Bagaimana Ketentuan tentang Diyat?

Masyarakat Indonesia digegerkan dgn berita adanya ancaman hukuman mati yg diterima oleh salah seorang Tenaga Kerja Wanita (TKW). Dia diharuskan membayar tebusan atau diyat sebesar Rp 21 miliar (lalu diturunkan menjadi Rp 15 miliar). Yang mau saya tanyakan, dalam konsep hukum Islam, sebenarnya berapa sih jumlah diyat yg harus dibayarkan? Untuk ukuran TKW mana mungkin tebusan segitu besar dapat dia bayarkan?

Anggie, tinggal di Tangerang<>

 

Jawaban

Dalam pembahasan fiqih, para ulama sepakat bahwa hukuman qishash wajib dijatuhkan kepada pelaku pembunuhan berencana (qatlul ‘amd). Namun bila pihak keluarga korban memberikan maaf dan meminta diyat (tebusan) maka pelaku pembunuhan tersebut dapat terhindar dari hukuman qishash, dan ia wajib memberikan diyat. Sedangkan jumlah diyat-nya ialah 100 unta. Hal ini apabila yg menjadi korbannya ialah seorang laki-laki merdeka-muslim.

 Para ulama berselisih soal umur unta tersebut. Dalam konteks ini, misalnya menurut Madzhab Syafii—sebagaimana dikemukakan Imam an-Nawawi—,diyat dalam kasus pembunuhan berencana ialah 30 hiqqah (unta berumur tiga tahun masuk umur empat tahun), 30 jadza’ah (unta berumur empat tahun masuk umur lima tahun), dan 40 khalifah (unta yg sedang bunting).

 

فِي قَتْلِ الْحُرِّ الْمُسْلِمِ مِائَةُ بَعِيرٍ مُثَلَّثَةٌ فِي الْعَمْدِ : ثَلَاثُونَ حِقَّةً ، وَثَلَاثُونَ جَذَعَةً ، وَأَرْبَعُونَ خَلِفَةً (محي الدين شرف النووي، منهاج الطالبين وعمدة المفتين، بيروت-دار المعرفة، ص. 136)

“Dalam hal pembunuhan berencana terhadap seorang laki-laki merdeka yg muslim diyat-nya ialah seratus unta yg dibagi menjadi tiga, yaitu 30 hiqqah, 30 jadza`ah, dan 40 khalifah”. (Muhyiddin Syaraf an-Nawawi, Minhajuth Thalibin  wa ‘Umdatul Muftin, Bairut-Darul Ma’rifah, tt, h. 136).

Sedangkan menurut Imam Syafii bila yg menjadi korban pembunuhan berencana ialah seorang perempuan merdeka-muslimah maka ­diyat-nya ialah separo dari diyat laki-laki, yaitu 15 hiqqah, 15 jadza`ah, dan 20 khalifah. Pendapat ini menurut Imam Syafii telah disepakati oleh para ulama (ijma`). Hal ini sebagaimana dikemukan dalam kitab al-Umm:

 

( قال الشَّافِعِيُّ ) رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى لم أَعْلَمْ مُخَالِفًا من أَهْلِ الْعِلْمِ قَدِيمًا وَلَا حَدِيثًا في أَنَّ دِيَةَ الْمَرْأَةِ نِصْفُ دِيَةِ الرَّجُلِ وَذَلِكَ خَمْسُونَ من الْإِبِلِ فَإِذَا قَضَى في الْمَرْأَةِ بِدِيَةٍ فَهِيَ خَمْسُونَ من الْإِبِلِ وَإِذَا قُتِلَتْ عَمْدًا فَاخْتَارَ أَهْلُهَا دِيَتَهَا فَدِيَتُهَا خَمْسُونَ من الْإِبِلِ أَسْنَانُهَا أَسْنَانُ دِيَةِ عَمْدٍ وَسَوَاءٌ قَتَلَهَا رَجُلٌ أو نَفَرٌ أو امْرَأَةٌ لَا يُزَادُ في دِيَتِهَا على خَمْسِينَ من الْإِبِلِ (محمد إدريس الشافعي، الأم، بيروت-دار المعرفة، ج، 6ن ص. 106)

“Imam Syafi’i ra berkata: Saya tak mengetahui adanya perbedaan di kalangan ulama baik dulu maupun sekarang (pada masa Imam Syafii) bahwa diyat perempuan ialah separo dari diyat laki-laki, yaitu lima puluh unta. Karenanya ketika telah diputuskan diyat-nya perempuan maka diyat-nya ialah lima puluh unta. Dan apabila ia terbunuh sebab pembunuhan berencana kemudian keluarganya memilih diyat, maka diyat-nya ialah lima puluh unta, umur untanya sama seperti umur unta dalam diyat pembunuhan berencana, baik yg membunuhnya ialah laki-laki atau sekelompok orang atau seorang perempuan, diyat-nya tak lebih dari lima puluh unta”. (Muhammad Idris asy-Syafii, al-Umm, Bairut-Darul-Ma’rifah, tt, juz, VI, h. 106).

Jadi, katakan diyat-nya seorang TKW di atas ialah 50 ekor unta dikalikan Rp. 25 juta (harga rata-rata ini telah cukup mahal) itu sama dgn Rp 1,25 miliar. Lantas bagaimana bila pihak keluarga korban pembunuhan berencana meminta diyat melebihi dari ketentuan? Angka satu seperempat miliar itu tentu sangat-sangat jauh dari angka Rp 21 miliar atau Rp 15 miliar yg harus dibayarkan oleh TKW?

Ibnul Qayyim al-Jauzi dalam kitab al-Hadyu an-Nabawi mengatakan: Sesungguhnya yg wajib ialah salah satu di antara keduanya yaitu dapat qishash atau diyat. Sedangkan dalam hal ini pihak wali korban boleh memilih antara empat hal yaitu dapat memberikan ampunan secara cuma-cuma kepada pihak pembunuh, memberikan ampunan dgn diyat atau memilih qishash. Ketiga pilihan ini tak ada perbedaan di kalangan ulama. Sedang pilihan yg keempat ialah melakukan perdamaian antara wali korban dgn pihak pembunuh, dgn diyat yg lebih besar dari ketentuan yg telah ada atau lebih rendah.

Ibnu Qayyim mengatakan, ada dua pendapat ulama mengenai boleh taknya memberatkan harga diyat melebihi ketentuan umum. Pendapat pertama yg hanya masyhur di kalangan Madzhab Hanbali ialah diperbolehkan. Sedangkan pendapat Madzhab Syafii tak diperbolehkan. Bahkan lebih lanjut, menurut hasil penyelidikan Ibnul Qayyim al-Jauzi, pendapat yg kedua dianggap yg paling rajih atau paling kuat. (Muhammad bin Ismail al-Amir al-Kahlani ash-Shan`ani, Subulus Salam, Mesir-Musthafal Babil Halabi, 1379 H/1960 M, juz, III, h. 244)

Argumentasi memberatkan diyat ialah buat memberikan efek jera bagi pelaku, dan itu mestinya hanya dapat diberlakukan bila memang pelakunya ialah orang yg mapan. Namun melihat kondisi seperti ditanyakan di atas, dimana pelakunya ialah dari kalangan kelas bawah rasanya tak ditambah pun telah terasa sangat berat, dan tak mau mungkin dapat dibayar, kecuali disanggah atau dibantu oleh banyak orang. Dalam hal ini kita memilih pendapat yg kedua. Mengutip Ibnul Qayyim al-Jauzi di atas, larangan memperberat diyat dari yg telah ditentukan itu lebih rajih. Jadi ketentuan membayar diyat 50 ekor unta buat seorang TKW itu telah sangat-sangat berat dan jangan diperberat lagi.

Sebenarnya, seberapa pun besaran diyat toh tak mau dapat menyamai harga sebuah nyawa. Yang dianjurkan ialah memberikan maaf dan ampunan sebab itu lebih dekat dgn ketakwaan.

 

Mahbub Ma’afi Ramdlan





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.