Pentingnya Asbabun Nuzul dalam Memahami Al-Qur’an

Memahami Al-Qur’an tak semudah membalikkan telapak tangan. Kesulitan tersebut tak hanya dirasakan oleh kalangan non-Arab yg secara kasat mata bahasa ibunya bukan bahasa Arab, tetapi juga melanda masyarakat Arab sendiri yg keseharian menggunakan bahasa Arab.

Permasalah utama ialah sebab Al-Qur’an ialah wahyu Allah yg mempunyai nilai suci, sehingga tak ada seorang pun dapat memahami dgn kebenaran mutlak tanpa adanya petunjuk dan hidayah. Pada saat yg sama, bahasa yg digunakan Al-Qur’an secara eksplisit ialah bahasa Arab yg merupakan bahasa ibu dari wilayah Timur Tengah.

Penggunaan bahasa Arab ialah suatu keniscayaan, melihat konteks turunnya wahyu Al-Qur’an yg berada di wilayah Arab. Sehingga secara historis Al-Qur’an terkait erat dgn peradaban Arab, tetapi hal ini tak menjadi bagian penting secara menyeluruh dalam memahami Al-Qur’an, meskipun secara redaksional dan historis mempunyai hubungan. Karena, turunnya Al-Qur’an tak selalu berhubungan dgn suatu peristiwa maupun pertanyaan yg berkaitan dgn kehidupan Arab.

Meski demikian, dalam memahami Al-Qur’an seorang harus mengetahui asbabun nuzul (konteks turunnya ayat). Latar belakang turunnya tak hanya merespons masalah yg mengitari kehidupan Nabi dan masyarakat sekitar, tetapi juga mengandung pelajaran bahwa wahyu Al-Qur’an turun melalui proses dan melatih kesabaran.

Baca juga: Memahami Makna Wahyu dan Proses Turunnya Al-Qur’an

Begitu pentingnya asbabun nuzul dalam memahami ayat Al-Qur’an ditegaskan oleh Imam al-Wahidi:

لا يمكن معرفة تفسير الأية دون الوقوف على قصتها وبيان نزولها

 “Seorang tak mau mengetahui tafsir (maksud) dari suatu ayat tanpa berpegang pada peristiwa dan konteks turunnya ayat. (Jalalud Din as-Syuyuti, Lubâb an-Nuqûl fî Asbâbin Nuzûl, Beirut: Darl al-Kutub al Ilmiah, 1971, hal. 3)

Pandangan al-Wahidi memberikan pengertian bahwa asbabun nuzul yg melatarbelakangi turunnya ayat ialah salah satu komponen penting yg harus diperhatikan bagi orang yg mau memahami maksud Al-Qur’an, dan peringatan bahwa belajar Al-Qur’an tak cukup hanya membaca terjemahan atau belajar sendiri dari teks-teks terjemahan. Karena tak semua terjamahan atau kitab tafsir memuat asbabun nuzul secara keseluruhan, sehingga potensi buat salah paham mau besar.

Imam al Syathibi dalam kitabnya yg berjudul al-Muwâfaqât fi Ushul asy-Syarî’ah memberikan peringatan keras kepada orang yg hanya belajar dan memahami al Qur’an hanya dari teksnya. Lebih lanjut, beliau berkatan bahwa seorang tak boleh memahami al Qur’an hanya terpaku pada teksnya saja, tanpa melihat atau memperhatikan konteks turunnya ayat, sebab asbab al nuzul ialah komponen dasar dalam memahami al Qur’an (Abi Ishaq al Syathibi, al-Muwâfaqât fî Ushûl asy-Syari’ah, vol. III Beirut: Bar al-Kutub al-Ilmiah, 2005, hal. 258).

Pendapat al Wahidi diperkuat oleh imam Ibn Daqiq al-Aid yg berpendapat bahwa salah satu yg penting dalam memahami ayat Al-Qur’an ialah mengetahui asbabun nuzul dari ayat itu sendiri, sebab hal tersebut ialah cara buat memperkuat dalam mengetahui makna Al-Qur’an. Beliau mengatakan:

بيان سبب النزول طريق قوي في فهم معاني القرأن

“Keterangan konteks turunnya ayat merupakan cara buat memperkuat dalam memahami makna Al-Qur’an.” (Jalalud Din as-Syuyuti, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Beirut: Darl al Fikr, 2012, hal. 41)

Kedua argumentasi ulama tersebut mengingatkan kita buat selalu berhati-hati dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an, sebab Al-Qur’an bukan kitab biasa yg semua orang dapat memahami, tetapi setiap orang dapat mempelajari kepada ahlinya. Salah satu pelajaran dari Imam Ibnu Taimiyah bercerita bahwa pada jaman dahulu terdapat satu jemaah yg berselisih pandang tentang makna ayat dan bertanya kepada Ulama, lalu disebutkan satu peristiwa yg berkaitan dgn ayat tersebut sehingga semua memahaminya.

Lantas bagaimana cara mengetahui asbabun nuzul dari suatu ayat, dan kepada siapa kita dapat merujuknya?

Para ulama bersepakat ada dua metode buat mengetahui asbabun nuzul; pertama, melalui jalur riwayat (transmisi). Kedua, melalui jalur mendengarkan riwayat langsung dari para sahabat yg menyaksikan peristiwa turunnya wahyu (Jalalud Din as-Syuyuti, Lubâb an-Nuqûl fî Asbâbin Nuzûl, Beirut: Darl al Kutub al Ilmiah, 1971, hal. 4). Metode pertama menunjukkan bahwa setiap orang dapat mengetahui peristiwa konteks turunnya Al-Qur’an tetapi dgn periwayatan yg panjang, dan hanya dapat didapatkan dari orang yg tsiqah, dlabith dan ‘adil. 

Sedangkan metode kedua, hanya orang tertentu yg dapat mengetahui, sebab berkaitan dgn masa sahabat. Sehingga dapat dipastikan hanya sahabat awal yg mengetahui peristiwa wahyu, seperti turunnya QS al-Baqarah 120 yg menjelaskan tentang jima’. Sahabat Jabir meriwayatkan bahwa orang Yahudi mempunyai anggapan bahwa laki-laki yg mendatangi (bersetubuh dgn) istrinya dari belakang mau mendapatkan anak cacat (mata juling), sehingga turun ayat tersebut. Wallahu A’lam bi al Shawab

Moh. Muhtador, Dosen Ushuluddin IAIN Kudus





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.