Kewajiban Shalat bagi ODGJ & Penyandang Disabilitas Intelektual

Kita hidup berdampingan dgn penyandang disabilitas mental dan intelektual. Mereka kerapkali menjadi rekan dalam kehidupan sosial. Mereka berhak atas berbagai hak hidup, tak terkecuali hak beragama.

 

Dalam konteks hak beragama, orang dgn gangguan jiwa dan penyandang disabilitas mental juga perlu mengenal dan mengamalkan kewajiban syariat sesuai kapasitasnya, tak terkecuali berkaitan dgn ibadah shalat. Nah, bagaimana kewajiban shalat buat ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) dan penyandang disabilitas intelektual?

 

Shalat yg bersifat fardlu ‘ain diwajibkan atas pribadi mukallaf. Syarat yg membuat seseorang wajib menunaikan shalat secara umum dinyatakan Syekh Abu Syuja’ dalam Matnut Taqrîb:

 

وَشَرَائِطُ وُجُوبِ الصَّلَاةِ ثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ: اَلْإِسْلَامُ وَالْبُلُوغُ وَالْعَقْلُ، وَهُوَ حَدُّ التَّكْلِيفِ 

Artinya, “Dan syarat wajib shalat ada tiga (3): beragama Islam, baligh, dan berakal, dan itulah batasan taklif. (Abu Syuja’ Ahmad bin Husain, Matn Abi Syuja’ Al-Ghâyah wat Taqrîb, halaman 8).

 

Diskusi seputar disabilitas mental dan intelektual berada dalam domain syarat “berakal” dalam ibadah tersebut. Namun, apa tolok ukur “berakal” dalam syariat? 

 

Pendapat Imam Al-Amidi berikut dapat dirujuk: 

 

اتَّفَقَ الْعُقَلَاءُ عَلَى أَنَّ شَرْطَ الْمُكَلَّفِ أَنْ يَكُونَ عَاقِلًا فَاهِمًا لِلتَّكْلِيفِ، لِأَنَّ التَّكْلِيفَ وَخِطَابَ مَنْ لَا عَقْلَ لَهُ وَلَا فَهْمَ مُحَالٌ

Artinya, “Ulama bersepakat bahwa syarat mukallaf ialah ia berakal (mampu secara intelektual) dan memahami taklif syariat, sebab taklif dan berbicara kepada orang yg tak berakal (terganggu intelektualnya) dan tak mampu memahami pembicaraan itu mustahil.” (Syekh Ali Al-Âmidi, Al-Ihkâm fî Ushûlil Ahkâm, [Beirut, Al-Maktabul Islâmi, juz I, halaman 150).

 

Untuk dapat terkena taklif , seseorang harus “berakal” dalam artian mampu secara intelektual, mampu memahami kewajiban ibadah, dan mampu memahami serta mengamalkan syarat dan rukunnya. 

 

Definisi fiqih klasik perihal disabilitas mental dan intelektual, antara lain ialah junun atau gila; sakran atau mabuk; ighma’ atau ayan/epilepsi; serta ahmaq atau “sangat bodoh”. ODGJ dapat diserupakan dgn kasus yg ada dalam kitab-kitab fiqih klasik tersebut. Baik diserupakan dgn majnun atau gila, baik yg sifatnya menetap ataupun sesaat.
  

Dalam referensi kontemporer–yg menurut penulis cukup mewakili–ada istilah al-ma’tûh yg dijelaskan oleh Syekh Wahbah Az-Zuhaili:

 

اَلْمَعْتُوهُ: هُوَ مَنْ كَانَ قَلِيلُ الْفَهْمِ، مُخْتَلِطُ الْكَلَامِ، فَاسِدُ التَّدْبِيرِ لِاضْطِرَابِ عَقْلِهِ، سَوَاءٌ مِنْ أَصْلِ الْخِلْقَةِ أَوْ لِمَرَضٍ طَارِئٍ

Artinya, “Al-Ma’tûh ialah orang yg kemampuan pemahamannya sedikit, pembicaraannya kacau, susah mengatur diri sebab gangguan akalnya. Baik itu dari lahir atau sebab penyakit yg datang.” (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islâmi wa Adillatuh, juz I, halaman 304).

 

Istilah al-ma’tûh mencakup pemahaman bahwa adanya gangguan mental dan intelektual itu ada yg akibat penyakit baik organik atau tak, dan juga ada yg secara genetic, seperti contoh pada down syndrome dan bentuk retardasi mental lainnya.

 

Merujuk kitab fiqih klasik, bila memahami ODGJ sebagai majnun, mereka pun pada dasarnya tak wajib menjalankan shalat, seperti dinyatakan dalam Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari:

 

فَلَا تَجِبُ عَلَى كَافِرٍ أَصْلِيِّ وَصَبِيِّ وَمَجْنُونٍ وَمُغْمَى عَلَيْهِ وَسَكْرَانَ بِلَا تَعَدٍّ لِعَدَمِ تَكْلِيفِهِمْ

Artinya, “Shalat tak wajib dilakukan oleh orang kafir asli, anak-anak, orang gila, ayan, dan mabuk yg tak disengaja, sebab hilangnya sifat taklif dari mereka.” (Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari, Fathul Mu’în pada Hâsyiyyah I’ânatut Thâlibîn, Juz I, halaman 21). 

 

Sementara ODGJ dan penyandang disabilitas intelektual yg belum masuk kategori tamyiz dan belum terkena taklif ialah yg kesulitan melakukan perawatan dasar diri sendiri, seperti makan, minum, mandi, berpakaian, atau kegiatan sederhana lainnya. Golongan inilah yg tak mendapat beban wajib ibadah, sehingga taklif mereka hanya sejauh kemampuan mereka memahami kewajiban shalat dan mampu melaksanakannya.

 

Namun buat ODGJ dan penyandang disabilitas intelektual ini perlu diperinci. Seorang dgn diagnosis gangguan jiwa tertentu, belum tentu tak dapat memahami perintah dan kewajiban ibadah. Misalnya orang dgn psikosis atau skizofrenia, dgn gangguan waham maupun halusinasi yg telah terkontrol dalam perawatan obat, memiliki kecakapan buat berkomunikasi dgn orang lain. Begitupun orang dgn disabilitas intelektual, perlu ditinjau dulu sejauh mana kemampuan mereka dapat memahami kewajiban ibadah shalat.

 

ODGJ dalam UU nomor 18 tahun 2014 ialah “orang yg mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yg termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yg bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.” Sehingga seseorang dapat disebut mengidap gangguan jiwa, ialah bila terdapat “gejala dan/atau perubahan perilaku yg bermakna”, dan “terhambat dalam menjalankan fungsi sebagai manusia”.

 

Untuk menilai gejala dan perubahan perilaku yg bermakna seperti itu diperlukan diagnosis dari tenaga kesehatan jiwa profesional, baik oleh dokter maupun psikolog. Perlu diketahui, pedoman diagnosis kejiwaan yg dipakai luas di Indonesia ialah PPDGJ III atau DSM IV, dan ada ragam jenis gangguan jiwa antara lain: akibat penggunaan zat, akibat gangguan fisik, kecanduan, gangguan perasaan, gangguan perilaku, sampai retardasi mental. Hal ini menunjukkan bahwa apa yg disebut “gila” oleh masyarakat umum tak satu sebab dan satu dimensi. Sedangkan buat disabilitas intelektual, perlu dirinci apakah kategori disabilitas intelektual mereka itu ringan, sedang, atau berat, yg tak sama dgn apa yg biasa dinilai masyarakat sebagai “gila”.

 

Untuk itu, berkaitan shalat bagi disabilitas mental maupun intelektual, hal yg perlu dilakukan ialah sebagai berikut. 

 

Pertama, memastikan sejauh mana kemampuan ODGJ ini buat memahami dan menunaikan taklif ibadah shalatnya. Diagnosis dari tenaga kesehatan dapat sangat dibutuhkan di sini, termasuk tindakan terapi yg dibutuhkan. 

 

Kedua, melakukan pendampingan buat ibadah sesuai kapasitas mereka. ODGJ dan pengidap disabilitas intelektual dibimbing oleh keluarga dan caregiver sesuai kapasitas mereka. 

 

Ketiga, memberikan kesempatan ODGJ dan penyandang disabilitas intelektual buat terlibat dalam kegiatan keagamaan sesuai kemampuan. Mereka yg dinilai tak dapat menjalankan shalat dgn syarat dan rukun yg lengkap, tak memiliki kewajiban qadha’ shalat. 

 

Sedangkan buat gangguan jiwa non-psikosis, seperti pada depresi, kecemasan, atau gangguan perilaku lain, kiranya lebih utama buat fokus mendampingi mereka dalam proses pemulihan diri secara mental, dan tak menekan mereka buat beribadah apalagi menstigma gangguan yg mereka alami akibat “kurang ibadah”.

 

ODGJ maupun penyandang disabilitas intelektual memiliki hambatan yg nyata dalam kehidupan sosialnya, sehingga proses pendampingan maupun pemulihannya ditujukan supaya ia dapat melakukan aktivitasnya sehari-hari, termasuk aktivitas sebagai muslim di masyarakat. Penyandang gangguan jiwa pun bukan sebab kurangnya ibadah, sehingga semata mengatakan “orang yg terkena gangguan jiwa sebab kurang ibadah” juga tak relevan, di mana penderitanya justru memerlukan penanganan medis maupun psikologis secara profesional. Hal ini demi menghapus stigma dan mewujudkan masyarakat yg inklusif terhadap disabilitas. Wallahu a’lam. 

 

Ustadz Muhammad Iqbal Syauqi, Pegiat Kajian Al-Qur’an dan Hadits.
 





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.