Awas Bahaya Istikharah Abal-abal!

Istikharah, secara etimologi merupakan derivasi dari kata istakhara-yastakhiru yg berarti mencari yg baik atau terbaik. Namun, harus selalu diingat, dalam pencarian ada kalanya mendapatkan apa yg dicari (yg baik) dan kadang kala tak. Bahkan, tak jarang orang yg tak mendapat apa-apa dalam pencariannya. Dalam istikharah, itu semua tergantung apakah kita mampu membaca tanda dan isyarat atau tak.

 

Beberapa tahun lalu, salah seorang dosen saya di Ma’had Aly Situbondo pernah bercerita tentang seorang gadis kota yg dilamar oleh seorang pria desa kelahiran Madura. Hubungan mereka yg telah dirajut rapi dalam waktu yg tak singkat itu, berakhir nestapa lantaran membebek pesan istikharah yg disalahpahami.

 

Ceritanya, perempuan kota yg intelektual dan spiritualnya lahir dari rahim pesantren tersebut tak langsung menerima lamaran kekasihnya. Ia memang mengangguk saat dilamar, namun masih disusuli kata ‘tapi’. Sebesar apa pun cinta yg ia pendam, tetaplah terasa ganjil bila belum sujud di sajadah istikharahnya terlebih dahulu. Karena baginya, pernikahan ialah ukiran cerita keabadian; ia laksana pakaian yg mau selalu dikenakan bahkan sampai dasar liang kuburnya. Tak mau pernah tergantikan, walau badan telah berselimut kafan.

 

Prinsip besar itulah yg mendorong dirinya harus berkonsultasi dgn Tuhan terlebih dahulu. Singkat kisah, beberapa hari kemudian, pria Madura itu mendapat kabar yg menurutnya tak semestinya ia dengar. Melalui suara yg tak asing dari balik telepon genggam, kekasihnya mengabari bahwa petuah shalat istikharahnya tak bagus, bahkan sangat buruk dibanding hasil shalat istikharahnya dgn lelaki tetangga sebelah. Ia bercerita, pada malam hari selepas shalat istikharah, ia bermimpi berjalan ke suatu tempat yg sungguh amat jauh. Akses menuju tempat tersebut pun berliku-liku, turun-naik dan cukup terjal dgn kondisi jalan yg penuh lubang.

 

Melihat perjalanan alam bawah sadarnya, ia memutuskan bahwa pria Madura yg berada di kejauhan sana, tak baik baginya. Hidupnya mau melarat-sengsara bila meneruskan lamaran tersebut ke jenjang pernikahan. Sudi atau tak, seketika juga ia harus mengakhiri jalinan indah itu dan membiarkannya menjadi kenangan menyakitkan yg mengiris relung hati mereka perlahan.

 

Padahal, setelah berpikir panjang, pria tadi menyadari satu tafsir lain atas mimpi kekasihnya. Pengertian jalan terjal, berliku-liku lagi berlubang dalam mimpi itu, ternyata bukan tentang penghidupan yg serba sulit. Tapi tentang gambaran akses menuju rumahnya yg berada di tengah pedalaman, pelosok juga jauh dari sinyal dan listrik.

 

Baca juga: Penjelasan dan Ragam Tafsir Mimpi dalam Islam

 

Tetapi, sayg seribu sayg, beras telah jadi tumpeng, nasi pun telah jadi bubur, dan senja sore itu telah tenggelam. Ia sangat menyesalkan dirinya yg tak memberi tahu kondisi akses menuju gubuknya, dan sangat membenci cara tafsir kekasihnya yg gagap-buta itu.

 

Syahdan, dari cerita ini, penting kiranya kita merumuskan kembali bagaimana peran istikharah di hadapan persoalan demi persoalan dan kebimbangan yg kita hadapi. Dan, haruskah memiliki kapabilitas mumpuni buat beristikharah?

 

Dalam Islam, kita diajarkan dua pendekatan buat menghadapi setiap persoalan; (1) musyawarah dan (2) istikharah. Keduanya sama-sama penting, wajar saja dua pendekatan ini mendapat kursi khusus dari perhatian legislator syariat. Ada satu hadits menarik—kendati masih dipersoalkan kualitas kesahihannya—yg dikutip al-Quthb ar-Rabbani Imam Abdullah bin Alawi al-Haddad dalam kitab Risalatul Mu’awanah wal Muzhaharah wal Muadzarah (hal. 114). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

مَا خَابَ مَنِ اسْتَخَارَ ومَا نَدِمَ مَنِ اسْتَشَارَ

 

Artinya, “Pelaku istikharah tak mungkin pulang membawa kegagalan, sebagaimana pegiat musyawarah tak mau pernah datang memikul penyesalan.”

 

Kalau memang sedemikian gemilang yg ditawarkan Nabi, mengapa tak sedikit yg bermuram durja lantaran istikharahnya? Problemnya, tentu bukan pada istikharah itu sendiri, tetapi pada kapabilitas pelaku istikharahnya, apakah ia mampu membaca isyarah langit dgn benar atau tak. Karena itu, kapabilitas sangat menentukan.

 

Peran Istikharah Menyingkap Misteri Kehidupan

Melalui hadist yg dikutip imam al-Haddad tadi, kita dapat berkesimpulan bahwa orang boleh memilih mana saja antara beristikharah atau bermusyawarah. Bila dikaji lebih dalam, kedua cara ini sebenarnya memiliki titik poros yg sama, yakni mencari jalan keluar yg paling solutif buat sebuah persoalan. Artinya, seseorang yg tengah beristikharah berarti sedang bermusyawarah dgn Tuhan. Demikian sebaliknya, orang yg bermusyawarah, sejatinya sedang mencari jalan terbaik (istikharah) bersama orang-orang yg dipercayainya. Hanya saja, objek interaksinya berbeda. Term istikharah buat interaksi verikal kita dgn sang pencipta, sedangkan musyawarah buat interaksi horizontal dgn sesama manusia.

 

Sebagaimana istikharah yg butuh kapabilitas sang pelaku, maka musyawarah juga demikian, harus bersama yg kapabel. Mengingat, kita dilarang membincang sesuatu bukan bersama ahlinya. Contoh kecil, misalnya di awal Desember mendatang, Bang Karni Ilyas, tuan rumah Indonesia Lawyers Club (ILC) mau membuka forum tentang diskriminasi perempuan dan komunitas LGBT. Dalam forum tersebut, ia mau menghadirkan narasumber dan tamu undangan dari kalangan petani dan para nelayan. Sampai di sini, bagaimana menurutmu? Kacau sekali bukan? Lalu, orang gila mana yg tak ‘mengocok perut’ kala menyaksikan pertunjukan semacam ini? Rupanya, kapabilitas juga penting dalam musyawarah.

 

Kembali ke awal, antara istikharah dan musyawarah, langkah manakah yg sebaiknya kita ambil? Jawabannya jelas kondisional. Mereka yg dianugerahi kapabilitas mapan dalam berdialog dgn Tuhan, tak ayal lagi bahwa beristikharah lebih baik. Walaupun, sebagai bentuk etika dan harmonisasi sosial, penting buat meminta pendapat satu sama lain. Sang abul basyar Nabi Ibrahim ‘alaihissalam pernah meneladankan kepada kita mau hal ini. Kendati telah mendapat isyarah langit buat menjalankan perintah Allah supaya menyembelih buah hatinya, Ismail, ia tetap memohon pandangan putranya terlebih dahulu. Dalam Al- Qur’an surah as-shaffat 102 diabadikan:

 

قَالَياَا بُنَيَّ إنِّي أَرَى فِي المَنَامِ أنِّي أَذْبَحُكَ فانْظُرْ مَاذَا تَرَى قال يَا أَبَتِ افْعَلْ ما تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إن شاء الله من الصَّابِرِيِّن

 

Artinya, “Ibrahim berkata, ‘Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana menurutmu!,’ Ismail menjawab: ‘Wahai ayahku! Lakukanlah apa yg diperintahkan Allah kepadamu; insya Allah engkau mau mendapatiku termasuk orang yg sabar’.”

 

Baca juga: Shalat Istikharah, Apakah Jawabannya lewat Mimpi?

 

Syekh Muhammad ar-Raisuni dalam Asy-Syuro fi Ma’rakatil Bina’ (hal. 16) mengatakan, Falmas’alatu mahsusat(un) ma’zumat(un), wa ma’a dzalika yaqulu Ibrahim li waladihi, ‘Fanzhur madza tara’, “Walau Nabi Ibrahim telah bertekad bulat sebab mendapat isyarah langit, namun ia tetap mengatakan, ‘Maka, pikirkanlah bagaimana pendapatmu!’”. Ini ialah pelajaran etika sosial yg luar biasa.

 

Selanjutnya, bagi yg tak memiliki kecakapan dalam beristikharah, tak cermat membaca tanda, atau memang krisis bekal spiritual dan intelektual, maka langkah terbaik yg harus ia ambil ialah bermusyawarah dgn orang-orang yg kapabel pada persoalan yg ia hadapi. Bukan malah membebek pesan istikharahnya yg ditafsiri secara serampangan (bi ghairi ‘ilm(in)). Dampaknya dapat fatal. Inilah yg kami sebut istikharah abal-abal. Wallahu a’lam bisshawab.

 

 

Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur.


 

Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.