Begini Spiritualisme Tasawuf di Era Modern

, JAKARTA – Tasawuf yg dikenal sebagai jalan penyucian jiwa bagi pegiat religius-spiritualis, selama ini diasumsikan hanya menempati wilayahnya pada lingkungan yg tradisional, puritan atau boleh dikatakancenderung menghindar dari dunia luar.

Dengan ajaran zuhudnya, tasawuf oleh sebagian kalangan diklaim telah menyebabkan Islam mundur. Hingga, peluang buat mengamalkan ajarannya dianggap hanya pantas dilakukan oleh para hamba yg lanjut usia.

Jika demikian, maka apa makna tasawuf bagi orang-orang yg telah berkelindan dgn dunia modern-materialisme, yg mana pada realitasnya, tajdid (modernitas) merupakan hal yg tak dapat dihindarkan bagi mayoritas manusia ketika ini. Terlebih dgn tibanya revolusi industri 4.0.

Hal itu disampaikan oleh Direktur Pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu Qur’an (PTIQ) Jakarta, Prof. Dr. Darwis Hude, M. Si. dalam kegiatan rutin kajian Tasawuf di Nasaruddin Umar Office (NUO), Cipete Jakarta Selatan.

NUO merupakan lembaga kajian ilmu-ilmu Islam yg diasuh oleh Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta, Prof. KH. Nasaruddin Umar, MA. Bertempat di bilangan Cipete, Jakarta Selatan, lembaga ini berfokus pada studi literatur Islam, mulai dari Fiikih, Tafsir, Teologi, Tasawuf hingga Filsafat yg rutin diadakan setiap hari Sabtu oleh tenaga pendidik dari sejumlah perguruan Tinggi Islam di Jakarta.

Dalam kesempatan kali ini, rubrik Tasawuf diisi oleh Prof. Darwis Hude dgn tema “Tasawuf Bagi Manusia Modern”.

Prof. Darwis mengatakan, tasawuf sebagai ilmu kerohanian bagi umat muslim yg berfokus pada penyucian jiwa tak memandang batas tempat dan zaman dalam pengamalannya. Terlebih pada zaman modern seperti ketika ini, tasawuf justru menemui masanya yg paling dicari bagi manusia modern yg haus mau spiritualitas.

“Ada paradigma antara orang-orang dahulu dgn orang-orang sekarang seperti (memahami) zuhud. Orang-orang dulu itu, yg namanya zuhud itu pergi uzlah (mengasingkan diri), pergi ke hutan, ke gunung, dan sebagainya. Kalau sekarang uzlah tapi tak perlu kesana-sana, tetap dia menyendiri dalam keramaian itu dapat. Nah jadi saya sebut di situ “Tasawuf Bagi Manusia Modern,” ujar Prof. Darwis ketika membawakan materinya, Sabtu (12/10/2019). Dikutip Redaksi24

Baca Juga:  Ada Kampoeng Nahdlatul Ulama Di Kota Serang

Menurut Prof. Darwis, ajaran dalam tasawuf tak meniscayakan hilang kegunaannya tatkala manusia dikelilingi dalam kesibukan aktivitas. Ajaran-ajaran akhlaknya tak mau lekang dari atmosfir kehidupan manusia modern yg tak jarang dipacu hasrat duniawi. Malah dgn begitu, hawa nafsu manusia mau lebih terkontrol hingga tak jatuh pada jiwa yg kering.

Ajaran tasawuf yg paling elementer menurut Prof. Darwis ialah, Tafakkur. Yakni, perenungan fenomena ciptaan Allah melalui mata hati. Objek yg menjadi perenungan, kata Prof. Darwis, ialah jejak-jejak ciptaan Allah di muka bumi yg dgnnya manusia dapat memperoleh pengetahuan tentang supremasi Tuhan.

“Persoalannya, bagaimana mengetahui jejak-jejak Tuhan? Itulah yg tadi saya katakan, Allah itu memberikan dua ayat (tanda), satu ayat diletakkan dalam alam, satu lagi diletakkan di kitab suci,” ujarnya.

Dalam kaitannya dgn alam, Prof. Darwis memberikan contoh, “Coba nanti perhatikan, kalau ada pohon, lihat bekas tangkainya itu, tak ada satu daun pun yg langsung nemplok persis di atas daun (lainnya) itu. Kenapa? Setiap daun yg baru, dia tak mau menghalangi daun yg lain buat mendapatkan sinar matahari. Yang suka begitu tuh justru manusia, kalau perlu jangan dikasih peluang dia. Kalau ciptaan Allah (alam) ini, enggak.” Terang guru besar Psikologi Islam PTIQ Jakarta itu.

Proses tafakkur menurut Prof. Darwis yg juga Dewan Pakar NUO, membutuhkan kesadaran waktu, manusia perlu berhenti sejenak dari kesibukan sehari-hari dgn melakukan evaluasi diri. Instrumen yg dipakai dalam tafakkur ialah pikiran dan hati. Dengan begitu, manusia mampu mengaktualkan setiap indera dan intuisinya dalam melihat isyarat alam sebagai tanda eksistensi Tuhan.

Baca Juga:  Heboh Pakain Dinas Cingkrang, Sekwan DPRD Kota Tangerang Dipertanyakan

Di samping Tafakkur, Prof. Darwis juga menyebut ajaran tasawuf lainnya yg tak kalah penting ialah, at-Tasyakkur, yakni menyatakan syukur atas nikmat Allah dgn sikap, ucapan, dan tindakan.

Ketiga ialah at-Tadzakkur, yakni mengingat Allah dalam suka dan duka, lapang dan sempit seraya juga mengingat-Nya ketika dalam keadaan posisi berdiri, duduk, serta dalam pembaringan.

Keempat, dalam paparan Prof. Darwis ialah mengenai at-Tadabbur, yakni mengingat Allah melalui ciptaan-Nya dan akibat-akibatnya.

Di akhir, Prof. Darwis mengatakan, tasawuf sebagai sebuah ilmu kerohanian merupakan puncak dari tingkatan ilmu filosofis. Para filsuf yg selama ini dikenal sebagai rasionalis yg cenderung pada penalaran akal, pada ujungnya mau menemukan tasawuf sebagai puncak pegembaaraan jiwa.

Ia memberi contoh tokoh Tasawuf yg populer di kalangan umat muslim, Imam Ghazali. Pada masa hidupnya, Imam Ghazali dikenal sebagai intelektual sejati yg ahli dalam mantiq (logika) dan jadal (debat). Namun, pada penghujung kehidupannya ia justru menempuh jalan sufi dan mulai meninggalkan segala jabatannya dalam pemerintahan.

Begitu juga tokoh filsafat di Indonesia yg pernah menjabat rektor IAIN Jakarta, Prof. Harun Nasution, pada akhir hayatnya ia lari ke tasawuf hingga ia tak hanya dikenal sebagai filsuf, tapi juga ahli tasawuf.

Lain lagi halnnya dgn tokoh filsuf Islam, Ibnu Rusyd. Prof. Darwis menggambarkan sebagai berikut.

“Ibnu Ruysd terkenal ilmuwan. Ibnu Ruysd itu kalau pagi, dokter, dia praktek di rumah sakit, kalau sore dia pendidik sebab dia mendidik anak-anak sultan, nanti kalau Maghrib dia ahli fikih sebab dia mengajar fikih di masjid, nanti tengah malam dia sufi sebab dia mengarang banyak sekali (kitab) tasawuf,” ujarnya.

Prof. Darwis melanjutkan, dalam kehidupan modern seperti ketika sekarang, manusia perlu mengimbangi hidupnya dgn spiritualitas, bila tidak, jiwa mau hampa. Manusia tak hanya memerlukan kecerdasan intelektual, tapi juga kecerdasan spiritual. Dan dalam Islam, kecerdasan spiritual ada dalam tasawuf.

Baca Juga:  Inilah Sikap dan Pandangan NU Terhadap Khilafah

“Itu sebabnya Howard Gardner, dia bukan muslim, sekarang (dia) menambahkan satu kecerdasan itu, (yakni) kecerdasan spiritualitas, sebab ternyata spiritualitas itu dapat mengatasi problem-problem yg kita hadapi,” imbuhnya.

Prof. Darwis mencontohkan tatkala manusia berada dalam keadaan krisis seperti gempa bumi, mereka mau mencari perlindungan dgn memohon pertolongan Tuhan. Di sini, kata Prof. Darwis, sisi spiritualisme manusia muncul. Ia menambahkan, bahwa dari ketika manusia dilahirkan ke dunia, manusia telah mempunyai naluri intuisi yg disebut spiritualisme itu.

“Jadi kita lahir itu, dalam hati kecil ada sebenarnya yg kita bawa, namanya teogenetis, jadi di awali tentang kebertuhanan. Cuma Karena diajarkan pada ketika kita lahir bersentuhan dgn hal-hal, seperti, tak mengenal Tuhan, jadi ateis dan sebagainya, akhirnya ini (spiritualitas) kerdil, tapi mau muncul lagi pada ketika –saat manusia terbentur dalam persoalan-persoalan hidupnya,” pungkas Prof. Darwis.

Manusia modern seperti yg ditegaskan oleh Prof. Darwis,tidak perlu memakai konsep uzlah seperti yg dilakukan para pesuluk terdahulu. Justru, melihat kondisi ketika sekarang, manusialah yg harus sanggup menguzlahkan dirinya di setiap segala kondisi modernitas yg melekat dalam hidupnya.





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.