Fiqih Maqashid (3): Kemaslahatan ialah Inti Syariat Islam

Sebagaimana pada tulisan sebelumnya telah kita sebutkan bahwa ide sentral dari syariat itu pada dasarnya mewujudkan kemaslahatan, yg oleh al-Ghazali tengarai sebagai mewujudkan kesejahteraan (sabîli al-ibtida). Penting digarisbawahi bahwa yg dinamakan kemaslahatan ialah selalu bersifat universal (kully) dan bukan bersifat parsial (juz’iy). Dengan kata lain, kemaslahatan ialah hak dan tanggung jawab manusia secara keseluruhan tanpa dibatasi oleh kelompok tertentu atau bendera tertentu, sebab Allah SWT tak mau memerintahkan sesuatu melainkan buat kemaslahatan hamba-Nya.

وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين

Artinya: “Tiada Kami utus engkau (Muhammad) melainkan menjadi rahmat sekalian alam.” (QS. Al-Anbiya’: 107)

Oleh sebab itu, dalam setiap keputusan hukum (fiqih) memiliki kewajiban mutlak harus memenuhi unsur kemaslahatan tersebut. Al-Thabary menyampaikan dalam Jâmi’u al-Bayan ‘an Ta’wîli al-Qurân Juz 18 halaman 551, menyampaikan pandangan ahli ta’wil terkait dgn QS. Al-Anbiya: 107 ini sebagai berikut:

 

ثم اختلف أهل التأويل في معنى هذه الآية ، أجميع العالم الذي أرسل إليهم محمد أريد بها مؤمنهم وكافرهم ؟ أم أريد بها أهل الإيمان خاصة دون أهل الكفر ؟ فقال بعضهم : عنى بها جميع العالم المؤمن والكافر

Artinya: “Para ahli ta’wil berbeda pendapat dalam maksud ayat ini, apakah yg dimaksud (seluruh orang alam) ini ialah semua penduduk alam yg Nabi Muhammad SAW diutus buatnya membawa rahmat itu, baik kalangan mukmin atau kalangan kafir ataukah yg dikehendaki hanya orang berimannya saja dgn menisbikan ahli kafirnya? Sebagian kalangan ahli ta’wil ini menjawab: Allah SWT bermaksud seluruh alam, baik orang mukminnya maupun orang kafirnya.” (Lihat Ibnu Jarir al-Thabary, M., Jâmi’u al-Bayan ‘an Ta’wîli al-Qurân Juz 18, Mesir: Daru al-Maarif, tt., 551)

Universalitas rahmat merupakan inti dari diutusnya Baginda Rasulillah SAW. Pendapat yg sama senada juga disampaikan oleh Ibnu Katsîr di dalam kitab tafsirnya, dgn menukil penakwilan dari Ibnu Abbas radliyallaahu ‘anhu:

من تبعه كان له رحمة في الدنيا والآخرة ، ومن لم يتبعه عوفي مما كان يبتلى به سائر الأمم من الخسف والقذف

Artinya: “Barang siapa yg mengikuti Nabi Muhammad SAW, maka baginya rahmat di dunia dan akhirat. Dan barang siapa yg tak mengikutinya, maka diampuni dari terkena musibah yg dulu pernah ditimpakan kepada umat-umat terdahulu, dari dibinasakan dan dilaknati.” (Lihat: Ismail Ibnu Katsîr, Tafsir al-Qurân al-‘Adhim, Juz 5, Mesir: Daru al-Thayyibah, 2002, 335!)

Berdasarkan riwayat ini, jelas bahwa maksud utama diutusnya Baginda Nabi Muhammad SAW sebagai rahmat ialah tak buat mengadzab orang yg tak mengikutinya, sebab hak adzab secara khusus dalam bentuk membinasakan dan melaknati ialah hak Allah SWT.  

Jadi, kembali kepada tema sentral bahasan bahwa maqashid al-sharî’ah ialah bermuara pada kemaslahatan, yakni menegakkan kemaslahatan manusia selaku makhluk sosial yg senantiasa membutuhkan bantuan dan uluran orang lain guna memenuhi hajat hidupnya. Allah SWT berfirman:

ياأيها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منهما رجالا كثيرا ونساء واتقوا الله الذي تساءلون به والأرحام إن الله كان عليكم رقيبا

Artinya: Wahai manusia, bertakwalah kalian kepada Tuhan kalian, Dzat yg menciptakan kalian dari jiwa yg satu, lalu menciptakan darinya istrinya, lalu menebarkan dari keduanya generasi-generasi yg banyak serta istri-istrinya. Bertakwalah kalian kepada Allah Dzat yg dgn nama-Nya kalian tolong-menolong dan menjalin silaturahmi antara satu dgn yg lain. Sesungguhnya Allah senantiasa menjaga dan mengawasi kalian.” (Q.S. Al-Nisa: 1)

Walhasil, syariat harus dilaksanakan lengkap dgn maqâshid-nya sehingga kemaslahatan dapat terwujud. Dengan demikian, maqâshid al-sharî’ah ialah sentral rujukan utama. Keluar dari standart maqâshid ialah sama dgn berbuat ghuluw (berlebih-lebihan) dan al-dhulmu (kedhaliman). Lawan dari al-dhulmu dan al-ghuluw ialah al-‘adl (setimbang/standar). Jadi, berpegang teguh pada maqâshid ialah salah satu ciri dari individu yg ‘adil. Allah SWT berfirman:

وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِين الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ وَإِذَا كَالُوهُمْ أَو وَّزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ أَلَا يَظُنُّ أُولَٰئِكَ أَنَّهُم مَّبْعُوثُونَ

Artinya: “Kecelakaan yg besarlah bagi orang-orang yg curang, yaitu orang-orang yg apabila menerima takaran dari orang lain maka ia meminta dipenuhi. Namun apabila menakar buat orang lain atau menimbang, maka ia mengurangi. Tidakkah mereka meyakini bahwa mereka kelak mau dibangkitkan.” (QS. Al-Muthaffifîn: 1-4)

Dalam ayat ini Allah SWT melaknati secara umum bahwa dalam mu’amalah, seorang individu beriman harus adil. Andaikan inti utama syarî’ah hanya diperbuatkan bagi orang mukmin, maka pasti perintah itu hanya dikhususkan bagi mukmin saja. Perintah melakukan keadilan dalam takaran dan timbangan tak berbunyi sebagai: “bila menakar buat kalangan mukmin, maka harus dipenuhi, namun apabila menakar buat orang kafir, maka harus dicurangi.” Untuk itu, perintah ini ialah bersifat universal. Keuniversalan inilah yg dimaksud sebagai maslahah. 

Muhammad Syamsudin, Pengasuh PP Hasan Jufri Putri P. Bawean dan saat ini menjabat sebagai Tim Peneliti dan Pengkaji Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU JATIM dan Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah LBM PWNU Jatim

Bersambung…






Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.