Sayyidah Hafshah binti Umar, Istri Nabi Muhammad Bergelar ‘Penjaga Al-Qur’an’

Nabi Muhammad menikahi Sayyidah Hafshah binti Umar pada bulan Sya’ban tahun ke-3 H. Ketika itu, usia Sayyidah Hafshah berusia 21 tahun—riwayat lain 18 dan 20 tahun- dan berstatus sebagai janda dari Khunais bin Hudzafah as-Sahmi.  Khunais ialah seorang yg termasuk memeluk Islam pada masa-masa awal. Dia pernah dua kali mengikuti hijrah; ke Habasyah Ethiopia dan ke Madinah. Dia wafat setelah mengalami luka parah dalam Perang Uhud.

Setelah Khunais meninggal dunia, Sayyidah Hafshah dipulangkan ke rumah bapaknya, Umar bin Khattab. Hal ini membuat Umar bin Khattab iba, susah, dan semakin menderita. Secara ekonomi, pada saat itu Umar bin Khattab dalam keadaan susah. Kehadiran Hafshah di rumahnya telah barang tentu menambah beban beratnya. Sementara secara sosial, Umar bin Khattab sedih melihat putrinya hidup menjanda. 

Mengetahui kondisi Umar seperti itu, Nabi Muhammad kemudian memutuskan buat melamar Sayyidah Hafshah. Dalam Bilik-bilik Cinta Muhammad (Nizar Abazhah dalam, 2018) dan Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW (M Quraish Shihab, 2018) disebutkan bahwa alasan Nabi Muhammad menikahi Sayyidah Hafshah ialah buat memperhatikan keluarga sahabatnya, baik Umar bin Khattab maupun Khunais bi Hudzafah yg gugur di medan perang.

 

Baca juga: Kisah Rumah Tangga Nabi bersama Sayyidah Saudah

Nabi Muhammad sadar bahwa Umar bin Khattab berperan besar dalam menegakkan panji-panji Islam pada masa-masa awal. Bagaimana Umar bin Khattab membela Islam, mempertaruhkan jiwa dan raganya demi tegaknya Islam. Nabi juga melihat bahwa Islam menjadi bermartabat semenjak Umar bin Khattab menyatakan diri menjadi pengikutnya.

Meski demikian, Nabi Muhammad tak langsung memberitahukan kemauannya itu kepada orang lain, termasuk Umar bin Khattab, kecuali Abu Bakar as-Shiddiq. Beliau simpan kemauannya buat mempersunting Hafshah tersebut buat beberapa saat. Beliau menunggu waktu yg tepat buat mengumumkan niatannya itu. 
   

Umar bin Khattab yg kondisinya semakin terjepit mendatangi Abu Bakar. Dia berharap sahabatnya itu bersedia menikahi anaknya, Sayyidah Hafshah. Abu Bakar hanya diam saja, pertanda menolak dgn halus. Umar kemudian menemui sahabatnya yg lain, Utsman bin Affan. Utsman meminta waktu beberapa buat menjawab permintaan Umar tersebut. Setelah beberapa hari, Umar kembali mendatangi Utsman. Kata Utsman, dirinya sedang tak mau menikah saat itu. 

 

Baca juga: Asma binti Yazid, Juru Bicara Sahabat Perempuan Masa Nabi Muhammad

Umar bin Khattab kemudian mendatangi Nabi Muhammad. Dia menceritakan kondisinya yg tak baik sebab Abu Bakar dan Utsman bin Affan menolak tawarannya buat menikahi Khafsah. Nabi merasakan penderitaan Umar. Sambil tersenyum, Nabi Muhammad berkata kepada Umar bin Khattab bahwa “Hafshah mau dinikahi orang yg lebih baik ketimbang Utsman, dan Utsman mau menikah dgn orang yg lebih baik dari Hafshah.” 

Umar bin Khattab menjadi lega setelah mendengar jawaban Nabi Muhammad tersebut. Meski tak diungkapkan secara eksplisit, Namun Umar bin Khattab tahu apa yg dimaksud Nabi Muhammad.  Dia kemudian pulang ke rumah buat memberitahukan kabar gembira itu kepada istri dan anaknya.

Sayyidah Hafshah dikenal sebagai seorang yg pandai membaca dan menulis, suatu keahlian yg masih jarang dimiliki seseorang pada saat itu, bahkan laki-laki sekalipun. Oleh sebabnya, dia ditetapkan Allah sebagai penulis pertama dan satu-satunya naskah Al-Qur’an di bawah pengawasan langsung Nabi Muhammad. Atas dasar itulah, Sayyidah Hafshah diberi gelar ‘Penjaga Al-Qur’an.’

 

Baca juga: Perhatian Nabi Muhammad terhadap Enam Hak Dasar Perempuan

Dia menuliskan naskah Al-Qur’an pada sejumlah media, di antaranya batu, tulang, kulit, papan, pelepah kurma, dan lainnya. Naskah Hafshah ini tersimpan dgn baik dan rapi. Hingga suatu ketika, ada upaya pengodifikasi Al-Qur’an pada masa kekhalifahan Abu Bakar. Naskah Al-Qur’an Hafshah tersebut kemudian diminta. Zaid bin Tsabit yg saat itu ditugaskan sebagai pantia kodifikasi Al-Qur’an mengonfrontasi hafalan para sahabat dgn naskah Hafshah. 

Hasilnya kemudian dituangkan ke dalam lembaran kulit dan disusun berdasarkan turunnya wahyu kepada Nabi. Sementara naskah Hafshah dihancurkan. Dia kemudian diberi naskah baru yg telah disusun Zaid bin Tsabit secara lebih rapi tersebut. Nantinya, naskah ini mau ‘disempurnakan’ pada masa kekhalifahan Ustman bin Affan sehingga menjadi naskah resmi Al-Qur’an.     

 

Baca juga: Kisah Rasulullah dan Wanita Bertangan Panjang

Sayyidah Hafshah juga dikenal sebagai seorang yg tak segan buat berbeda pendapat, bahkan dgn Nabi Muhammad sekali pun. Diriwayatkan bahwa suatu ketika Sayyidah Hafshah tak setuju dgn pernyataan Nabi Muhammad bahwa para sahabat yg mengikuti Perjanjian Hudaibiyah tak mau masuk neraka. Sayyidah Hafshah kemudian menyitir QS. Maryam ayat 71: “Tidak seorang di antara kamu kecuali mau melewatinya.”

 

 Nabi Muhammad kemudian membetulkan pemahaman Sayyidah Hafshah tentang ayat tersebut dgn membacakan ayat berikutnya (QS. Maryam ayat 71): “Kemudian Kami mau menyelamatkan orang-orang yg bertakwa dan membiarkan orang-orang yg zalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut.” 

Penulis: Muchlishon Rochmat
Editor: Alhafiz Kurniawan 





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.