Kesederhanaan Istri Umar bin Abdul Aziz

Fatimah sangat terkejut ketika mendengar berita bahwa telah diangkat khalifah baru, Umar bin Abdul Azis yg tak lain ialah suaminya sendiri. Namun ia lebih terkejut ketika tahu kalau Sang Raja baru dikabarkan menolak segala fasilitas istana.<>

Umar bin Abdul Aziz memilih menunggang keledai buat kendaraan sehari-hari, membatalkan acara pelantikan dirinya sebagai khalifah yg mau diadakan besar-besaran dan penuh kemewahan. 

Sungguh Fatimah heran dan tak percaya mendengar berita tersebut sebab ia sangat mengenal siapa suaminya. Sosok yg sangat identik dgn kemewahan hidup mengapa secara tiba-tiba ia hendak berpaling dari kemewahan, padahal tampuk kekuasaan kaum muslimin baru saja di anugerahkan kepadanya?

Keterkejutannya semakin bertambah tatkala melihat suaminya pulang dari dari kota Damaskus, tempat ia dilantik sebagai khalifah umat islam. Suaminya terlihat lebih tua tiga tahun dibandungkan tiga hari yg lalu tatkala ia berangkat ke kota Damaskus. Wajahnya terlihat sangat letih, tubuhnya gemetaran dan layu sebab menanggung beban yg teramat berat.

Dengan suara lirih Umar bin Abdul Aziz berkata dgn lembut dan penuh kasih-sayg kepada sang isteri tercinta, “Fatimah, isteriku…! Bukankah engkau telah tahu apa yg menimpaku? Beban yg teramat dipikulkan kepundakku, menjadi nakhoda bahtera yg dipenuhi, ditumpangi oleh umat Muhammad SAW. Tugas ini benar-benar menyita waktuku hingga hakku  terhadapmu mau terabaikan. Aku khawatir kelak engkau mau meninggalkanku apabila aku mau menjalani hidupku yg baru, padahal aku tak mau berpisah dgnmu hingga ajal menjemputku.”

“Lalu, apa yg mau engkau lakukan sekarang?” tanya Fatimah.

“Fatimah…! engkau tahu bukan, bahwa semua harta, fasilitas yg ada ditangan kita berasal dari umat Islam, aku mau mengembalikan harta tersebut ke baitul mal, tanpa tersisa sedikitpun kecuali sebidang tanah yg kubeli dari hasil gajiku sebagai pegawai, disebidang tanah itu kelak mau kita bangun tempat berteduh kita dan aku hidup dari sebidang tanah tersebut. Maka bila engkau tak sanggup dan tak sabar terhadap rencana perjalanan hidupku yg mau penuh kekurangan dan penderitaan maka berterus-teranglah, dan sebaiknya engkau kembali ke orang tuamu!” jawab Umar bin Abdul Aziz.

Fatimah kembali bertanya,”Ya suamiku…apa yg sebenarnya membuat engkau berubah sedemikian rupa?” 

“Aku memiliki jiwa yg tak pernah puas, setiap yg kumaukan selalu dapat kucapai, tetapi aku mengmaukan sesuatu yg lebih baik lagi yg tak ternilai dgn apapun juga yakni surga, surga ialah impian terakhirku,” jawab Umar bin Abdul Aziz lagi.

Aneh. Fatimah yg notabene merupakan wanita yg terbiasa hidup mewah, dgn fasilitas yg disediakan dan pelayanan yg super maksimal, tak kecewa mendengar keputusan suaminya ia. Ia tak menunjukan kekesalan dan keputus asaan. Justeru dgn suara yg tegar, mantap ia menegaskan, “Suamiku…! Lakukanlah yg menjadi kemauanmu dan aku mau setia disisimu baik dikala susah atau senang hinga maut memisahkan kita.”

Fatimah merupakan satu-satunya anak perempuan dari lima bersaudara putra khalifah daulah Abbasyiah yg bernama Abdul Malik bin Marwan. Layaknya putri raja, fatimah pun mendapatkan kehormatan dan segala fasilitas yg mewah, hidup dgn penuh kasih sayg dan dimanja oleh kedua orang tuanya dan saudara-saudaranya. Kebahagiannya menjadi sempurna dgn dipersunting oleh seorang lelaki yg terbaik pada zamannya, dari keluarga yg terhormat yg bernama Umar bin Abdul Aziz, yg hidup penuh dgn keglamoran dan kemewahan meskipun demikian ia merupakan sosok yg relegius dan sangat amanah. 

Fatimah yg agung itu menjadi pendukung pertama gerakan perubahan yg mau dilakukan oleh suaminya yakni gerakan kesederhanan para pemimpin dalam kehidupan, demi bakti dan keridaan sang suami yg tercinta. Ia rela meninggalkan kemewahan hidup yg selama ini dinikmatinya, semuanya dilakukan dgn penuh kesadaran, keikhlasan atas pondasi keimanan yg kuat.

Di rumahnya yg baru, Fatimah hidup dgn penuh kesederhanaan. Pakaian yg dikenakan, makanan yg disantap tanpa ada kemewahan dan kelezatan semuanya tak jauh dgn rakyat biasa padahal status yg mereka sandang ialah raja dan ratu seluruh umat Islam masa itu.

Begitu sederhananya konsep kehidupan yg mereka terapkan, orang yg belum mengenal tak menygka bahwa mereka ialah pasangan penguasa umat islam kala itu. Diceritakan, suatu hari datanglah wanita Mesir buat menemui khalifah di rumahnya. Sesampai di rumah yg ditunjukkan, ia melihat seorang wanita yg cantik dgn pakaian yg sederhana sedang memperhatikan seseorang yg sedang memperbaiki pagar rumah yg  dalam kondisi rusak.

Setelah berkenalan si wanita Mesir baru sadar bahwa wanita tersebut ialah Fatimah, isteri sang Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz. Tamu itu pun menanyakan sesuatu hal, “Ya Sayyidati…, mengapa engkau tak menutup auratmu dari orang yg sedang memperbaiki pagar rumah engkau?” Seraya tersenyum Fatimah menjawab, “Dia ialah amirul mukminin Umar bin Abdul Aziz yg sedang engkau cari.

Hairuni
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Fakultas Ushuluddin, Prodi Tafsir Hadits. (Red: Anam)





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.