Pernikahan Si Kaya & Si Miskin menurut Hukum Islam

Dalam Islam pernikahan mengharuskan dipenuhinya sejumlah syarat dan rukun. Meski di dalamnya terdapat perbedaan pendapat di kalangan imam mazhab, mau tetapi telah masyhur di kalangan masyarakat Indonesia bahwa rukun nikah yg mesti dipenuhi ialah dua mempelai, dua saksi yg adil, wali, dan akad.

 

Dan buat menyempurnakan pernikahan, maka dianjurkan sepasang suami dan istri itu sekufu, dalam artian sepadan atau satu level derajatnya. Lantas, apa saja sebenarnya kriteria sekufu dalam Islam. Lebih baiknya kita memahami terlebih dahulu makna istilah kufu (الكُفْءُ), atau dalam kitab-kitab fiqih sering pula disebut kafâah (الكَفاءَة).

 

Kafâah secara bahasa dari kata kerja yg terdiri dari huruf kaf, fâ`, dan hamzah, sedang kufu (الكُفْءُ) dalam Lisânul ‘Arâb maknanya:

 

النَّظِيرُ والمُساوِي. وَمِنْهُ الكفَاءةُ فِي النِّكاح، وَهُوَ أَن يَكُونَ الزَّوْجُ مُساوياً للمرأَة فِي حَسَبِها ودِينِها ونَسَبِها وبَيْتِها وَغَيْرِ ذَلِكَ

 

“Yaitu sebanding dan sepadan. Di antara misalnya ialah kafâah dalam pernikahan, artinya mempelai pria sebanding dgn mempelai wanita dalam silsilah kekeluargaan, agama, nasab, rumah, dan selainnya” (Ibn al-Mandzûr, Lisân al-‘Arabi, Beirut: Dar Shâdir, cetakan ke.3, 1414H, juz 1, hal. 139).

 

Sedangkan dalam istilah ilmu fiqih, kafâah yaitu:

 

المماثلة بين الزوجين دفعاً للعار في أمور مخصوصة

 

“Kesetaraan di antara suami dan istri, guna mencegah kecacatan dalam beberapa perkara khusus” (Syekh Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâm wa Adillatuhui, Damaskus: Dar el-Fikr, juz 9, hal. 216).

 

Terdapat satu pertanyaan terkait sekufu atau kesetaraan ini, yaitu apakah perbedaan status sosial dalam kekayaan menjadi problem dalam pernikahan? Bagaimana bila antara si kaya dan si miskin telah saling cinta, orang tua sepakat mau pernikahan keduanya, bukankah kasus yg demikian pernah ada di tengah-tengah masyarakat kita?

 

Baca juga: Inilah Kriteria Kesetaraan atau Sekufu dalam Perkawinan

 

Dalam mengurai persoalan ini, kita harus pastikan terlebih dahulu pemahaman makna kafâah menurut para ahli fiqih, juga posisi kafâah ini dalam pernikahan: apakah dia syarat sah pernikahan, atau syarat luzûm? Disebut syarat sah pernikahan bila salah satu syarat tersebut tak terpenuhi maka tak sah akadnya, dan disebut syarat luzûm bila hilang salah satu syarat tersebut maka akadnya tetap sah.

 

Menurut ulama Malikiyah, kafâah ialah sepadan dalam agama dan selamat dari aib yg mewajibkan khiyâr (opsi pembatalan). Menurut mayoritas ulama, kafâah ialah sepadan dalam agama, nasab, status merdeka, profesi. Sedang Hanafiyah dan Hanabilah menambahkan kesepadanan dalam harta pada kriteria kafâah (Syekh Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâm wa Adillatuhui, Damaskus: Dar el-Fikr, juz 9, hal. 216).

 

Kalau demikian, maka perbedaan kekayaan finansial tak masuk kriteria kafâah menurut jumhur (mayoritas ulama). Tidak ada persoalan bila salah sau mempelai miskin, dan yg lainnya kaya.

 

Syekh Zainuddin al-Malibari dalam Fathul Muîn menyebutkan:

 

والأصح أن اليسار لا يعتبر في الكفاءة لان المال ظل زائل ولا يفتخر أهل المروءات والبصائر

 

“Pendapat yg ashah atau paling sahih (dalam mazhab Syafi’i) ialah bahwa harta tak masuk kategori dalam kafâah, sebab harta dapat lenyap, sedang para ahlul murûât dan bashâir (orang yg berakhlak tinggi dan taat kepada Allah) tak berbangga diri dgn harta” (Syekh Zainuddin al-Malibari, Fathul Muîn, Dar Ibn Hazm, cetakan pertama, juz 1, hal. 479).

 

Kemudian Syekh al-Bakri bin Muhammad Syathâ’ menuliskan pendapat yg shahîh dalam I’anah ath-Thâlibîn:

 

ومقابله يقول إنه يعتبر: لانه إذا كان معسرا لم ينفق على الولد وتتضرر هي بنفقته عليها نفقة المعسرين

 

Dan muqâbil ashah (bandingan dari pendapat ashah)-nya ialah kesepadanan harta termasuk kategori kafâah, sebab apabila si suami ialah orang susah, khawatir tak mampu memberikan nafkah pada anak, sehingga jadilah nafkah si suami kepada istrinya tergolong nafkah al-mu’assirîn/orang-orang susah. (Syekh al-Bakri bin Muhammad Syathâ’, I’anah ath-Thâlibîn, Beirut: Dar el-Fikr, 1448H, juz 3, hal. 381).

 

Makna yg dimaksud dari lafaz kafâah telah selesai penjabarannya, kiat memegang pendapat ashah bahwa kekayaan tak masuk dalam kategori kafâah. Jika melihat mayoritas muslim Indonesia yg mana bermazhab Syafi’iyah, maka kafâah yg berlaku ialah sebagaimana yg disebutkan diatas menurut Jumhur, yaitu sepadan dalam agama, nasab, status merdeka, profesi, dan harta tak masuk ke dalam kategori. Selanjutnya, apakah kafâah itu termasuk syarat sah, atau syarat luzûm?

 

Dalam soal ini para Ulama berbeda pendapat dalam memandang kafâah. Pertama, Imam atsTsauri, al-Hasan al-Bashri, al-Karkhi berpendapat kafâah ini bukan bagian dari syarat sah nikah, juga bukan dari syarat luzûm nikah. Kedua, jumhur ulama termasuk mazhab yg empat berpendapat kafâah ialah bagian dari syarat luzûm nikah, bukan syarat sah. Jadi, bila tak sekufu, nikahnya tetap sah. Terkait hal demikian, Syekh Wahbah az-Zuhaili mengatakan:

 

اتفق فقهاء المذاهب الأربعة في الراجح عند الحنابلة والمعتمد عند المالكية والأظهر عند الشافعية على أن الكفاءة شرط لزوم في الزواج، وليست شرطاً في صحة النكاح، فإذا تزوجت المرأة غير كفء، كان العقد صحيحاً

 

“Fuqaha empat mazhab sepakat, ulama Hanabilah dalam pendapat yg râjih (kuat), Malikiyah dalam pendapat yg mu’tamad, Syâfi’iyah dalam pendapat yg adh-har, bahwa kafâah itu merupakan syarat luzûm dalam pernikahan, apabila seorang wanita menikah dgn laki-laki yg tak sebanding/sekufu maka akadnya tetap sah” (Syekh Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâm wa Adillatuhui, Damaskus: Dar el-Fikr, juz 9, hal. 221).

 

Dengan pendapat di atas, kita sampai pada kesimpulan bahwa tak ada masalah perbedaan kekayaan dalam pernikahan—akad tetap sah. Juga dalam persoalan beda status sosial, Islam tak melarang orang yg berbeda status sosial buat menjalin hubungan pernikahan. Seperti pernikahan antara orang kaya dgn orang miskin, pejabat dan rakyat jelata, keturunan nabi dan bukan keturunan nabi, dan lain-lain.

 

Kendati demikian, kacamata dalam memandang status sosial ini luas sekali. Bisa saja dalam pandangan agama tak bermasalah, namun dalam lingkungan sosial dan individu bermasalah. Simpelnya, bila ada orang kaya menikah dgn orang miskin, orang mulia dgn orang yg hina, selalu saja tak lepas dari cibiran dan omongan orang lain. Sebagaimana kata orang bijak, “Kita yg menjalani hidup, orang lainlah yg mengomentarinya.” Pandangan budaya masyarakat setempat juga tak jarang mempengaruhi makna konsep setara dan tak sebuah pasangan. Wallahu a’lam.

 

 

Amien Nurhakim, mahasantri Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darussunnah

 

 





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.