Fiqih Maqashid: Mazhab & Manhaj Ekonomi Syari’ah

Ketika kita berbicara soal ekonomi Islam, maka langsung ingat bahwa tujuan utama dari ekonomi Islam ialah mewujudkan kemaslahatan. Mengedepankan maslahat berarti juga mewujudkan ekonomi Islam itu sendiri, menjaga nilai-nilainya dan prinsip ajarannya guna mewujudkan kemaslahatan tersebut. Tapi, apakah kita tahu bahwa sebab adanya perbedaan dalam prinsip dasar maqashid, maka ada tiga mazhab besar aliran ekonomi Islam dewasa ini? Inilah fokus utama kajian kita pada kesempatan tulisan ini. 

Pertama, ialah Mazhab Iqtishaduna. Tokoh utama dari mazhab ini ialah Bâqir al-Shadr, Abbas Mirakhar, Bâqir al-Hasâny, Kâdim al-Shadr, Iraj Toutounchian dan Hedayati. Pelopor dari mazhab ini ialah Bâqir al-Shadr dgn kitab karyanya Iqtishaduna (perekonomian kita). 

Pikiran utama dari mazhab ini ialah 

1. Bahwa ilmu ekonomi tak mau pernah dapat bersatu dgn Islam. Ekonomi ialah disiplin ilmu tersendiri, sementara Islam ialah sebuah religi. Namun ekonomi dapat disusupi nilai Islam, membentuk sebuah peradaban, hanya saja Islam tak mampu mempengaruhi praktik dasar dari ekonomi itu sendiri. Landasan yg dipergunakannya ialah QS. Al-Qamar: 49. 

إنا كل شيء خلقناه بقدر

Artinya: “Sesungguhnya segala sesuatu Kami ciptakan dgn ukuran (setepat-tepatnya).” (QS. Al-Qamar: 49)

2. Masalah ekonomi muncul diakibatkan oleh faktor ketakmerataan distribusi dan ketimpangan akibat dari eksploitasi oleh pihak yg kuat terhadap pihak yg lemah sehingga timbul ketimpangan / ketakadilan. Pihak yg kuat muncul sebagai penguasa sumber daya atau selaku perusahaan yg memonopoli sumberdaya. Jadi, mazhab ini tak menerima secara utuh dalam memasukkan disiplin ekonomi Islam itu sebagai bidang disiplin tersendiri terpisah dari ekonomi. Memasukkan ekonomi Islam sebagai disiplin tersendiri cenderung agak kontradiktif dan terkesan pengelabuan. 

3. Yang seharusnya menjadi inti pokok fokus utama menyejahterakan umat Islam ialah mewujudkan maslahat itu sendiri. Itulah sebabnya mazhab ini menawarkan konsep iqtishaduna (ekonomi kita). Diksi iqtishad ialah kembali kepada upaya mengaplikasikan maqâshid al-syarî’ah dgn jalan mengupayakan kondisi al-qashdu (ekuilibrum/setimbang). Kondisi ini hanya tercapai apabila tercapai yg dinamakan “keadilan” ekonomi. Dalam hal ini, konsep Bâqir al-Shadr itu tak menerima adanya konsep sumber daya sifatnya ialah terbatas sementara hasrat dan kebutuhan manusia ialah tak terbatas. Menurutnya, Islam tak mengenal konsep keterbatasan sumberdaya sebagaimana disampaikan dalam QS. Al-Qamar: 49 di atas. 

Kedua, ialah mazhab IDB. IDB merupakan singkatan dari Islamic Development Bank. Tokoh utama dari mazhab ini ialah M. Umer Chapra, M.A. Mannan, M. Nejatullah Siddiqi, dan sejumlah tokoh lainnya. Seluruhnya tercatat merupakan karyawan di IDB. Oleh sebabnya pula, mazhab ini sering disebut juga dgn istilah mazhab arus utama (mazhab mainstream). Perbedaan mazhab ini dgn mazhab sebelumnya ialah memandang bahwa “sumber daya ialah terbatas, sementara hasrat dan kemauan manusia ialah tak terbatas.” Menghadapkan sumber daya vis a vis hasrat kemauan manusia inilah yg menyebabkan terjadinya aliran permintaan dan penawaran barang sehingga timbul harga. Karena sumberdaya sifatnya terbatas, maka suatu kali pasti mau muncul kelangkaan barang. Konsep keterbatasan sumberdaya ini mereka ambil dari kandungan QS. Al-Baqarah: 155. 

ولنبلونكم بشيء من الخوف والجوع ونقص من الأموال والأنفس والثمرات وبشر الصابرين

Artinya: “Sungguh mau Kami uji kalian dgn rasa takut, kelaparan, krisis harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yg bersabar.” (QS. Al-Baqarah: 155).

Adapun tentang konsep bahwa hasrat dan kemauan manusia bersifat tak terbatas yg menjadi kunci dari mazhab ini ialah didasarkan pada QS. Al-Takâtsur: 1-5.

الهاكم التكاثر حتى زرتم المقابر كلا سوف تعلمون ثم كلا سوف تعلمون كلا لو تعلمون علم اليقين

Artinya: “Bermegah-megahan telah melalaikan kalian sampai kalian berkunjung ke liang kubur. Janganlah begitu! Kelak kalian mau mengetahui. Dan janganlah begitu, sebab kalian kelak mau mengetahui. Janganlah begitu, seandainya kalian mengetahui dgn pengetahuan yg yakin…..” (QS. Al-Takâtsur: 1-5). 

Jika merunut pada pokok pikiran munculnya mazhab ini, maka seolah mazhab ini tak banyak menunjukkan perbedaan yg berarti dibanding ekonomi konvensional. Itulah sebabnya pula para ilmuwan cenderung melabelinya sebagai mazhab ekonomi mainstream. Konsep ini justru sebenarnya mirip dgn pandangan dari Ibnu Taimiyah. Pandangan Ibnu Taimiyah dalam bidang ekonomi banyak diadopsi oleh para ekonom Barat dan diajarkan oleh universitas-universitas di Barat. Sementara pengusung mazhab ini memiliki latar belakang pendidikan ekonomi di dunia Barat. Jadi, sedikit klop dgn asal-muasalnya. Namun yg mengherankan, para pendukung mazhab Ibnu Taimiyah ini – di Indonesia – justru banyak yg menjadi penentang utama bank konvensional di Indonesia, bahkan bank syariah. Inilah lucunya. 

Ketiga, ialah Mazhab Alternatif Kritis. Tokoh utama dari mazhab ini ialah Timur Kuran, Jomo dan Muhammad Arif. Timur Kuran ialah salah seorang yg pernah menjabat sebagai Ketua Jurusan Ekonomi di University of Soutearn California. Sementara itu Jomo ialah seorang tokoh ekonomi dari Yale, Cambridge, Harvard University of Malaya. Latar belakang dari mazhab ini ialah melakukan kritik terhadap Mazhab yg diajukan oleh Bâqir al-Shadr yg dianggapnya sebagai hanya mazhab modifikasi saja. Bâqir dianggap menghancurkan teori ekonomi lama kemudian memodifikasinya lagi sebagai yg baru. Ekonomi Islam dianggap sebagai teori lama dan telah baku. Sementara Iqtishâdunâ hanya label baru saja. Inilah maksud dari kritik tersebut. 

Selain mengkritik terhadap mazhab Iqtishâdunâ, mazhab ini juga mengkritik terhadap mazhab IDB. Menurutnya, mazhab IDB hanyalah sebuah tiruan dari mazhab ekonomi neoklasik dgn menghilangkan variabel riba, lalu menggantinya sebagai variabel zakat dan niat. Bank konvensional menyebutnya sebagai bunga, namun mazhab IDB menyebutnya sebagai zakat dan niat. 

Pokok pikiran utama dari mazhab alternatif kritis ini ialah bahwa Islam itu pasti benar, namun sehubungan dgn bangunan ekonomi Islam ialah berdasarkan hasil penafsiran al-Qur’an dan al-Hadits yg dinilai bersifat relatif, maka dari itulah langkah analisis kritis terhadap segala bentuk akad dan perjalanan ekonomi harus tetap dilangsungkan. Jadi, konsep utama mazhab ini ialah pada analisis dan penelitian. Penelitian berfungsi sebagai instrumen pengujian kebenarannya. Fondasi utamanya tetap pada maqashid al-syariah. Setiap poin dari maqashid ini selanjutnya dirupakan sebagai indeks. Jadi, dalam mazhab ini ada istilah indeks kemakmuran, indeks kemajuan, dan lain sebagainya.  Wallahu a’lam bish shawab.


Muhammad Syamsudin, Pengasuh PP Hasan Jufri Putri P. Bawean dan saat ini menjabat sebagai Tim Peneliti dan Pengkaji Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU JATIM dan Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah LBM PWNU Jatim





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.