“Sejak awal remaja, Abu Hanifah telah mendedikasikan hidupnya supaya menjadi seorang pebisnis ulung seperti ayahnya”. Statemen ini disampaikan oleh Syekh Wahbah bin Musthofa Az-Zuhayli dalam bukunya yg berjudul Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah (juz 2, hal. 132).
Dari kalimat pendek ini, ia berusaha menjelaskan bagaimana kegetolan Abu Hanifah terhadap dunia pasar dan impiannya sebagai entrepreneur sukses yg jujur lagi amanah.
Puncaknya, ia pun berhasil mewujudkan mimpinya itu. Abu Hanifah tak hanya mewarisi keilmuan dan kebijaksanaan Nabi, tapi juga jiwa bisnisnya yg luhur. Ada sekian banyak cerita ihwal kejujuran dan prinsip bisnis Abu Hanifah. Salah satunya ialah keharusan memberi tahu pembeli bila terdapat aib pada barang yg hendak dijualnya. Nyaris tak ditemukan komoditas beraib yg laku terjual kecuali antara dirinya dan pembeli menyetujui kekurangan pada barang tersebut. Kalau memang ada, pasti bukan Abu Hanifah pelakunya.
Seperti yg diceritakan dalam tulisan yg lalu ketika ia meminta partner bisnisnya, Hafsh buat menjualkan suatu baju beraib milik Abu Hanifah. Itu pun, setelah diketahui, semua hasil penjualannya langsung disedekahkan. Indah sekali prinsip bisnis putra Tsabit ini.
Bukti keluhuran jejak bisnis imam Nu’man ini terekam rapi menghiasi buku-buku sejarah mazhab fiqih, walau mungkin tak semua. Dorongan para ulama dan peneliti buat melakukan semua itu, tentu setelah melihat background Abu Hanifah sebagai seorang ulama. Sebab, ia lebih tenar sebagai seorang alim, pendiri mazhab fiqih ketimbang seorang pebisnis ulung.
Setelah mengenal Abu Hanifah yg pernah bergelut di dunia pasar, pertanyaanya, bagaimana kisah hijrah Abu Hanifah dari dunia pasar menuju halaqah intelektual? Sejak kapan mulai menjauhi pasar dan mendekati para ulama? Apa dan siapa motif dari perubahan ini?
Pertemuan Abu Hanifah dan Imam As-Sya’bi
Syekh Abu Zahroh dalam Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah (masih di juz dan halaman yg sama), menceritakan kisah pertemuan Abu Hanifah dgn imam as-Sya’bi, seorang ulama besar pakar hadist dari kalangan tabiin. Nama lengkapnya ialah Abu Amr Amir bin Syurahil al-Hamiri as-Sya’bi. Ia lahir di kota Kufah pada tahun 19 H, wafat dan dikebumikan di kota yg sama pada 103 H, dalam hitungan usia yg cukup senja, 84 tahun.
Pertemuan berkah inilah yg mengubah jalan hidup Abu Hanifah. Dan, sejak itu pula ia bertekad banting setir dari dunia pasar ke dunia para pelajar. Lumayan ampuh juga nasehat sang muhaddist kenamaan itu. Sebab, mampu memikat Abu Hanifah buat keluar dari kenikmatan dunia pasarnya dan memulai perjuangan baru di jalur intelektual.
Singkat kisah, suatu hari di tengah perjalanan menuju pasar, Abu Hanifah dipanggil oleh seorang berpakaian serba putih, bersurban rapi, tampak sangat berwibawa. Ternyata, dialah yg tenar disapa imam as-Sya’bi di Kufah.
Waktu itu, laki-laki berjenggot putih tersebut sedang duduk di tempat yg agak jauh dari jalan yg biasa dilalui Abu Hanifah. Tampaknya, ia memang sengaja menunggu putra sang saudagar sutra itu di sana.
Melihat Nu’man menuju pasar, ia pun memanggil dan bertanya:
إلى من تختلف؟
Artinya, “Anak muda, kau mau pergi ke mana?,” tanyanya santun bersahaja.
Nu’man remaja menjawab, Akhtalifu ila as-suq, “Aku hendak pergi ke pasar,” jawabnya penuh hormat. Mendengar jawaban Abu Hanifah, kakek tua itu pun langsung to the point. Memberi tahu apa maksud ia duduk menunggu di sana. As-Sya’bi mengatakan:
لم أعْنِ الإختلاف إلى السوق عنيت الإختلاف إلى العلماء
Artinya, “Anak muda, saya kurang setuju melihatmu bolak-balik ke pasar, saya berharap engkau punya simpati besar kepada para ulama, mengaji dan mengabdi kepada mereka.”
Kata-kata ini cukup membuat Abu Hanifah tercengang kaget. Sekonyong-konyong orang tak dikenal tadi menyarankannya meninggalkan dunia yg ia geluti dan senangi ketika ini. Terlebih, dunia itu ialah warisan dari leluhur, dan Nu’man telah bertekad buat menjadi seperti ayahnya.
Tak habis pikir, apa yg mau Nu’man katakan kepada orang itu. Akhirnya, dgn terbata-bata ia mengatakan, Ana qalilul ikhtilaf ila al-ulama, “Bagaimana mungkin, saya ini orang pasar, tak banyak bergelut dgn orang ‘langit’ semacam itu,” jawab Abu Hanifah merendah.
Lalu, imam Amir as-Sya’bi mengungkapkan apa yg membuatnya memberi saran demikian. Ternyata, ia memiliki firasat baik tentang pemuda yg satu itu. Tampaknya, as-Sya’bi telah mampu menerawang potensi besar yg tertanam dalam diri Abu Hanifah. Ulama besar itu mengatakan:
لا تفعل وعليك بالنظر في العلم ومجالسة العلماء فإني أرى فيك يقظة وحركة
Artinya, “Tolong jangan lakukan lagi! Kamu harus mulai bergelut di dunia intelektual dan banyak duduk dgn para ulama. Sebab, saya melihat potensi besar dan jiwa suci yg tumbuh dalam dirimu.”
Setelah itu, as-Sya’bi pun berlalu. Tinggal Abu Hanifah seorang diri, terpaku, dan tertunduk. Ia masih terngiang-ngiang dgn kata-kata seorang arif yg ditemuinya tadi. Abu Hanifah mengurung niatnya ke pasar. Ia memilih kembali lantaran gejolak batinnya yg tak menentu.
Beberapa hari kemudian, ia pun akhirnya memutuskan buat mulai membuka lembaran barunya. Sejak itulah ia menjadi seorang santri yg taat dan tekun belajar, tak pernah alpa dari pengajian para kiai di Kufah.
Suatu ketika, Abu Hanifah menceritakan kisah pertemuannya itu dgn as-Sya’bi. Di akhir cerita ia mengatakan:
فوقع من قلبي من قوله فتركت الإختلاف إلى السوق وأخذت في العلم فنفعني الله بقوله
Artinya, “Karena kata-kata as-Sya’bi itu, hari-hariku dirundung gelisah luar biasa. Akhirnya, dgn tulus kulepaskan dunia pasar dan mulai berkecimpung di dunia intelektual. Karena nasihat as-Sya’bi juga, Allah menyiramiku penuh manfaat,” kata Abu Hanifah mengenang masa lalunya.
Rupanya, inilah faktor mengapa Abu Hanifah begitu cepat meninggalkan dunia lamanya, sebab tak tahan dgn gundah gulana yg merundung hari-harinya.
Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bis shawwab.
Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus Ma’had Aly Situbondo, dan pendiri Komunitas Lingkar Ngaji Lesehan di Lombok NTB.