Kisah Imam Ibnu al-Munkadir Mengeraskan Suara Dzikirnya

Dalam kitab Hilyah al-Auliyâ wa Thabaqat al-Ashfiyâ’, Imam Abu Na’im al-Ashbahânî (330-430 H), mencatat sebuah riwayat yg menceritakan Imam Ibnu al-Munkadir berdzikir dgn suara keras. Berikut riwayatnya:

 

حدثنا أبو محمد بن أحمد الجرجاني، ثنا عبد الله بن محمد بن عبد العزيز، ثنا محمد بن عباد، ثنا سفيان، حدثني المنكدر، قال: كان محمد يقوم من الليل فيتوضأ، ثم يدعو، فيحمد الله عز وجل ويثني عليه ويشكره، ثم يرفع صوته بالذكر، فقيل له: لِمَ ترفع صوتك؟ قال: إن لي جارًا يشتكي يرفع صوته بالوجع، وأنا أرفع صوتي بالنعمة

 

Abu Muhammad bin Ahmad al-Jurjani bercerita, Abdullah bin Muhammad bin Abdul Aziz bercerita, Muhammad bin ‘Ibad bercerita, Sufyan bercerita, al-Munkadir bercerita kepadaku, ia berkata:

 

“(Suatu ketika) Muhammad (bin al-Munkadir) bangun di malam hari, ia berwudhu lalu berdoa, memuji Allah Azza wa Jalla, memuliakan-Nya dan bersyukur kepada-Nya, kemudian mengeraskan suaranya dgn dzikir.”

 

Ia ditanya: “Kenapa kau mengeraskan suaramu?”

 

Ia menjawab: “Sesungguhnya aku memiliki tetangga yg (suka) mengeluh, ia mengeraskan suara (keluhan)nya sebab penderitaan, sedangkan aku mengeraskan suaraku sebab nikmat” (Imam Abu Na’im al-Ashbahânî, Hilyah al-Auliyâ wa Thabaqat al-Ashfiyâ’, Kairo: Dar al-Hadits, 2009, juz 2, h. 427)

 

****

 

Sebelum menguraikan lebih jauh, kita perlu ingat terlebih dahulu, bahwa semua orang pasti pernah mengalami musibah, penderitaan, dan kekecewaan, siapapun dia, baik anak raja, maupun anak orang dapat. Tak terkecuali Sayyidina Muhammad bin al-Munkadir (w. 130 H), seorang tabi’in yg mendengar hadits secara langsung dari Sayyidina Jabir bin Abdullah, Sayyidina Abu Hurairah, Sayyidina Abdullah bin Umar, Sayyidina Anas bin Malik, dan lain sebagainya. Ia juga pernah mengalami musibah dan ujian.

 

Perbedaannya ialah, Sayyidina Muhammad bin al-Munkadir memandangnya sebagai nikmat, sedangkan kebanyakan kita memandangnya sebagai musibah. Itulah hikmah terpenting yg harus kita ambil dari kisah di atas. Bagi orang-orang tertentu, mereka mau bersyukur ketika diberi cobaan. Salah seorang sufi mengatakan, “wa in ashâbanâ syarrun syakarnâ” (dan bila keburukan menimpa kami, maka kami mau mensyukurinya). (Syekh Mutawalli Sya’rawi, Tafsîr al-Sya’râwî, juz 16, h. 9729)

 

Melihat sikap Sayyidina Muhammad bin al-Munkadir dan ulama-ulama lainnya, kita seperti digiring buat memahami musibah sebagai madrasah, semacam pendidikan praktis dalam mengamalkan agama yg mendewasakan jiwa kita. Tanpa musibah dan cobaan, mungkin pemahaman kita terhadap kebaikan hanya sekedar teori. Kita tak mau mengerti pentingnya berbagi tanpa pernah dalam kekurangan. Kita tak mau memahami manfaat bersabar tanpa pernah dihadapkan dgn cobaan, dan begitu seterusnya.

 

Di sisi lain, kisah di atas mengajarkan kepada kita, bahwa berdzikir dgn suara keras telah dilakukan sedari dulu oleh kalangan tabi’in, sebagai perwujudan syukur atas nikmat yg Allah berikan. Dalam riwayat lain, Sayyidina Muhammad bin al-Munkadir mengatakan:

 

يرفع صوته بالبلاء وأرفع صوتي بالنعمة

 

“Ia (tetanggaku) mengeraskan suaranya sebab (mengeluhkan) musibah, sedangkan aku mengeraskan suaraku sebab (mensyukuri) nikmat.” (Imam Abu Na’im al-Ashbahânî, Hilyah al-Auliyâ wa Thabaqat al-Ashfiyâ’, 2009, juz 2, h. 427)

 

Penjelasan sederhananya ialah, ketimbang membuang-buang suara buat mengeluhkan musibah (balâ’) lebih baik menggunakannya buat mensyukuri nikmat. Atau, bila musibah saja dikeluhkan dgn suara keras, kenapa nikmat tak didzikirkan dgn suara keras.

 

Jadi, berdzikir dgn suara keras, bila niatnya baik, tak lain ialah bentuk syukur kepada Allah, seperti yg dilakukan oleh sayyidul qurrâ’ (tuannya para ahli qira’ah), julukan yg diberikan Imam Malik bin Anas buat Muhammad bin al-Munkadir (Imam Abu Na’im al-Ashbahânî, Hilyah al-Auliyâ wa Thabaqat al-Ashfiyâ’, 2009, juz 2, h. 427).

 

Mensyukuri nikmat Allah dgn berdzikir merupakan langkah awal, sebab Sayyidina Muhammad bin al-Munkadir tak berhenti sampai di sini. Ia gemar mensyukuri nikmat Allah dgn memberi manfaat buat sekitarnya. Imam Abu Ma’syar mengatakan, “kâna sayyidân yuth’imuth tha’âm” (ia seorang tuan yg gemar memberi makan) (Imam Abu Na’im al-Ashbahânî, Hilyah al-Auliyâ wa Thabaqat al-Ashfiyâ’, 2009, juz 2, h. 429).

 

Pertanyaannya, bagaimanakah cara kita mensyukuri nikmat Tuhan selama ini?

 

Wallahu a’lam bish shawwab…

 

 

 

Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen

 





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.