Sejarah Awal Kemunculan Ilmu Musthalah Hadits

Setelah Rasulullah SAW wafat, estafet ajaran Islam dilanjutkan oleh para sahabat. Mereka menyebar ke berbagai daerah buat mengajarkan Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi. Sebagian besar ajaran itu disampaikan secara oral dari seorang sahabat ke sahabat yg lain dan dari satu tabi‘in ke tabi‘in yg lain.

Sebuah gebrakan baru dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar. Setelah bermusyawarah dgn Umar dan beberapa sahabat lainnya, ia mengambil kebijakan buat membukukan Al-Qur’an. Hal itu dilatarbelakangi oleh kekhawatiran mau lenyapnya Al-Qur’an sebab para penghafalnya banyak yg telah meninggal dunia.

Berbeda halnya dgn Al-Qur’an, hadits tak mendapatkan perlakuan yg sama. Ia tetap saja disebarkan secara oral dari mulut ke mulut. Pembukuannya dirasa belum diperlukan sebab para sahabat masih banyak dan kejujuran pada saat itu masih dijunjung tinggi.

Apabila seorang sahabat membutuhkan keterangan terkait sebuah persoalan misalnya, mereka cukup bertanya kepada sahabat yg lain. Lalu sahabat yg ditanya mau menjelaskannya sesuai dgn apa yg ia dengar dari Nabi ataupun sahabat-sahabat yg lain. Hadits tersebar secara natural tanpa ada kecurigaan mau adanya kebohongan ataupun kemunafikan dari para penuturnya.

Seiring perjalanan waktu, kehidupan sahabat tak lagi diselimuti oleh ketenteraman seperti masa-masa awal dahulu. Pergolakan politik serta banyaknya berita-berita bohong yg tersebar telah membuat hilangnya kepercayaan antara satu sama lain. Di saat yg sama, para pelaku bid’ah juga merajalela. Mereka dgn mudahnya menisbatkan sebuah perkataan kepada Nabi demi buat mendukung ide-ide bohong mereka. Sejak saat itu, para sahabatpun mulai selektif dalam menerima hadits. Mereka sangat berhati-hati dalam menerima ataupun menyampaikan sesuatu yg dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Terkait dgn hal ini, Imam Muslim (261 H) dalam Shahih-nya mengutip perkataan Ibnu Sirin (110 H) sebagai berikut.

لم يكونوا يسألون عن الإسناد، فلما وقعت الفتنة قالوا : سموا لنا رجالكم، فينظر إلى أهل السنة فيؤخذ حديثهم وينظر إلى أهل البدع فلا يؤخذ حديثهم

Artinya, “Para sahabat (awalnya) tak pernah menanyakan tentang isnad (silsilah berita). Ketika fitnah mulai tersebar, merekapun berkata (kepada setiap pembawa berita), “Sebutkan kepada kami silsilah keilmuan kalian! Lalu mereka memilah informasi dari ahli sunah dan ahli bid’ah. Hadits yg disampaikan oleh para ahli sunah mereka terima. Sementara itu hadits yg bersumber dari ahli bid’ah (yg suka berbohong) mereka tolak.”

Karena sebuah berita tak dapat diterima kecuali setelah mengetahui silsilah pembawanya (sanadnya), maka pada masa-masa selanjutnya mulailah berkembang ilmu al-jarah wat ta’dil, yaitu ilmu buat mengetahui kredibilitas pembawa berita. Begitu juga berkembang ilmu tentang asal-usul pembawa berita (ilmu rijal) dan ilmu sanad buat membuktikan apakah silsilah sebuah berita bersambung hingga kepada Nabi atau terputus dan ilmu tentang sebab-sebab tertolaknya sebuah berita atau yg disebut juga dgn ilmu ilalul hadits dan lain sebagainya.

Fase ini berakhir dgn lahirnya beberapa karya yg fokus membahas masalah-masalah ini. karya yg dapat disebut antara lain ialah kitab Al-Muhadditsul Fashil baynar Rawi wal Wa’i karya Al-Qadhi Ar-Ramahurmuzi (360 H), kitab Ma’rifatu ‘Ulumil Hadits karya Al-Hakim An-Naisaburi (405 H), kitab Al-Mustakhraj ‘ala Ma’rifati ‘Ulumil Hadits karya Abu Nu’aim Al-Ashbahani (430 H), Al-Kifayah fi ‘Ilmir Riwayah karya Al-Khatib Al-Baghdadi (463 H), dan lain sebagainya. Wallahu a’lam. (Yunal Isra)





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.