Arti Hijrah Menurut Syekh Ibnu Ajibah

Kata hijrah belakangan ini menjadi populer. Hijrah atau migrasi dalam arti fisik pernah menjadi unsur penting dalam keberislaman seseorang. Hijrah menandai awal dari kebangkitan Islam dalam berkontribusi bagi kemanusiaan.

 

Hijrah atau migrasi di zaman Rasulullah menjadi perintah wajib dari Kota Makkah, sebuah daerah “mati” yg sulit diharapkan bagi persemaian nilai-nilai Islam yg membawa rahmat semesta ke Kota Madinah, sebuah daerah harapan dan terbuka.

Hijrah sebagai perintah Al-Qur’an mengandung keutamaan luar biasa sebab menuntut pengorbanan fisik, harta, dan mental sekaligus sebagaimana ibadah haji. Namun demikian, Rasulullah mengingatkan sahabatnya supaya tak mencederai hijrah sebagai ibadah mulia itu dgn niat atau kepentingan lain.

Ketulusan niat ini diingatkan oleh Rasulullah. Perihal ketulusan niat ini kemudian diulas oleh Syekh Ibnu Athaillah dalam Al-Hikam berkut ini:

 

وانظر إلى قوله صلى الله عليه وسلم فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله ومن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها أو امرأة يتزوجها فهجرته إلى ما هاجر إليه فافهم قوله عليه الصلاة والسلام وتأمل هذا الأمر إن كنت ذا فهم

Artinya, “Perhatikanlah sabda Rasulullah SAW, ‘Siapa saja yg berhijrah kepada Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya. Tetapi siapa yg berhijrah kepada dunia yg mau ditemuinya, atau kepada perempuan yg mau dikawininya, maka hijrahnya kepada sasaran hijrahnya.’ Pahamilah sabda Rasulullah SAW ini. Renungkan perihal ini bila kau termasuk orang yg memiliki daya paham.”

Syekh Ibnu Ajibah RA lebih jauh mengulas pandangan Syekh Ibnu Athaillah. Menurutnya, hijrah merupakan migrasi tingkat tinggi, yaitu migrasi spiritual atau migrasi kerohanian. Ia menyebut tiga jenis hijrah atau migrasi spiritual tersebut. 

 

قلت الهجرة هي الانتقال من وطن إلى وطن آخر بحيث يهجر الوطن الذي خرج منه ويسكن الوطن الذي انتقل إليه وهي هنا من ثلاثة أمور من وطن المعصية إلى وطن الطاعة ومن وطن الغفلة إلى وطن اليقظة ومن وطن عالم الأشباح إلى وطن عالم الأرواح أو تقول من وطن الملك إلى وطن الملكوت أو من وطن الحس إلى وطن المعنى أو من وطن علم اليقين إلى وطن عين اليقين أو حق اليقين

Artinya, “Buat saya, hijrah itu migrasi dari satu ke lain daerah di mana seseorang meninggalkan tanah asalnya dan kemudian mendiami tanah tujuan. Hijrah atau migrasi ini terdiri atas tiga jenis, yaitu migrasi dari lapangan maksiat ke lapangan taat, dari lalai ke sadar, dan dari alam raga ke alam rohani. Atau dapat dikatakan migrasi dari alam malak ke alam malakut, dari lahiriah fisik ke makna, dan dari ilmul yakin ke ainul yakin atau haqqul yakin,” (Syekh Ibnu Ajibah, Iqazhul Himam, [Beirut, Darul Fikr: tanpa tahun], juz I, halaman 73-74).

Menurut Syekh Ibnu Ajibah, orang yg berhijrah dari tiga tempat asal tersebut ke tiga tempat tujuan dgn maksud mengharapkan ridha Allah dan rasul-Nya atau dgn maksud makrifatullah dan rasul-Nya, maka aktivitas hijrah itu mau mengantarkannya pada Allah dan rasul-Nya sesuai maksud dan tekadnya.

Adapun orang yg berhijrah menuju hawa nafsunya, maka maksud dan upayanya mau sia-sia. Akhir dari hijrahnya ialah hawa nafsu itu sendiri sebagai tempat berlabuh sehingga aktivitas hijrahnya itu menambah sebab celaka baginya.

Syekh Ibnu Ajibah menjelaskan bahwa hijrah merupakan persoalan keikhlasan niat. Hanya dgn keikhlasan itu, hijrah memiliki makna bagi seseorang sehingga seseorang dapat mengecap makrifatullah dan ridha-Nya.

Hijrah dalam pengertian hadits Rasulullah SAW yg dijelaskan oleh Syekh Ibnu Athaillah dan Syekh Ibnu Ajibah menekankan ketulusan niat, jauh dari sekadar perubahan lahiriah, yaitu cara berpakaian, cara berpenampilan, dan perilaku berlebihan yg serba formal dalam beragama yg pada giliran tertentu perilaku ekstrem seperti mengenakan pakaian yg dianggap islami, menggunakan bahasa yg dinilai islami, meninggalkan profesi yg dianggap tak islami seperti karyawan bank, aktor, atau musisi, atau mengampanyekan ideologi negara yg dianggap islami.

Syekh Ibnu Ajibah–mengutip Syekh Yazidi–menawarkan cara buat menguji ketulusan hijrah seseorang. Untuk menguji apakah hijrah seseorang berjalan di tempat, yaitu hawa nafsu duniawi atau benar-benar hijrah kepada Allah, ia menganjurkan seseorang buat menghadapkan semua hawa nafsu duniawinya di depannya. Jika ia masih mengmaukannya, maka niat hijrahnya masih problematis.

“Allah itu cemburuan. Ia tak senang kalau Dia sebagai tujuan hijrah disusupi hawa nafsu dan kepentingan lain di luar diri-Nya. Orang yg masih menyisakan selain Allah di dalam hatinya tak mau pernah sampai kepada-Nya,” (Syekh Ibnu Ajibah, Iqazhul Himam, [Beirut, Darul Fikr: tanpa tahun], juz I, halaman 74).

Hijrah fisik dari Makkah ke Madinah tak ada lagi sebagaimana sabda Rasulullah SAW sebab pergeseran sistem nilai dan perubahan sosial di Kota Makkah yg tak ada bedanya lagi dgn Kota Madinah. Tetapi hijrah dalam pengertian migrasi spiritual yg berbentuk penataan hati dan niat tetap diperintahkan dalam Islam. Wallahu a‘lam. (Alhafiz Kurniawan)
 





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.