Cara Sayyidina Umar bin Abdul Aziz Memulimau Tamunya

Dalam kitab Hilyah al-Auliyâ’ wa Thabaqât al-Ashfiyâ’, Imam Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah al-Asfahani mencatat sebuah riwayat tentang Sayyidina Umar bin Abdul Aziz dan penasihatnya. Berikut riwayatnya:

حدثنا أبو حامد بن جبلة، ثنا محمد بن إسحاق، ثنا أحمد بن الوليد، ثنا محمد بن كثير، ثنا أبي كثير بن مروان، عن رجاء بن حيوة، قال: سمرت ليلة عند عمر بن عبد العزيز فاعتل السراج، فذهبت أقوم أصلحه، فأمرني عمر بالجلوس، ثم قام فأصلحه، ثم عاد فجلس فقال: قمت وأنا عمر بن عبد العزيز، وجلست وأنا عمر بن عبد العزيز، ولؤم بالرجل إن استخدم ضيفه.

Abu Hamid bin Jabbalah menceritakan kepada kami, Muhammad bin Ishaq bercerita, Ahmad bin al-Walid bercerita, Muhammad bin Katsir bercerita, Abu Katsir bin Marwan bercerita, dari Raja’ bin Haiwah, ia berkata:

“Aku berbincang dgn Umar bin Abdul Aziz di malam hari, dan lampu (di ruangan hampir) terjatuh. Aku bergegas hendak berdiri buat memperbaikinya, (dan) Umar menyuruhku buat tetap duduk. Ia berdiri dan memperbaiki lampu tersebut, kemudian kembali duduk, sembari berkata:

“Aku berdiri, aku tetap Umar bin Abdul Aziz. Aku duduk, aku tetap Umar bin Abdul Aziz. (Tidak ada bedanya). Dan, (sungguh) tercela orang yg (membiarkan) tamunya melayani(nya)” (Imam Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah al-Asfahani, Hilyah al-Auliyâ’ wa Thabaqât al-Ashfiyâ’, Beirut: Dar al-Fikr, 2019, juz 5, h. 264).

****

Memuliakan tamu merupakan bagian dari ajaran Islam, bahkan dalam hadits yg melandasi pentingnya memuliakan tamu diawali dgn kalimat, “barangsiapa yg beriman kepada Allah dan hari akhir.” Hal ini menunjukkan bahwa memuliakan tamu (ikrâm al-dlaif) memiliki hubungan langsung dgn iman.

Dalam kisah di atas, Sayyidina Umar bin Abdul Aziz menerapkan konsep “ikrâm” (memuliakan) dgn cara luar biasa. Padahal, ia ialah pemimpin umat Islam saat itu, dan Raja’ bin Haiwah ialah sekertarisnya (kâtib) dan penasihatnya. Meski demikian, ia menekankan bahwa, siapa pun ia, baik berdiri maupun duduk, ia tetap Umar bin Abdul Aziz, yg dalam hal ini berperan sebagai tuan rumah, sehingga etika yg ditampilkan ialah etika tuan rumah kepada tamunya, bukan pemimpin kepada bawahannya.

Raja’ bin Hawiyah (w. 69/70 H) sendiri telah menjadi pejabat di Daulah Umayyah sejak Khalifah Abdul Malik bin Marwan sampai Umar bin Abdul Aziz. Artinya, ia telah mengabdi pada empat khalifah dari Daulah Umayyah. Ia ialah seorang faqîh (ahli fiqih), zâhid (orang yg zuhud), tab’in, dan banyak meriwayatkan hadits. Ia mengambil hadits dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash, Mu’adz bin Jabal, Mahmud bin al-Rabi’, Abu Darda’, Abu Umamah al-Bahili, Abu Sa’id al-Khudri, Ummu Darda’, Umar bin Abdul Aziz, dan lain sebagainya. Banyak ulama yg mengambil riwayat hadits darinya, seperti al-Zuhri, Qutadah bin Du’amah, Abdullah bin ‘Aun, Abdul Malik bin ‘Umair, Humaid al-Thawil, Abdul Karim bin al-Harits, dan lain sebagainya (Imam Ibnu ‘Asakir, Tarîkh Madînah Dimasyq, Beirut: Dar al-Fikr, 1995, juz 18, h. 96-98).

Jika merujuk pada catatan Imam Ibnu ‘Asakir di atas, Raja’ bin Hawiyah termasuk murid Sayyidina Umar bin Abdul Aziz, sebab ia mengambil riwayat hadits darinya. Artinya, apa yg dilakukan Sayyidina Umar bin Abdul Aziz benar-benar sebuah adab tanpa penghalang. Baginya, konsep memuliakan tamu harus diterapkan kepada siapapun juga, sebagaimana yg diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak peduli tamunya orang biasa, pejabat tinggi, bawahan, murid, atau saudaranya sendiri, ia memperlakukan mereka dgn penghormatan yg semestinya.

Di sisi lain, Sayyidina Umar bin Abdul Aziz sedang mengajarkan keteladanan pada Raja’ bin Hawiyah, sebagai pemimpin sekaligus guru. Menariknya, ia mengamalkannya terlebih dahulu sebelum menjelaskannya, bukan sebaliknya. Setelah ia selesai memperbaiki lampu, ia berujar dgn tegas (terjemah bebas): “Berdiri ataupun duduk, aku tetap Umar bin Abdul Aziz.” 

Maksudnya ialah, sebelum predikat apa pun yg menempel kepadanya, atasan dan guru, ia mau menegaskan bahwa ia ialah seorang manusia yg tetap terikat dgn aturan dan ajaran agama. Ia tak mendapatkan keistimewaan hanya sebab ia atasan atau guru dari Raja’ bin Hawiyah.

Kemudian ia menjelaskan tindakannya dgn bahasa yg sangat mudah dimengerti. Katanya: “Dan, (sungguh) tercela orang yg (membiarkan) tamunya melayani(nya).” Dengan mengatakan ini, Sayyidina Umar bin Abdul Aziz memberikan pemahaman yg indah, bahwa taklah pantas bagi tuan rumah membiarkan tamunya melayaninya.

Dalam hal “istihdzâm dlaif”, ada dua sudut pandang yg perlu dipahami, yaitu sudut pandang pasif dan sudut pandang aktif. Penjelasannya begini. Maksud dari sudut pandang pasif ialah pembiaran, di mana tuan rumah membiarkan tamu melayaninya tanpa upaya mencegah atau melarangnya. Dalam contoh di atas, Sayyidina Umar bin Abdul Aziz bergegas melarang Raja’ bin Hawiyah buat melakukan hal tersebut.

Sedangkan sudut pandang aktif ialah meminta secara langsung pada tamunya buat melayaninya. Bahasa kasarnya menjadikan tamunya pelayan. Dalam contoh di atas, meskipun dari starta jabatan dan hubungan guru-murid memungkinkan, Sayyidina Umar bin Abdul Aziz tak melakukannya. Artinya, meskipun ia mempunyai kesempatan dan peluang buat itu, ia tak menggunakannya. Jangankan menggunakannya, melakukan pembiaran saja ia enggan. Karena, katanya: “Aku berdiri, aku tetap Umar bin Abdul Aziz. Aku duduk, aku tetap Umar bin Abdul Aziz. (Tidak ada bedanya). Dan, (sungguh) tercela orang yg (membiarkan) tamunya melayani(nya).”

Wallahu a’lam bish-shawwab….

Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen
 





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.