Barangkali kita sering mendengar dari para dai, mubalig, penceramah, dan lain sebagainya yg menyampaikan bahwa ketika kita wafat dan meninggalkan dunia ini, tak ada harta sekecil apapun yg dapat dibawa ke akhirat. Mungkin harta tersebut dapat dimasukkan ke dalam kuburan, namun tak ke alam selanjutnya.
Berbicara mengenai alam akhirat pasca kematian, ia ialah sesi final dari perjalanan hidup seorang manusia, apakah yg menyambutnya nanti malaikat penjaga pintu surga atau, na’uzubillah, penjaga pintu neraka. Tidak ada yg tahu mengenai hasil akhirnya kecuali Allah Swt. Kita hanya diperintahkan buat sebanyak-banyaknya beramal ketika di dunia, khususnya ialah salat yg kelak dihisab pertama kali di akhirat, sebagaimana sabda Nabi:
إنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلاَتُهُ
Artinya, “Sungguh amalan pertama yg dihisab pada hari kiamat nanti ialah salat”. (HR. Tirmidzi).
Hadits di atas jelas sekali menegaskan bahwa salat ialah amalan pertama yg dihitung di akhirat. Setelah salat, ada beberapa amalan lain yg sangat sentral, yaitu zakat, puasa, naik haji dan ibadah-ibadah sunah baik bersifat individual maupun sosial.
Namun, ada satu bekal akhirat yg sangat penting bagi setiap muslim, ia terlihat remeh dan kasat mata, namun menjadi kunci keselamatan di akhirat nanti. Dia ialah hati yg bersih atau selamat, yg dalam bahasa Al-Quran biasanya disebut Qalbun Salȋm atau dalam hadits Nabi disebut dgn Salȃmatus Shadr, keduanya memiliki makna yg sama.
Mengenai hati yg bersih, Allah menyebutkan kata qalbun salim dalam Al-Quran surah al-Syu’ara:
وَلَا تُخْزِنِي يَوْمَ يُبْعَثُونَ … يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ … إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
Artinya, “(Janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, yaitu di hari harta dan anak-anak laki-laki tak berguna (hari kiamat), kecuali orang-orang yg menghadap Allah dgn hati yg bersih).” (Al-Syu’ara: 87-89).
Ayat di atas berlatar belakang tentang doa Nabi Ibrahim AS supaya kelak di hari kiamat tak dihinakan. Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam karyanya At-Tafsir al-Munir menyebutkan makna kata qalbun salim dalam ayat tersebut:
اَلْمُرَادُ بِالْقَلْبِ السَّلِيْمِ: هُوَ الْخَالِي مِنَ الْعَقَائِدِ الْفَاسِدَةِ وَالأَخْلَاقِ الْمَرْذُوْلَةِ وَالْمَيْلِ إِلَى الْمَعَاصِي، وَعَلَى رَأْسِهَا الْكُفْرُ وَالشِّرْكُ وَالنِّفَاقُ
Artinya, “Yang dimaksud ‘qalbun salim’ ialah hati yg bersih dari akidah yg rusak, akhlak tercela dan kecenderungan melakukan maksiat, yg puncaknya ialah kufur, syirik dan nifak. (Syekh Wahbah al-Zuhaili, At-Tafsir al-Munir, Beirut: Dar el-Fikr, 1418, juz 19, hlm. 174)
Syekh Wahbah menjelaskan hati yg bersih, tak lain ialah bersih dari penyakit-penyakit hati yg disebutkan di atas, dan kekufuran, kemunafikan, juga syirik ialah penyakit hati yg paling parah. Sa’id al-Musayyib menjelaskan perihal qalbun salim, perkataan ini dikutip Syekh Wahbah dalam tafsirnya”
وَقَالَ سَعِيْدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ رَحِمَهُ اللّهُ: اَلْقَلْبُ السَّلِيْمُ: هُوَ الْقَلْبُ الصَّحِيْحُ وَهُوَ قَلْبُ الْمُؤْمِنِ لِأَنَّ قَلْبَ الْكَافِرِ وَالْمُنَافِقِ مَرِيْضٌ، قَالَ اللّهُ تَعَالَى: فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ
Artinya, “Sa’id bin al-Musayyib rahimahullah menyebutkan, qalbun salim ialah hati yg sehat, yaitu hati seorang mukmin, sebab hati orang kafir dan munafik itu sakit, Allah Ta’ala berfirman: “Dalam hati mereka terdapat penyakit,” (Surat Al-Baqarah: 10). (Syekh Wahbah al-Zuhaili, At-Tafsir al-Munir, juz 19, halaman 174).
Beberapa tafsir menyebutkan hal yg sama, yaitu bersihnya hati dari kekufuran dan kemunafikan, pun demikian dgn Tafsir Al-Misbah karya Pak Quraish Shihab, “Kecuali bagi mereka yg beriman dan mengharap Allah dgn jiwa yg bersih dari kekufuran, kemunafikan dan sikap pamer”.
Mengenai kebersihan hati, terdapat kisah dalam hadis Nabi mengenai seorang sahabat yg masuk surga sebab kebersihan hati. Hadis ini terdapat dalam beberapa kitab hadis seperti al-Muwattha, Musnad Ahmad, Sunan al-Nasa’i dan lain-lain. Dalam Sunan An-Nasa’i kisah ini diriwayatkan oleh Anas bin Malik sebagai sahabat yg menyaksikan langsung peristiwa tersebut.
Suatu hari, Anas bin Malik bersama sahabat lainnya sedang duduk berbincang bersama Rasulullah saw. Tiba-tiba Rasulullah saw. berkata, “Sebentar lagi mau datang seorang ahli surga”. Kemudian muncullah seorang dari kalangan Anshar, di jenggotnya tampak tetesan bekas air wudunya, sendalnya ia tenteng di tangan kirinya.
Keesokan harinya, Rasulullah saw. menyebutkan hal yg sama, dan laki-laki dari Anshar itu pun datang dgn kondisi yg sama sebagaimana hari pertama Rasulullah mengatakannya. Hingga keesokan harinya pun sama, Rasulullah menyebut-nyebut ahli surga itu kepada para sahabatnya.
Tatkala Rasulullah saw. pergi, Abdullah bin ‘Amru bin al-‘Ash yg mengetahui perihal tersebut dan mengikuti perbincangannya pergi mengikuti orang Anshar tersebut.
“Aku sedang mengalami hubungan yg tak baik dgn ayahku, lalu aku pun bersumpah buat tak menginap di rumahnya tiga malam, aku berpikir buat menginap saja di rumahmu hingga habis masa sumpahku,” ujar Abdullah kepada orang Anshar tersebut.
“Ya, silakan” ujarnya
Anas bin Malik menceritakan, “Abdullah bin ‘Amru bin al-‘Ash ketika itu menginap di rumah orang Anshar yg disebut Nabi sebagai ahli surga. Selama itu, Abdullah tak sama sekali melihatnya bangun malam buat beribadah kecuali setiap malam menjelang waktu tidurnya, ia berzikir menyebut Allah dan mengucapkan takbir hingga menjelang subuh ia berwudu. Selain itu,” kata Abdullah, “Aku tak mendengar ia berkata-kata kecuali hal-hal yg baik”.
Selang tiga malam, hampir saja Abdullah menganggap remeh amalan orang Anshar itu, “Wahai engkau, sungguh aku dan ayahku sebenarnya tak memiliki masalah dan aku pun tak melakukan sumpah sebagaimana yg aku ceritakan kepadamu itu. Hanya saja, aku mendengar Rasulullah saw. menyebutkan, ‘Akan datang seorang ahli surga’, dan ketika itu pun engkau datang, hal itu beliau ulang sebanyak tiga kali di tiga pertemuan, dan selalu saja engkau yg muncul ketika Rasulullah berkata demikian.”
“Saat tahu bahwa engkau ialah seorang ahli surga, aku penasaran, akun pun berinisiatif buat menginap di rumahmu, mau tahu apa sebenarnya amalan yg engkau kerjakan sehingga menjadikanmu ahli surga. Akan tetapi, aku sama sekali tak melihatmu melakukan amalan yg besar. Jadi, apa sebenarnya yg menjadikanmu ahli surga hingga Rasulullah saw. langsung menceritakannya kepada para sahabat?” ujar Abdullah sambil bertanya.
“Tidaklah yg aku lakukan kecuali apa yg engkau lihat”. jawab lelaki Anshar itu dgn singkat.
Abdullah bin ‘Amru bin al-‘Ash pun pamit buat pulang. Tak lama beberapa langkah dari rumahnya, lelaki Anshar memanggilnya kembali, ia menegaskan,
“Wahai Abdullah, tak ada ibadah yg aku lakukan kecuali apa yg telah engkau lihat, hanya saja aku tak mendapati dalam diriku dendam dan kedengkian terhadap seorang pun dari kaum muslimin, aku tak menyimpan hasad atas apa yg telah dikaruniai Allah kepada mereka”.
Abdullah bin ‘Amru berkata, “Ternyata inilah amalan yg membuatmu mencapai derajat ahli surga! Itulah amalan yg berat bagi kami”.
Dari kisah ini, terdapat pelajaran berharga, yaitu kebersihan hati ialah bagian dari kunci surga. Ia menghantarkan sang pemilik hati menuju ke haribaan Allah dgn tenang dan selamat. Dalam riwayat lain yg serupa, dinukil dari Kitab Jȃmi al-‘Ulȗm wa al-Hikam disebutkan:
رَوَى أَسَدُ بْنُ مُوْسَى، حَدَّثَنَا أَبُو مَعْشَر عَنْ مٌحَمَّدِ بْنِ كَعْبٍ قَالَ: «قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَوَّلُ مَنْ يَدْخُلُ عَلَيْكُمْ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَدَخَلَ عَبْدُ اللهِ بْنِ سَلَام، فَقَامَ إِلَيْهِ نَاسٌ، فَأَخْبَرُوْهُ، وَقَالُوا: أَخْبِرْنَا بِأَوْثَقِ عَمَلِكَ فِي نَفْسِكَ، قَالَ: إِنَّ عَمَلِي لَضَعِيْفٌ، وَأَوْثَقُ مَا أَرْجُو بِهِ سَلَامَةَ الصَّدْرِ، وَتَرْكِي مَا لَا يَعْنِيْنِي»
Artinya, “Asad bin Musa meriwayatkan: Abu Ma’syar telah mengabarkan kami dari Muhammad bin Ka’ab, ia berkata: Rasulullah saw. menyebutkan: “Orang pertama yg mendatangi kalian itu ialah seorang ahli surga”. Kemudian datanglah Abdullah bin Salam. Orang-orang yg ada ketika itu pun berdiri menyambutnya, mereka mengabarkan pada Abdullah bin Salam bahwa ia ialah ahli surga. Mereka berkata pada Abdullah, “Beri tahu kami tentang amalanmu yg paling utama!”. Abdullah bin Salam menjawab, “Sungguh! Amalanku sangat lemah. Aku hanya mengandalkan kebersihan hati [dari penyakit hati] dan meninggalkan sesuatu yg tak bermanfaat bagiku”. (Imam Ibn Rajab al-Hanbali, Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, Beirut: Muassasah al-Risalah, 2001/1422, juz 1, hlm. 294)
Ayat dan hadis di atas mengingatkan kita kembali, bahwa selain amalan wajib dan sunah yg kita lakukan setiap hari, ada amalan lain yg lebih penting, yaitu menjaga kebersihan hati kita. Kebersihan hati ialah sesuatu yg semestinya ada dalam diri seorang muslim, bahkan setiap orang di muka bumi.
Dari bersihnya hati, mau ada perkataan yg baik, sopan, ramah dan jauh dari menyakiti dan mencela orang lain. Tidak ada lagi sifat iri, dengki, benci dan dendam kepada orang lain. Kebersihan hati mau berpengaruh pada lisan. Sebab lisan ialah cerminan dari hati. Jika hatinya kotor, tidaklah yg keluar dari lisannya kecuali sesuatu yg buruk.
Begitu pula, bersihnya hati mau menimbulkan perilaku dan etika yg baik. Dengan demikian, selain menjadikan seseorang sebagai hamba Allah yg mulia, kebersihan hati juga turut berperan dalam menjaga kedamaian sosial di tengah masyarakat, bahkan kedamaian alam semesta dan penghuninya. Wallahu a’lam.
Ustadz Amien Nurhakim, pegiat kajian hadits di Ciputat.