Fiqih Bencana: Perihal Risiko Tabungan Investasi & Utang Nasabah

Mudlarabah merupakan bagian dari produk bagi hasil yg disiapkan oleh perbankan. Apabila dalam paket bagi hasil akad ini tak disertai dgn ketentuan tempat atau obyek investasi, maka ia masuk dalam kategori mudlarabah muthlaqah. Namun, apabila ada penyertaan syarat tempat dan obyek investasi, maka disebut mudlarabah muqayyadah. Gabungan antara mudlarabah muthlaqah dan mudlarabah muqayyadah ditambah dgn ketentuan bolehnya pengelola ikut ambil bagian dalam menginvestasikan dananya guna mengembangkan usaha disebut dgn istilah musyarakah mudlarabah. 

Umumnya praktik mudlarabah dilakukan dgn pola 100 persen modal disediakan oleh pemodal. Khusus buat musyarakah mudlarabah (kemitraan dan bagi hasil), mudlarib (pengelola) pada perkembangan berikutnya dapat mengikutsertakan dananya guna mengembangkan usaha. Tentunya dalam hal ini tergantung pada transaksi dan janji yg dibangun antara pihak pemodal dan mudlarib-nya. 

Jika menilik dari pola akad mudlarabah ini, maka jenis-jenis produk mudlarabah dalam dunia perbankan, ialah mencakup hal-hal sebagai berikut:

1. Produk tabungan investasi

Yang masuk dalam kelompok tabungan investasi ini antara lain deposito dan reksadana. Kiranya, produk deposito masuk dalam rumpun mudlarabah muthlaqah, sementara produk reksadana masuk dalam rumpun mudlarabah muqayyadah. Pada mudlarabah muthlaqah, nasabah berperan selaku pemodal, sementara bank berperan selaku mudlarib (pengelola). Obyek investasi tak disyaratkan buat ditunjukkan. 

Sementara itu, pada mudlarabah muqayyadah, nasabah berperan selaku pemodal, sementara bank berperan selaku wakil pemodal. Selaku wakil, ia berperan menyalurkan investasinya ini sesuai dgn kehendak dari nasabah. Dalam hal ini, obyek transaksi bersifat telah ditentukan. Contoh kongkretnya ialah akad reksadana. Lantas, siapakah mudlarib-nya? Mudlarib-nya ialah pemilik usaha atau pengguna dana yg disalurkan oleh bank atas nama amanat selaku wakil dari nasabah. 

2. Produk pembiayaann

Untuk produk pembiayaan yg memakai akad mudlarabah, misalnya ialah akad istishna’, musaaqah, istithmār, atau bahkan akad salam. Tapi, buat akad salam nampaknya kecil kemungkinan atau bahkan tak sama sekali. Rumpun akad salam yg masuk ialah istishnā’ dan istithmār. Karena sifatnya juga berbasis jual beli, maka dalam hal ini, syarat qabdlu (penerimaan) dalam bentuk produk menjadi salah satu syarat pertimbangan. Karena setelah qabdlu, sifat kepemilikan barang telah beralih ke pelaksana. Dalam konsep ini, maka praktik mudharabah hampir tak ada  bedanya dgn murābahah (jual beli dgn porsi keuntungan bagi penjual). 

Yang paling memungkinkan masuk ke dalam unsur pembiayaan ini ialah akad mudharabah musyarakah. Contoh, misalnya pembiayaan ekspor-impor. 

Mencermati kedua produk mudlarabah yg berlaku pada perbankan di atas, maka dalam situasi terdampak bencana yg menghabiskan barang milik, buat produk tabungan investasi mudlarabah muthlaqah, yg mana nasabah berperan selaku pemilik modal, sementara bank berperan selaku mudlarib, secara fiqih mau berlaku hukum sebagaimana  yg terjadi pada produk akad jual beli murābahah. Jadi, berdasarkan hukum asalnya, bank masih dibenarkan buat tak turut serta menanggung faktor kerugian disebabkan hilangnya modal telah bukan lagi tanggung jawab perbankan. Pertimbangan dalam hal ini ialah bank berperan selaku mudlarib yg bertanggung jawab hanya apabila terjadi itlaf (rusak) bilamana disebabkan salah pengelolaan. Faktor pengecualian tentu terjadi apabila bank berada di wilayah yg tak terimbas bencana. 

Yang jadi soal ialah kondisi kemutlakan akad pengelolaan ini yg memungkinkan penyalurannya ada di wilayah bencana, atau rawan bencana. Padahal mudlarib-nya (bank) tak berada di wilayah bencana. Bagaimana pertanggungan bank terhadap dana investasi nasabah? Dalam hal ini membutuhkan banyak pertimbangan khususnya terkait dgn status rawan bencana atau taknya suatu daerah. Dan di sinilah pentingnya andil Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) nasabah sebab didalamnya masuk juga dana haji masyarakat.

Untuk akad musyarakah mudlarabah, maka batalnya akad tergantung pada keputusan dua pihak, sebab pada dasarnya dalam akad ini tersimpan unsur kerjasama/kemitraan (musyarakah) antara nasabah yg menerima pembiayaan (debitur) dan perbankan (kreditur). Mudlarabah musyarakah mensyaratkan adanya perhitungan kembali manakala terjadi penambahan modal oleh pelaksana ke dalam usaha yg dilaksanakan. Dengan demikian, dalam kondisi bencana, pihak bank tak dapat melakukan klaim penagihan kepada nasabah korban bencana disebabkan sebab keharusan untung rugi dapat ditanggung bersama antara pelaku dan bank. 

Akad yg dapat masuk ke dalam bagian mudlarabah musyarakah ini antara lain ialah akad istithmar, akad berbasis akad salam, seperti akad musāqah. Dalam akad istithmar, seorang petani harus menjual produk hasil pertaniannya kepada bank disebabkan telah terikat dgn janji penjualan produk dgn harga di depan dgn bank. Selagi produk belum diterimakan, maka belum terjadi yg namanya jual beli. Proses mendapatkan hasil produk ini merupakan bagian dari investasi bank, sehingga apabila terjadi kasus darurat, maka bank juga turut menanggungnya. Kebijakan yg berlaku buat akad ini yg paling memungkinkan ialah pemutihan, atau hapus tagih ke nasabah. 

Masalahnya kemudian, segala produk murabahah dan mudlarabah, sebab di bank konvensional umumnya ialah dijalankan dgn praktik qardlu (utang piutang), maka dianggap bahwa segala tanggung jawab juga berhak diterapkan ke dalam produk syariah lewat bank syariah. Term kredit masih umum dipergunakan dalam praktik. Sementara bila dilihat dari akad, seharusnya tak masuk akad qardlu. Inilah yg perlu penyikapan sehingga penting kembali buat merujuk ke asal akad bagaimana relasi nasabah dan bank dibangun di awal kali transaksi. Wallahu a’lam. 

Muhammad Syamsudin, Tim Peneliti dan Pengkaji Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jatim





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.