potensial buat menjadi aktivitas rutin yg dibutuhkan oleh kaum muslimin. Setiap menjelang shalat dan membaca Al-Quran, umat Islam dapat mengambil kesunnahan dgn bersiwak.
Selain itu, apabila kesadaran tentang manfaat siwak dari sisi kesehatan ini diketahui oleh kaum muslimin mau membantu upaya kesehatan dalam penanggulangan pandemi Covid-19.
Pasien yg mengalami infeksi Covid-19 juga mengeluhkan gejala batuk berdahak. Lendir dahak dapat diatasi dgn bersiwak sebagaimana hadits yg diriwayatkan secara marfu’ dari Ibnu Abbas.
“Ada sepuluh manfaat bersiwak, diantaranya ialah mengharumkan mulut, menguatkan gusi, menghilangkan lendir dahak, menghilangkan karang gigi, membantu menyiapkan perut buat menerima makanan, mendekatkan pada kesunnahan, mendatangkan keridhaan Allah SWT, menambah kebaikan dan membuat malaikat merasa senang.” (Al-Hafidz Adz-Dzahabi,Thibbun Nabawi, [Beirut, Dar Ihya’ul Ulum: 1990 M], halaman 74).
Adz-Dzahabi menjelaskan manfaat siwak sebagaimana tersebut di atas ketika menjelaskan tentang kayu arak dalam kitab Thibbun Nabawi sejak berabad-abad yg lalu. Keistimewaan kayu arak ini dalam menghilangkan lendir dahak terkait dgn kandungan zat kimia yg ada di dalamnya. Kandungan minyak atsiri dan berbagai flavonoid tanaman Salvadora persica atau kayu arak telah terungkap manfaatnya berdasarkan penelitian terkini.
Orang yg bersiwak maupun tak bersiwak sama-sama dapat terpapar pandemi Covid-19. Namun, bersiwak dapat memberikan manfaat terhadap kesehatan. Meskipun dalam kondisi terpapar Covid-19, reaksi peradangan dan perkembangan virus mau dilawan oleh zat berkhasiat dari siwak.
Selayaknya bagi kaum muslimin mengambil manfaat bersiwak ini supaya semakin cinta terhadap amalan-amalan sunnah yg diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Ustadz Yuhansyah Nurfauzi, apoteker dan peneliti farmasi.