Kedudukan Ilmu Hakikat Tanpa Bersyariat dalam Kajian Tasawuf

Seringkali kita mendengar pemisahan pelaksanaan syariat, tarekat, dan hakikat dalam tingkatan tertentu. Kalimat “menyesatkan” yg sering kita dengar dari orang awam ialah kebebasan dari ketentuan syariat bagi mereka yg telah sampai pada maqam atau derajat hakikat.

Orang yg telah menjadi wali, mencapai derajat makrifatullah, atau perjalanan spiritual telah sampai pada Allah, dalam kalimat menyesatkan, terbebas dari ibadah wajib yg diharuskan syariat dan dari maksiat yg dilarang oleh ketentuan syariat. Seakan syariat dan hakikat ialah dua hal terpisah.

Syekh Zainuddin bin Ali Al-Malibari mengatakan, “Wa kadzāt tharīqah wal haqīqah yā akhī*min ghairi fi’li syarī’atin lan tahshulā,” atau “Demikian juga dgn tarekat dan hakikat wahai saudara tanpa pengamalan syariat tak mau hasil.”

Sayyid Bakri dalam Kitab Kifayatul Atqiya wa Minhajul Ashfiya menjelaskan bahwa umat Islam tak boleh terkecoh dgn kalimat “menyesatkan” yg menganjurkan buat meninggalkan syariat bagi mereka yg telah sampai pada derajat hakikat.

والمعنى أن الطريقة والحقيقة كلاهما متوقف على الشريعة فلا يستقيمان ولا يحصلان إلا بها فالمؤمن وإن علت درجته وارتفعت منزلته وصار من جملة الأولياء لا تسقط عنه العبادات المفروضة في القرآن والسنة 

Artinya, “Maknanya, tarekat dan hakikat bergantung pada (pengamalan) syariat. Keduanya takkan tegak dan hasil tanpa syariat. Sekalipun derajat dan kedudukan seseorang telah mencapai level yg sangat tinggi dan ia termasuk salah satu wali Allah, ibadah yg wajib sebagaimana diamanahkan dalam Al-Qur’an dan sunnah tak gugur darinya,” (Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, Kifayatul Atqiya wa Minhajul Ashfiya, [Indonesia, Al-Haramain Jaya: tanpa tahun], halaman 12).

Sayyid Bakri mencontohkan ibadah tahajud Rasulullah SAW pada suatu malam sehingga kedua kakinya memar sebab aktivitas shalat malamnya semalam sbuat. Ketika ditanya, “Bukankah Allah telah mengampuni dosamu yg lalu dan mendatang?” Rasulullah menjawab, “Apakah aku tak boleh menjadi hamba yg bersyukur?”

Sayyid Bakri menyatakan bahwa pandangan yg mengutamakan hakikat tanpa pelaksanaan syariat merupakan pemahaman yg keliru. Pasalnya, ketentuan syariat tak pernah gugur meski dari mereka yg berkedudukan sebagai nabi sekalipun.

ومن زعم أن من صار وليا ووصل إلى الحقيقة سقطت عنه الشريعة فهو ضال مضل ملحد ولم تسقط العبادات عن الأنبياء فضلا عن الأولياء

Artinya, “Siapa saja yg mengira bahwa orang yg telah menjadi wali dan sampai ke level hakikat, ketentuan syariat telah gugur darinya, maka ia ialah orang yg sesat, menyesatkan, dan ingkar-menyimpang. Ibadah wajib tak pernah gugur dari para nabi, terlebih lagi dari para wali Allah,” (Sayyid Bakri: 12).

Sayyid Bakri menyebutkan bahwa pelaksanaan syariat bukan menunjukkan kerendahan martabat seseorang di mata Allah. Pengamalan syariat bukan penanda bahwa seseorang belum sampai pada derajat hakikat. Pengamalan syariat merupakan bukti nyata kehambaan dan rasa syukur para kekasih Allah baik para nabi maupun para wali.

وذلك لأن العبادة وجوبها لحق العبودية ولحق شكر النعمة والولي بالولاية لا يخرج عن حد العبودية ولا عن كونه منعما عليه

Artinya, “Kewajiban ibadah berlaku buat memenuhi hak kehambaan dan hak syukur atas nikmat. Para wali dgn derajat kewalian mereka tak pernah keluar dari batas kehambaan dan pihak yg menerima nikmat Allah,” (Sayyid Bakri: 12).

Oleh sebabnya, kita tak perlu mendudukkan persoalan secara jelas supaya kita tak merendahkan orang-orang yg masih mengamalkan syariat sebab itu bukan ukuran seseorang telah atau belum mencapai derajat hakikat atau makrifatullah.

Hal ini penting dijelaskan supaya kita tak suuzhan atau bahkan merendahkan orang-orang yg mengamalkan syariat atau mempelajari syariat melalui kajian fiqih, ushul fiqih, tarikh tasyri, ta’lilul ahkam, dan disiplin ilmu syariat lainnya. wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.