Menginap di Lokasi Tujuan, Masih Bolehkah Menjama’ & Mengqashar Shalat?

Jama’ dan qashar shalat merupakan salah satu keringanan (rukhshah) yg diberikan syariat kepada umat Islam. Shalat yg semula hanya dapat dilakukan pada waktu yg telah ditentukan, dgn dilaksanakan secara jama’, shalat menjadi dapat diawalkan atau diakhirkan buat digabung dgn shalat yg lain. Begitu pula dgn mengqashar, shalat yg semula berjumlah empat rakaat menjadi teringkas menjadi dua rakaat. Terkait dgn qashar ini, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

 

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأرض فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُواْ مِنَ الصلاة إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الذين كفروا

 

“Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka taklah berdosa kamu meng-qashar shalat, bila kamu takut di serang orang kafir” (QS An-Nisa’: 101).

 

Diksi “takut diserang orang kafir” dalam ayat di atas bukanlah suatu syarat dalam bolehnya melaksanakan qashar. Sehingga melaksanakan qashar titik tumpuannya ialah berpergian jauh (safar thawil) meskipun tak ada kekhawatiran atas serangan oleh pihak tertentu.

 

Terkait persoalan menjama’ dan mengqashar shalat, tentunya banyak problem yg masih tak diketahui oleh banyak orang, salah satunya tentang “Masih bolehkah menjama’ dan mengqashar shalat ketika kita menginap di lokasi tujuan?”

 

Dalam menjawab persoalan tersebut, hal pertama yg mesti dipahami ialah tentang batasan suatu perjalanan dianggap terputus (inqitha’ as-safar). Sebab dgn terputusnya suatu perjalanan, maka seseorang yg bepergian telah tak lagi diperbolehkan buat menjama’ dan mengqashar shalat.

 

Perincian tentang terputusnya perjalanan seorang musafir secara umum terbagi menjadi tiga keadaan. Pertama, kembali ke tempat tinggalnya (wathan). Dalam keadaan demikian, perjalanan musafir menjadi terputus tatkala ia telah melewati batas desa tempat tinggalnya, sehingga ketika ia telah masuk di desa tempat tinggalnya ia telah tak diperkenankan buat menjama’ dan mengqashar shalat.

 

Kedua, ketika ia mampir di suatu tempat namun tak ada keperluan (hajat) apa pun. Maka dalam keadaan demikian diperinci, bila ia niat bermukim atau menginap di tempat tersebut selama empat hari lebih atau hanya niat bermukim secara mutlak, maka perjalanannya dianggap terputus dgn melewati batas desa di tempat tersebut, seperti halnya pada permasalahan kembali di tempat tinggalnya.

 

Sedangkan ketika seorang musafir tak niat mukim atau niat menginap di tempat tersebut, atau ia niat mukim namun kurang dari empat hari, maka perjalanannya tak langsung terputus dgn melewati batas masuk desa tempat tersebut, namun perjalanan menjadi terputus dgn ia tinggal atau menginap di tempat tersebut selama empat hari secara utuh, tanpa menghitung hari di mana ia sampai dan hari di mana ia pergi dari tempat tersebut.

 

Ketiga, ketika ia mampir di suatu tempat dgn adanya suatu keperluan (hajat). Maka dalam keadaan demikian, putusnya perjalanan dipandang dari batas selesainya keperluan musafir di tempat tersebut. Jika keperluannya tak mau selesai dalam jangka waktu empat hari, maka perjalanannya dianggap terputus dgn sampainya dia di tempat tersebut. Baik ia melaksanakan niat mukim ataupun tak.

 

Namun bila keperluannya dapat saja selesai setiap hari, sekiranya kurang dari empat hari. Maka perjalanannya tak dihukumi terputus kecuali setelah melewati masa delapan belas hari. Pembatasan terputusnya perjalanan dgn delapan belas hari pada permasalahan ini, berdasarkan hal yg dilakukan oleh Rasulullah setelah Fathu Makkah pada saat menunggu kepastian selesainya perang Hawazin.

 

Segala perincian di atas tentang putusnya perjalanan (inqitha’ as-safar) yg menyebabkan seorang musafir tak dapat mengqashar dan menjama’ shalat, berdasarkan referensi dalam kitab Hasyiyah I’anah at-Thalibin:

 

وحاصل ما يقال فيه أنه رجع بعد سفره من مسافة القصر إلى وطنه انتهى سفره بمجرد وصول السور إن كان، سواء نوى الاقامة به أم لا، كان له فيه حاجة أم لا. وأما إذا رجع إلى غير وطنه، ولم يكن له حاجة، ونوى قبل الوصول إليه إقامة مطلقا أو أربعة أيام صحاح، وكان وقت النية ماكثا مستقلا، انتهى سفره بمجرد وصول السور أيضا. أما إذا لم ينو أصلا، أو نوى إقامة أقل من أربعة أيام، فلا ينتهي سفره بوصول السور، وإنما ينتهي بإقامة أربعة أيام صحاح، غير يومي الدخول والخروج.

 

“Kesimpulan tentang permasalahan terputusnya bepergian, bahwa bila musafir (Orang yg bepergian) kembali dari bepergiannya dari jarak mengqashar shalat menuju tanah kelahirannya, maka terputus bepergiannya dgn sampai di batas desa, bila memang ada. Baik dia niat mukim ataupun tak. Baik ada keperluan (hajat) ataupun tak. Adapun ketika seseorang kembali (atau sampai) ke selain tempat tinggalnya dan dia tak ada keperluan apa pun berkunjung di tempat tersebut dan sebelum sampai di tempat tersebut ia niat mukim secara mutlak, atau mukim selama empat hari secara utuh, dan ia dalam keadaan mandiri (tak tergantung dgn siapa pun) maka bepergiannya dianggap terputus dgn melewati batas desa. Adapun ketika ia tak niat sama sekali atau ia niat mukim kurang dari empat hari, maka bepergiannya tak dianggap putus dgn melewati batas desa tersebut, tapi terputus dgn mukim di tempat tersebut selama empat hari selain hari ia sampai dan hari ia keluar dari tempat tersebut.

 

وأما إذا كان له حاجة، فإن لم يتوقع انقضاءها قبل أربعة أيام، بل جزم بأنها لا تقضى إلا بعد الاربعة، انتهى سفره بمجرد المكث والاستقرار، سواء نوى الاقامة بعد الوصول أم لا. فإن توقع انقضاءها كل يوم، لم ينته سفره إلا بعد ثمانية عشر يوما صحاحا.

 

“Sedangkan ketika ia berkunjung ke tempat selain tempat tinggalnya sebab terdapat suatu keperluan (hajat), bila keperluannya tak dapat selesai sebelum empat hari, tetapi butuh lebih dari empat hari, maka bepergiannya dianggap terputus dgn berdiamnya dia di tempat tersebut. Baik ia melakukan niat mukim setelah sampai di tempat tersebut ataupun tak. Jika keperluannya dapat saja selesai setiap hari, maka bepergiannya tak terputus kecuali setelah ia berada di tempat tersebut selama delapan belas hari secara utuh” (Syekh Abu Bakar Muhammad Syatha, Hasyiyah I’anah at-Thalibin, juz 2, hal. 116)

 

Berdasarkan berbagai perincian putusnya perjalanan dalam permasalahan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ketika kita terapkan dalam permasalahan bolehnya menjama’ dan mengqashar shalat di lokasi tujuan, tentunya terdapat berbagai perincian yg disesuaikan dgn keperluan (hajat) yg dilakukan oleh seseorang tatkala berada di tempat tujuan tersebut, sebab permasalahan ini hampir sama dgn keadaan ketiga dalam perincian hukum di atas. Jika keperluannya di tempat tersebut lebih dari empat hari, maka tatkala ia sampai di tempat tujuannya ia dianggap terputus perjalanannya, sehingga telah tak boleh baginya melaksanakan shalat dgn cara jama’ dan qashar. Namun bila keperluannya dapat selesai kurang dari empat hari, maka ia dapat menjama’ dan mengqashar shalatnya sampai delapan belas hari, seandainya saja ia memutuskan buat menginap di tempat tersebut lebih lama.

 

Berbeda halnya bila seorang musafir menginap di suatu tempat tanpa adanya keperluan apa pun, misalkan hanya sebatas transit di rumah temannya, sebab tujuan perjalanan yg begitu jauh sehingga butuh istirahat, maka dalam keadaan demikian sama persis dgn perincian kedua dalam pembahasan yg telah dijelaskan di atas. Wallahu a’lam.

 

 

Ustadz M. Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.