dua Cara Tobat menurut Ibnu Athaillah as-Smaudari

Menjadi manusia sempurna tanpa dosa atau kesalahan sedikit pun tentu sangat tak mungkin. Bahkan dalam sebuah kalam hikmah disebutkan, “Manusia ialah tempat salah dan dosa”. Ungkapan sederhana, namun menyimpan banyak makna di dalamnya. Dengan ungkapan tersebut, manusia tak mempunyai alasan buat sombong dan merasa lebih baik dari orang lain, sebab antara dirinya dan orang lain sama-sama pernah melakukan dosa.

Manusia dgn segala keterbatasan dan kekurangannya selalu diliputi kemungkinan berbuat dosa, baik disengaja atau tak sekalipun. Apalagi bila hawa nafsu telah menguasai jiwanya. Ia mau menjadi mainan yg sangat gampang buat diajak berbuat kesalahan dan kemaksiatan. Bahkan, dalam kondisi itu, ketaatan seolah tak bernilai sama sekali dalam kehidupannya.

Namun, meski manusia tak dapat lepas dari dosa, atau bahkan dosa-dosanya telah menumpuk, bukan berarti tak ada lagi jalan buat memperbaiki dirinya. Karena, betapa pun besar dan menggunung dosa seorang hamba, pintu rahmat Allah selalu terbuka. Allah memberikan manusia kesempatan buat memperbaiki dirinya, yaitu dgn cara bertobat dari perbuatan-perbuatan yg berkonsekuensi dosa.

Secara etimologi, tobat berarti kembali. Sedangkan secara terminologi, tobat berarti meninggalkan pekerjaan-pekerjaan yg hina menuju pekerjaan yg mulia. Atau bila disederhanakan, sebagaimana yg disampaikan oleh Imam al-Ghazali, yaitu menyucikan hati dari dosa.

Tobat menjadi sangat penting buat dilakukan, sebab dgnnya, seseorang dapat membersihkan hati dari dosa-dosa yg mengotorinya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah ï·º bersabda:

كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ اَلْخَطَّائِينَ اَلتَّوَّابُونَ

Artinya, “Semua anak adam (manusia) melakukan kesalahan, dan sebaik-baiknya orang yg bersalah ialah orang yg bertobat” (HR At-Tirmidzi).

Cara-cara Bertobat

Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari dalam kitab Tajul Arus menjelaskan tentang dua cara bertobat yg dapat ditempuh seorang hamba, yaitu:

1. Al-Muhasabah (intropeksi)
Maksdunya, orang yg mau betobat harus tak lepas dari introspeksi. Caranya, selalu berpikir sepanjang umurnya, bila waktu pagi datang, maka berpikirlah perihal apa yg mau dilakukan olehnya pada malam hari. Jika menemukan pekerjaan taat, maka bersyukurlah pada Allah, dan bila menemukan pekerjaan maksiat, maka istighfarlah kepada-Nya dan segera bertobat. Tidak cukup dgn itu, ia harus mencela dirinya atas maksiat yg diperbuat. Karena, tak ada cara paling ampuh dalam bertobat selain mencela diri sendiri ketika melakukan kesalahan. Jika tips ini dilakukan, maka Allah mau memberikan kemuliaan, sebagaimana yg disampaikan oleh Syekh Ibnu ‘Athaillah, yaitu:

فان فعلت ذلك أبدلك الله بالحزن فرحا، وبالذل عزا، وبالظلمة نورا، وبالحجاب كشفا

Artinya, “Jika tips di atas dilakukan, maka Allah mau menggantikan kesedihan dgn bahagia, hina dgn mulia, gelap dgn cahaya, dan kondisi terhalang (dari Allah) dgn terbuka (mengenal Allah)” (Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari, Farhatun Nufus bi Syarhi Tajul Arus, [Beirut: Dar al-Kutub 2015], h. 17).

Tidak cukup dgn itu, seorang hamba harus merasa bahwa dirinya selalu ada dalam pengawasan Allah ï·». Dengannya, tak mau melakukan pekerjaan yg berujung dosa, bahkan tak melakukan pekerjaan dgn tujuan selain Allah ï·».

Dosa dalam diri manusia menjadi penyebab kegelapan hati yg selalu membekas. Maksiat bagaikan api, sedangkan dosa sebagai asapnya. Jika asap api mengenai rumah, seindah apa pun rumahnya mau menjadi tak elok dipandang dan tak nyaman ditempati. Begitupun dgn manusia, sebersih apa pun dia dari kesalahan. Jika maksiat telah diperbuat olehnya, dan dosa menjadi konsekuensinya, maka Allah tak mau senang dgnnya, sehingga ia mau semakin jauh dari Allah. Oleh sebabnya, tak ada cara lain selain membersihkan dosa dalam diri manusia kecuali dgn cara bertobat.

2.  Al-Ittiba’ (mengikuti Rasulullah)
Maksudnya, orang yg mau bertobat harus tunduk patuh mengikuti Rasulullah dalam semua tindakannya, seperti pekerjaan, ucapan, dan ibadahnya. Apalah arti sebagai umat Nabi Muhammad bila semua pekerjaan yg dilakukan justru tak sesuai dgn apa yg dicontohkan oleh Rasulullah? Seseorang tak mau melakukan sesuatu yg tak ada manfaatnya selama ia tunduk patuh dan mengikuti jejak langkah Rasulullah dalam kehidupannya sehari-hari.

Ketentuan kedua ini begitu jelas, dalam Al-Qur’an Allah memerintahkannya, yaitu:

قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

Artinya, “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mau mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayg” (QS Ali ‘Imran: 31)

Mengikuti jejak langkah yg dipraktikkan oleh Rasulullah, menunjukkan sebagai upaya menjadi bagian darinya. Berusaha menjadi bagian Rasulullah artinya berusaha buat mendekatkan diri kepada Allah ï·». Begitupun sebaliknya, tak mengikuti Rasulullah artinya tak mau menjadi bagian darinya, dan tentu juga mau menjauh dari Allah. Naudzubillah.

Penjelasan tersebut mengingatkan kita pada kisah yg terjadi beberapa abad yg lalu, tepatnya ketika peristiwa perang Khandaq, yaitu pengakuan Rasulullah pada sahabat Salman al-Farisi yg dinyatakan sebagai keluarganya. Dalam haditsnya, secara jelas Rasulullah bersabda:

سلمان منا أهل البيت

Artinya, “Salman merupakan bagian dari kita, sebagai keluarga.” (Imam Suyuthi, Jam’ul Jawami’, juz 1, h. 1334)

Sebagaimana diketahui, sahabat Salman bukanlah keturunan Rasulullah, bahkan tak termasuk dari golongan suku Quraisy. Ia hanyalah pendatang dari kota Persia buat masuk Islam. Betapapun demikian, sikap tunduk patuh dan mengikuti semua tingkah laku Rasulullah menjadikan orang Persia itu bagian darinya, bahkan dianggap sebagai keluarganya.

Jika tunduk patuh dalam mengikuti langkah Rasulullah dapat dianggap sebagai bagian darinya, tentu mereka yg tak mengikuti tak dapat dianggap sebagai bagiannya. Hal ini tergambar secara jelas dalam kisah Nabi Nuh ‘alaihissalam, ketika menganggap anaknya sebagai bagian darinya. Lantas, Allah berfirman kepadanya:

قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ

Artinya, “Dia (Allah) berfirman, ‘Wahai Nuh! Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu, sebab perbuatannya sungguh tak baik.” (QS Hud: 46).

Dua peristiwa di atas menjadi sebuah bukti bahwa tak ada cara yg lebih baik buat mendapatkan ampunan dari Allah ï·» ketika bertobat selain mengikuti jejak Rasulullah. Bahkan Allah telah menjanbilan ampunan bagi orang-orang yg taat pada Rasul-Nya sebagaimana disebutkan pada ayat di atas.

Sunnatullah, santri sekaligus pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Kokop Bangkalan Jawa Timur.
 





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.