Ketika Imam Abu Hanifah Menagih Utang Orang Majusi

Dikisahkan, suatu ketika Abu Hanifah an-Nu’man, pendiri madzhab Hanafi, mendatangi rumah seseorang yg beragama Majusi buat menagih utang. Orang Majusi itu memang memiliki tanggungan utang kepada Abu Hanifah.

Sesampainya di depan rumah si Majusi, tiba-tiba sandal Abu Hanifah tertimpa najis. Abu Hanifah secara spontan mengibaskan sandalnya dan tak sengaja najisnya justru mengenai tembok rumah orang Majusi.

Situasi ini membuat Abu Hanifah pusing bukan main. Beliau berpikir bahwa bila najis di tembok tersebut dibiarkan, maka jelas mau merusak pemandangan rumah si Majusi. Bila kotoran dihilangkan, beliau khawatir tembok tersebut mau rusak akibat terkena kontak fisik saat prosesi penghilangan najis.

Abu Hanifah belum dapat memutuskan langkah terbaik. Beliau bergegas mengetuk pintu rumah orang Majusi itu buat menyelesaikan persoalan tersebut.

Setelah pembantu orang Majusi membukakan pintu, Abu Hanifah berpesan kepadanya supaya segera menyampaikan kepada mabilannya bahwa beliau telah menunggu di depan pintu.

Saat menemui Abu Hanifah, si Majusi berasumsi mau ditagih dan dituntut sedemikian rupa. Ia menyampaikan permohonan maafnya kepada Abu Hanifah belum dapat melunasi utangnya sebab beberapa alasan. Padahal, Abu Hanifah belum mengatakan satu kalimat pun.

“Mohon maaf tuan Abu Hanifah, aku belum dapat membayar utangku,” terang orang Majusi kepada Abu Hanifah yg disusul dgn beberapa alasan ketaksanggupannya melunasi utang.

Saat si Majusi berharap-harap cemas menunggu respon Abu Hanifah, jawaban yg keluar justru jauh di luar dugaannya.

“Oh tak. Bukan itu maksud saya. Ada urusan yg lebih penting dari sekadar urusan utang itu,” jelas Abu Hanifah.

“Apa itu? Bukankah engkau ke sini buat menagih utangku?” tanya Majusi dgn penuh penasaran.

Setelah itu Abu Hanifah menceritakan kronologi kasus tembok rumah si Majusi yg tak sengaja tertimpa kotoran sandal Abu Hanifah.

“Bagaimana ini tuan? Bagaimana caranya menyucikan najis di tembok rumahmu ini?” ujar Abu Hanifah.

Orang Majusi tersebut takjub mau budi luhur yg ditunjukan Abu Hanifah: sangat berhati-hati supaya tak berbuat zalim kepada orang lain, sampai melalaikan hak piutangnya sendiri. Ia pun terketuk pintu hatinya buat memeluk Islam.

“Aku mau memulainya dgn mensucikan diriku terlebih dahulu,” ujar orang Majusi menjawab pertanyaan Abu Hanifah seraya memantapkan dirinya buat memeluk Islam seketika itu juga.

Demikian cara ulama kita mendakwahkan Islam. Bukan dgn ajakan keras. Melainkan dgn akhlak yg luhur dan wajah teduh sarat kecintaan. Dengan mengedepankan rasa kemanusiaannya, Abu Hanifah berhasil mengetuk pintu hidayah orang Majusi.

M. Mubasysyarum Bih Ridlwan, Pegiat Komunitas Literasi Pesantren (KLP), tinggal di Kediri

Kisah ini ditulis dgn merujuk kitab Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin ar-Razi, juz.1, hal.192. (sumber: islami.co)





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.