Fiqih yg Kondisional

Agama islam berfungsi sebagai rahmat buat alam semesta. Ajaran-ajarannya tak sulit dan mudah (‘adamul kharail yusr), baik hal pemahamannya maupun pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari. Allah Swt. tak membebani manusia dgn perintah-perintah dan larangan yg berada di luar batas kemanusiaan.<>Disamping itu agama Islam memiliki dua watak dan sifat yg kontradiktif, di satu pihak ia tetap dan permanen (ats-Tsabat waal-khulud), tetapi pada sisi lain sekaligus berkarakter dapat berkembang dan berubah (at-tathawwur) sesuai dgn perubahan situasi dan kondisi tempat ajaran serta hukum itu siterapkan.

Adanya aspek-aspek hukum yg berubah dan berkembang menjadikannya senantiasa elastis dan fleksibel. Kedua karekter inilah yg menyebabkan Islam dapat bertahan sepanjang masa serta berkemampuan memberikan solusi terhadap berbagai permasalahan umat manusia yg cendrung semakin kompleks.

Kemudahan dan elastisitas hukum Islam dapat kita lihat umpanya dgn adanya kaidah fiqih yg sangat populer ”al-masyaaqqatu tajilibut taisir”, artinya, kesulitan menarik timbulnya kemudahan. Kaidah tersabut digali dan di formulasikan para Fuqoha dari beberapa ayat dan hadis. Di antanya firman Allah Swt. Dalam surat Al-Baqarah ayat 185 berikut ini:

يريد الله بكم اليسر ولايريد بكم العسر

Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tiada menghendaki kesulitan” (QS. Al-Baqarah: 185)

Dalam satu hadis, beliau bersabda:

يسروا ولاتعسروا

Artinya: “Permudahlah, dan jangan kalian mempersulit” (HR. Bukhari)

Beliau menyuruh memilih antara dua perkara, yakni memilih lebih mudah. Kemudian yg timbul sebab kesulitan dan kesukaran dalam penerapan hukum mengejawentah bentuk keringanan-karinganan (takhfif) dan dispensasasi-dispensi (rukhsah).

Faktor atau sebab-sebab yg  dapat menimbulkan dipensasi, dan biasa disebut asbab at-atkhfif, ada tujuh yakni: as-safar (bepergian), almaradh (sakit), al-ikrah (dipaksa), an-nisyan (lupa), al-jahl (ketaktahuan atau ketak sengajaan), al-usr wa umumul balwa (sulit dihindari), an-naqsh (kurang sempurna).

Sebagai contoh, dalam keadaan normal dan sehat serta tak bepergian seorang diwajibkan menunaikan shalat jumat. Tetapi bila sedang sakit atau dalam perjalanan dia diperbolehkan meninggalkan shalat jumat tersebut dan mengganti dgn shalat Zhuhur.

Contoh lain,bila ada seseorang dgn sengaja minum-minuman yg memabukkan apaun jenisnya, wajib dikenakan hukuman had, dicambuk 40 (empat puluh) kali. Ia juga berdosa sebab telah melakukan perbuatan yg termasuk kategori dosa besar (al-kabair). Lain lagi kalau seseorang tak tahu yg diminum itu memabukkan, dia mengira air putih atau sirup umpanya, maka dia tak berdosa dan terbebas dari ancaman hukuman (had).

Contoh terakhir diterangkan Imam Suyuti dalam kitabnya yg mengupas tentang kaidah-kaidah fiqih yg diberi nama Al-Asybah wan Nazhair. Yaitu memakan makanan yg diharamkan tanpa disengaja yg timbul sebab ketak-tahuan (al-jahl).

Karena ketaktahuan dan ketaksengajaan, maka yg memakannya tak terkena hukuman dosa. Kesalahan semacam itu tak mengurangi kualitas iman dan ketaqwaan seseorang. Hanya kesalahan dan pelanggaran yg dilakukan dgn sengaja dan penuh kesadaranlah yg mengakibatkan dosa dan barbagai konsekuensi negatifnya.

Manusia bagaimanapun pintar dan hebatnya, tak mungkin terbebas sama sekali dari kesalahan yg terjadi sebab lupa, ketaktauhan dan ketak sengajaan, meski dia telah berusaha secermat dan seteliti mungkin. Lupa dan salah tampaknya inheren dgn diri manusia. Bukankah Rasulullah Saw. Pernah bersabda:
Artinya: “Manusia itu tempatnya salah dan lupa”

Namun hal itu bukan berarti melegitimasi kesalahan dan bukan pula manusia itu selalu salah. Beliau hanya berpesan, manusia punya potensi melakukan kesalahan dan tak dapat terbebas darinya. Manusia tempatnya lupa tak berarti dia tak punya daya ingat.

Hal itu jelas berlawanan dgn kenyataan dalam kehidupan sehari-hari. Sering kita jumpai orang yg mampu menghafal berbagai buku yg berisi teori-teori ilmu pengetahuan. Menurut ahli psikologi, manusia mampu menghafal milyaran kata. Diantara ulama terdahulu, kita mengenal umpanya Imam Syafi’i yg menghafal dan coretan pelajaran yg di peroleh dari para gurunya, gara-gara kamarnya telah tak muat lagi. Juga Imam Ibn Taimiyah yg konon hafal semua hadis sehingga kalau ada hadis yg tak diketahuinya, perlu dipertimbangkan keasliannya.

Hadis terebut hanya bermaksud memberitahukan bahwa manusia berpotensi buat lupa sebab proses ketuaan, terlalu banyaknya informasi, atau kesibukan-kesibukan yg mengakibatkannya tak dapat berkonsentrasi penuh. Oleh sebab itu Rasulullah Saw. Bersabda, yg artinya: “Sesungguhnya Allah mengampuni (dosa atau kesalahan) umatku yg timbul sebab tiga hal: ketak sengajaan (al-khatha’), lupa dan keterpaksaan.”

Hadis tersebut menegaskan bahwasanya ampunan diberikan atas kesalahan-kesalahan yg  tak sengaja, lupa dan terpaksa. Sebab hal itu diluar batas kemampuan manusia.
Berpijak dari potensi salah dan lupa manusia, dalam Al-Quran Allah  Swt. Memerintahkan buat bermusyawarah, saling berwasiat, saling mengingatkan dgn jalan amarma’ruf nahi munkar. Semua itu meski tak memustahilkan terjadinya kesalahan, paling tak meminimalisir sekecil mungkin, disamping tentunya kehati-hatian, kecermatan dan ketelitian,  serta menjadikan peristiwa yg lampau sebagai wahana berikhtiar. Orang Islam tak boleh jatuh kelubang yg sama utuk kali yg kedua.

KH.MA. Sahal Mahfudh. Dialaog Problematika Umat. Surabaya: Khalista & LTN PBNU





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.