Banyak masyarakat yg resah dgn adanya varian baru ketika pandemi Covid-19. Baru-baru ini, muncul hasil mutasi virus penyebab Covid-19 yg bernama varian Omicron dan dianggap serius oleh para ahli sebab memiliki tingkat penularan lebih besar. Seolah berperang dgn manusia, virus tersebut menyusun strategi baru supaya tetap eksis di ketika upaya-upaya kesehatan berusaha meredamnya.
Sebagai bagian dari perubahan alam yg mengikuti sunnatullah, kejadian mutasi dari mikroba penyebab penyakit bukan terjadi ketika ini saja. Sejak munculnya pandemi di masa lalu, perubahan sifat mikroba penyebab penyakit telah lazim terjadi. Efeknya memang ada yg menyulitkan penanganan penyakit, tetapi ada pula yg menjadi lebih jinak sehingga mudah buat dihilangkan.
Bagaimana umat Islam menyikapi fenomena mutasi virus penyebab penyakit ketika pandemi? Adakah tuntunan dari ulama terdahulu yg perlu diterapkan dan masih relevan di masa sekarang? Apakah fenomena alamiah mutasi mikroba itu terekam dalam kitab klasik karya ulama Islam?
Imam as-Suyuthi ternyata telah mencermati adanya fenomena mutasi ketika pandemi dan menuliskannya. Dalam kitabnya yg berjudul al-Maqamah ad-Durriyah, Beliau mendokumentasikan fenomena pandemi yg dialami pada masa hidupnya. Kitab tersebut menjadi saksi bahwa mutasi mikroba penyebab pandemi ternyata telah terjadi sejak zaman dahulu meskipun mikrobanya sendiri belum dikenali oleh manusia pada masa itu.
Imam as-Suyuthi mengalami hidup pada masa pandemi yg terjadi secara global. Beliau waktu itu hidup di Mesir dan merekam dgn baik kejadian demi kejadian dalam rangkaian pandemi di Mesir dan sekitarnya. Fenomena itu Beliau ceritakan ketika membahas thaun pada tahun 897-898 H sebagai berikut:
“Telah diingatkan bahwa ada sesuatu yg terjadi dan hal ini berbeda dari kebiasaan thaun. Saat ini thaun menimbulkan kematian terhadap orang-orang yg sempat selamat dari thaun sebelumnya. Kebiasaan yg umum ialah orang yg sempat selamat itu tak mau meninggal sebab thaun, walaupun terkena kembali, maka orang tersebut mau selamat atau sembuh.” (Imam Suyuthi, al-Maqamah ad-Durriyah dalam Ma Rawahu al-Waun fi Akhbar ath-Thaun, Penerbit Darul Qalam, Damaskus tanpa tahun: hal 216).
Dalam catatan kaki, penahkik kitab itu, yaitu dr. Muhammad Ali al-Bar, menjelaskan tulisan Imam as-Suyuthi tersebut:
“Telah menjadi pengetahuan umum bahwa orang yg pernah terkena cacar dan thaun kemudian selamat, maka penyakit tersebut tak mau menimpanya kembali sebab dia telah memiliki kekebalan dalam tubuhnya. Hal ini sesuai dgn kaidah kedokteran modern yaitu vaksin dan imunisasi. Kedua upaya tersebut memanfaatkan mikroba yg telah dilemahkan atau yg mati dan menyuntikkannya ke dalam tubuh supaya tubuh memiliki kekebalan. Akan tetapi, mikroba dapat mengubah antigen yg dimiliki (atau dikenal dgn mutasi) sehingga kekebalan yg telah ada sebelumnya pada orang yg pernah terpapar tak bermanfaat lagi. Dapat dinyatakan bahwa mikroba thaun pada tahun ini bersifat baru sehingga berbeda sifat-sifatnya apabila dibandingkan dgn tahun sebelumnya.” (Catatan kaki buat kitab Al-Maqamah ad-Durriyah dalam Ma Rawahu al-Waun fi Akhbar ath-Thaun karya Imam Suyuthi, Penerbit Darul Qalam, Damaskus tanpa tahun: hal 216)
Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa sifat mikroba penyebab pandemi yg terjadi pada tahun 898 H ternyata berbeda dgn penyebab pandemi di tahun sebelumnya yaitu 897 H. Meskipun hanya berselang satu tahun, ternyata mikroba penyebab pandemi dapat bermutasi menjadi lebih kebal.
Dalam bagian kitab selanjutnya di halaman 223, Imam as-Suyuthi melanjutkan penjelasannya dgn menulis:
“Sebagian besar yg terkena dan meninggal ialah penderita yg selamat pada serangan tahun lalu.”
Maksud dari pernyataan tersebut ialah korban meninggal dunia sebab pandemi pada tahun 898 H ialah orang-orang yg pada tahun 897 H terpapar thaun dan selamat. Pada tahun 898 H, orang-orang yg telah terpapar dan selamat itu terpapar kembali dgn pandemi yg sama sehingga meninggal dunia. Padahal menurut kaidah kedokteran pada waktu itu, orang yg pernah terpapar pandemi dan selamat, maka apabila terpapar kembali mau sembuh serta tak menimbulkan bahaya. Namun, kenyataan menunjukkan hasil yg berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa mutasi yg terjadi pada waktu itu membuat mikroba menjadi lebih kebal dan lebih ganas.
Meskipun ketika itu mutasi mikroba penyebab pandemi menyebabkan situasi menjadi lebih genting, Imam as-Suyuthi tetap memberikan saran supaya kaum Muslimin tenang menghadapinya. Beliau mengulang-ulang nasihatnya dgn bahasa-bahasa yg indah dalam sebagian besar isi kitab tersebut.
Pada halaman 218 dan 222 Beliau menuliskan doa dgn semangat optimisme sebagai berikut:
“Kita mohon perlindungan kepada Allah supaya pada tahun ini tak mengirimkan thaun kepada kita dan juga supaya melimpahkan kesehatan, meliputi kita dgn kelembutan-Nya yg mencukupi, yg menyembuhkan, yg luhur dan sempurna.”
Tidak lupa, Beliau juga memberikan nasihat yg sangat berharga buat kaum muslimin sebagai berikut:
“Ahli fikih mengatakan, sekarang waktu yg tepat buat bersyukur dgn benar dan hendaklah niat menyucikan diri dan menjauhi dosa selalu diingat. Maka sadarlah kalian dari kelalaian, tinggalkanlah bermain-main, berbuat sia-sia dan bersenang-senang yg tiada berguna. Jadilah kaum yg selalu berpuasa dan gemar bersedekah.” (Kitab Al-Maqamah ad-Durriyah dalam Ma Rawahu al-Waun fi Akhbar ath-Thaun karya Imam Suyuthi, Penerbit Darul Qalam, Damaskus, tanpa tahun, hal. 224).
Energi doa yg dipanjatkan lengkap dgn tawasul amal saleh hendaknya juga diimbangi dgn upaya lahiriah berupa kewaspadaan. Imam as-Suyuthi tak lupa mengingatkan pentingnya sikap berhati-hati dalam menghadapi pandemi dgn syair yg tercantum di halaman 218 kitab tersebut:
“Terkadang orang yg berhati-hati itu mendapatkan beberapa hajatnya.
Terkadang bila disertai dgn ketergesa-gesaan, dia tergelincir.”
Syair tersebut sangat pas dgn kondisi pandemi ketika ini. Melandainya kasus Covid-19 perlu dijaga dgn tetap menerapkan protokol kesehatan dan vaksinasi. Ulama telah mengajarkan optimisme kepada umat Islam dalam menghadapi pandemi. Sebagai seorang Muslim yg mencintai ulama terdahulu, selayaknya kita meneladani sikap yg telah diajarkan oleh Imam as-Suyuthi dgn tak lupa bahagia supaya imun tetap terjaga, tetap waspada, berdoa dan beramal saleh.
Yuhansyah Nurfauzi, Apoteker dan Peneliti di Bidang Farmasi