Kisah Imam Malik RA & Sekelompok Santri Malas yg Menjadi Ulama Terkemuka

Imam Yahya bin Yahya menceritakan percakapan pertamanya dgn guru tercintanya Imam Malik bin Anas RA (711 M-795 M/90 H-174 H) pendiri Mazhab Maliki. Ia mengisahkan percakapan pertamanya dgn Imam Malik RA yg memberikan kesan bagi perjalanan intelektualitasnya.

Imam Yahya bin Yahya (wafat 848 M) ialah ulama asal Andalusia yg berguru kepada Imam Malik di Madinah. Ia kemudian membawa dan mengembangkan mazhab Maliki di Andalusia. Ia juga periwayat Kitab Al-Muwattha karya Imam Malik. Ia merupakan ulama besar generasi awal Mazhab Maliki.

“Siapa namamu, wahai anak muda?” tanya Imam Malik RA saat Imam Yahya remaja menghadiri pertama majelis ilmu gurunya buat menuntut ilmu.

“Semoga Allah memuliakanmu wahai guruku. Namaku Yahya,” jawabnya. Ia saat itu ialah santri termuda Imam Malik RA.

“Semoga Allah menghidupkan hatimu. Kamu harus sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Aku mau menceritakan kepadamu sebuah kisah yg dapat membakar semangatmu dalam menuntut ilmu dan mengalihkan perhatianmu dari aktivitas lainnya,” kata Imam Malik RA.

Imam Malik RA memulai kisahnya. “Suatu hari seorang remaja asal negeri Syam tiba di Kota Madinah. Kurang lebih seusia dgnmu. Ia menuntut ilmu kepada kami dgn giat dan sungguh-sungguh. Dalam usia yg begitu belia Allah memanggilnya. Ia wafat. Aku belum pernah melihat kondisi jenazah yg begitu eloknya di Kota Madinah ini.” Almarhum tak lain ialah salah seorang wali Allah.

Ulama Madinah berkumpul buat menshalatkan jenazahnya. Masyarakat pun ikut berduyun buat mengantarkan jenazahnya ke pemakaman. Ketika tahu mau antusias dan pernghormatan ulama dan masyarakat yg begitu besar, gubernur Madinah menahan pelaksanaan shalat jenazahnya.

“Pilihlah orang yg paling kalian sukai,” perintah gubernur.

Ulama Madinah mengajukan nama Imam Rabi‘ah. Imam Rabiah, Zaid bin Aslam, Yahya bin Sa’id, Ibnu Syihab, termasuk ulama yg paling dekat dgn mereka, Muhammad Ibnu Munkadir, Shafwan bin Salim, Abu Hazim, dan ulama terkemuka lainnya menurunkan jenazah ke liang lahat. Imam Rabi’ah menyusun batu bata pada lahatnya. Mereka memberikan batu bata tersebut kepadanya.

Tiga hari setelah pemakamannya, salah seorang yg terkenal sebagai wali Allah di Kota Madinah, kata Imam Malik kepada Yahya remaja, bermimpi melihat almarhum sebagai remaja yg berpenampilan dan berpakaian putih elok sekali.

Almarhum mengenakan serban hijau dan menunggang kuda kelabu yg sangat bagus. Ia turun dari langit dan menuju kepada sang wali. Ia mengawali percakapan dgn salam.

“Derajatku yg tinggi ini bukan didapat dgn berkah ilmu,” kata remaja belia tersebut.

“Lalu apa yg mengantarkanmu ke derajat yg begitu mulia ini?” tanya wali Allah.

“Allah memberikanku satu derajat yg begitu tinggi di surga atas setiap bab dalam satu disiplin ilmu yg kupelajari. Namun demikian, derajat-derajat yg begitu tinggi itu tetap tak membuatku sederajat dgn para ulama. Tetapi Allah yg maha pemurah berkata kepada malaikat, ‘Tambahkan derajat itu kepada ahli waris para nabiku. Aku telah menetapkan dalam diri-Ku bahwa siapa saja yg wafat dalam kondisi memahami sunnah-Ku dan sunnah para nabi-Ku, atau dalam keadaan menuntut ilmu terkait dgnnya, niscaya Kukumpulkan mereka dalam satu derajat yg sama.’”

“Allah menganugerahkan kepadaku hingga aku meraih derajat para ulama. Aku dan Rasulullah hanya terpaut dua derajat. Pertama ialah derajat di mana ia bersama para nabi tinggal. Kedua ialah derajat para sahabat Nabi Muhammad SAW dan sahabat para nabi yg menjadi pengikut nabi-nabi di zamannya masing-masing. Di bawah itu ialah derajat ulama dan para santri mereka.”

Allah menjalankanku hingga ke tengah halaqah mereka. Mereka menyambut dgn antusian, “marhaban, marhaban.”

“Bagaimana Allah memberikan tambahan derajat-Nya buatmu?” tanya wali Allah.

“Allah berjanji buat mengumpulkanku bersama para nabi sebagaimana kusaksikan mereka pada rombongan yg sama. Aku bersama mereka hingga hari kiamat tiba. Bila hari kiamat yg dijanbilan tiba, Allah berkata, ‘Wahai sekalian ulama. Inilah surgaku. Kuizinkan surga ini buat kalian. Inilah ridha-Ku. Aku telah meridhai kalian. Jangan kalian masuk surga terlebih dahulu sebelum berdiam buat memberikan syafaat kepada siapa saja yg kalian kehendaki. Aku juga memberikan mandat supaya kalian memberikan syafaat kepada mereka yg meminta syafaat kalian supaya aku dapat memperlihatkan kepada semua hamba-Ku betapa tinggi kemuliaan dan kedudukan kalian,’” jawab remaja tersebut.

Ketika pagi hari, orang yg dikenal wali Allah ini terjaga. Ia menceritakan mimpinya hingga akhirnya kabar tersebut menyebar luas ke seantero Kota Madinah.

Kepada Yahya remaja, Imam Malik RA mengatakan, “Dulu di Kota Madinah ini terdapat sekelompok santri-santri yg gemar menuntut ilmu. Seiring waktu semangat mereka dalam menuntut ilmu mengendur hingga berhenti sama sekali. Setelah mendengar kabar dari wali Allah tersebut, mereka kembali menuntut ilmu dgn semangat dan sungguh-sungguh. Mereka itu kemudian yg kamu kenal hari ini sebagai ulama-ulama terkemuka di Kota Madinah. Wahai Yahya, bersungguh-sungguhlah kamu dalam masalah ini.”

*

Kisah ini diangkat oleh Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi dalam Kitab Kifayatul Atqiya wa Minhajul Ashfiya (Indonesia, Al-Haramain Jaya: tanpa tahun), halaman 63-64. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.