Hukum Mengalihkan Utang Pembeli ke Aplikasi Pinjaman Berbunga

Tulisan kali ini berkaitan dgn suatu permasalahan seorang pemilik toko tentang salah satu aktivitas yg pernah ia lakukan. Permasalahan tersebut bermula dari ada pembeli yg melakukan transaksi pembelian barang dgn partai besar. Karena ia tak punya uang kontan buat melakukan pembayaran, pemilik toko menalanginya dgn mengakses salah satu aplikasi yg menyediakan basis pembiayaan kredit. Sebut misalnya, aplikasi H Credit!

 

Dari aplikasi ini, pihak pemilik toko mendapatkan uang kontan sebesar biaya yg dibutuhkan oleh pembeli. Selanjutnya, pihak pembeli membayar harga tersebut dgn jalan mencicil ke platform aplikasi H Credit, yg telah barang tentu dalam cicilannya itu, ada bunga pinjaman yg disertakan dgn besaran tertentu. Nah, bolehkah pihak toko melakukan pola transaksi yg demikian?

 

Secara ringkas, akad yg terlibat di dalam kasus di atas, dapat dipetakan sebagai berikut:

  1. Akad antara pembeli dan pemilik toko ialah akad jual beli
  2. Akad antara pemilik toko dgn aplikasi H Credit ialah akad utang-piutang dgn syarat pengembalian lebih
  3. Akad antara pembeli dan aplikasi H Credit ialah akad jual beli utang dgn utang yg tak sepadan, sehingga berujung pada terjadinya riba qardli

 

Akad antara Pembeli dan Pemilik Toko

Tidak diragukan lagi bahwa akad pembeli dan pemilik toko di atas ialah termasuk akad jual beli. Seiring harga belum diserahkan di majelis akad, maka akad tersebut ialah termasuk akad jual beli tempo (bai’ muajjalan). Bila tenor pelunasan diketahui secara pasti, dan harga telah dipatok secara pasti oleh pemilik toko, maka akad itu termasuk akad jual beli kredit (bai’ bi al-taqshith).

 

Dua praktik akad jual beli ini hukumnya boleh di dalam Islam, dgn catatan harga telah diketahui secara pasti saat di majelis akad sebelum berpisah majelis. Apabila hal itu termasuk jual beli kredit, maka harga hingga tutup pelunasan, telah disepakati di awal saat di majelis transaksi. Misalnya, harga kesepakatan ialah 12 juta yg diangsur selama 12 bulan.

 

Jika terjadi keterlambatan pembayaran hingga 12 bulan, maka harga tersebut tak boleh lebih dari 12 juta rupiah. Bila terjadi pertambahan harga setelah 12 bulan, maka tak diragukan lagi bahwa praktik ini termasuk praktik riba nasiah (riba kredit).

 

Akad antara Pemilik Toko dan Aplikasi Pembiayaan H Credit

Umumnya, pihak pemilik toko mengajukan pembiayaan ke finance (H Credit) ialah didasarkan pada harga kontan. Suatu misal, harga kontan itu 10 juta, dan harga kredit barang ialah 12 juta rupiah. Nah, pemilik toko umumnya mengajukan sebesar 10 juta rupiah. Selisih 2 juta rupiah ialah disampaikan sebagai ruang bagi finance buat mencari keuntungan dari transaksi yg dilakukan antara pembeli dan pemilik toko, yg seharusnya dilakukan secara kredit.

 

Saygnya, keuntungan finance ini ialah diperoleh dari akad meminjami (qardl) pihak pemilik toko. Alhasil, bila dari pinjaman itu terdapat sebuah bunga, maka bunga tersebut memenuhi unsur qardlu jara naf’an li al-muqridl, yaitu utang menarik kemanfaatan bagi pihak yg meminjami. Hukumnya ialah haram secara syara’.

 

Akad antara Pembeli dgn Lembaga Pembiayaan

Akad antara pembeli dgn lembaga pembiayaan pada dasarnya merupakan akad pengalihan utang, yg asalnya ialah utang pemilik toko ke finance, berubah menjadi utang pembeli ke finance. Akad semacam ini dikenal juga dgn istilah akad hawalah, atau akad bai al-dain bi al-dain, atau bai’ ma fi al-dzimmah bi ma fi al-dzimmah. Apakah syariat membolehkan? Jawabnya ialah boleh sebab adanya hajat kebutuhan dgn catatan hutang itu bersifat mustaqirrah (yaitu: telah terjadi sebelum akad). Bila hutang itu belum terjadi saat akad pengalihan itu berlangsung, maka akadnya berubah menjadi akad dlaman (jaminan utang).

 

Namun, praktik bai’ al-dain bi al-dain (hawalah) ini hukumnya ialah boleh dgn adanya sejumlah catatan, yaitu adanya kesamaan dalam hal: 1) jumlah, 2) masa jatuh tempo, 3) tenor waktu pelunasan. Ketiadaan kesamaan di salah satunya, khususnya dalam jumlah utang, dapat menarik pada terbitnya akad jual beli utang dgn utang yg dilarang, disebabkan adanya kelebihan di salah satu utang yg ditanggung. Kelebihan ini merupakan ciri khas dari riba, sehingga haram.

 

Apakah ada Solusi Penyelesaian?

Solusi bagi bolehnya penggunaan pihak ketiga yg menengahi terjadinya praktik di atas ialah terfokus pada kesamaan (1) jumlah/volume utang, (2) masa jatuh tempo, dan (3) tenor waktu pelunasan. Apakah ketiga hal ini memungkinkan buat terjadi?

 

Ada satu kemungkinan yg dapat dilakukan dari praktik tersebut, yaitu lewat mekanisme jual beli antara pemilik toko dgn finance (H Credit), antara lain sebagai berikut:

 

Pertama, pembeli mendata semua barang yg dibutuhkan, kemudian data itu diserahkan kepada pemilik toko.

 

Kedua, selanjutnya pemilik toko menghitung harga seluruh barang yg dibutuhkan itu dan ditunjukkan kepada pembeli dalam bentuk harga kes/kontan. Selanjutnya, pihak pemilik toko menyampaikan kepada pembeli, bahwa bila ia menghendaki pembelian secara kredit, maka ia harus menghubungi pihak finance yg sanggup menalanginya. Yang dibutuhkan oleh pemilik toko ialah harga kontan.

 

Ketiga, pihak pembeli selanjutnya menghubungi pihak finance guna menyampaikan maksudnya mendapatkan barang yg dibutuhkannya tersebut.

 

Keempat, pihak finance selanjutnya membeli seluruh kebutuhan yg diperlukan oleh pembeli. Akad yg dipergunakan ialah akad bai’ li al-amiri bi al-syira’ (jual beli barang yg disertai janji harus dibeli oleh pemesannya), yg pada dasarnya ialah masuk rumpun bai’ bi al-wa’di (jual beli disertai dgn janji). Di dalam mazhab Syafi’i, akad ini dapat dimasukkan dalam rumpun bai’ syaiin maushuf fi al-dzimmah (jual beli barang yg dapat disifati) dan sering dipergunakan dalam solusi akad dropship.

 

Setelah barang itu ada dalam kekuasaan finance, terjadi akad baru jual beli kredit antara finance dgn pembeli. Nah, inilah kendalanya bila akad tersebut dilakukan lewat aplikasi, sebab tak dapat dilakukan negosiasi/akad baru sebagai penanda pisahnya akad-akad sebelumnya, yaitu antara akad pembeli dan pemilik toko, pemilik toko dan finance dan akad finance dgn pembeli. Alhasil, tak ada solusi bagi permasalahan di atas, sehingga bila pihak yg mengakses aplikasi tersebut ialah pembeli, maka masih masuk rumpun akad utang piutang (qardl). Alhasil, bila ada syarat tambahan yg melebihi pokok utang, maka tambahan tersebut memenuhi unsur riba.

 

Bagaimana bila yg mengakses aplikasi itu ialah pihak pemilik toko?

Jika yg mengakses aplikasi pembiayaan itu ialah pemilik toko, maka telah terjadi praktik bai’ al-dain bi al-dain (jual beli utang dgn utang) yg tak memenuhi syarat kesamaan volume harga, waktu penundaan, dan lamanya angsuran. Alhasil, terjadi praktik jual beli utang dgn utang yg dilarang. Wallahu a’lam bish shawab.

 

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Biidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.