Ka’bah yg berada di dalam Masjidil Haram Makkah merupakan bangunan ibadah tertua di muka bumi ini. Bangunan yg berbentuk kubus ini diriwayatkan dibangun pertama kali oleh Nabi Adam AS. Karena kekunoannya, bangunan ini disebut juga sebagai bayt al-Athiq sebagaimana tertera dalam Surat Al-Hajj ayat 29:
وَلْيَطَّوَّÙÙوا بÙالْبَيْت٠الْعَتÙيقÙ
“Dan thawaf (berkeliling) lah kalian di rumah yg kuno.â€
Al-Qur’an menyebutkan bahwa Ka’bah telah ada pada saat Nabi Ibrahim menempatkan Siti Hajar dan Nabi Ismail ketika masih bayi di lokasi tersebut, sebagaimana tercermin dalam Surat Ibrahim ayat 37:
رَبَّنَا Ø¥ÙنّÙÙŠ أَسْكَنْت٠مÙنْ Ø°ÙرّÙيَّتÙÙŠ بÙوَاد٠غَيْر٠ذÙÙŠ زَرْع٠عÙنْدَ بَيْتÙÙƒÙŽ الْمÙØَرَّم٠رَبَّنَا Ù„ÙÙŠÙÙ‚ÙيمÙوا الصَّلَاةَ Ùَاجْعَلْ Ø£ÙŽÙْئÙدَةً Ù…ÙÙ†ÙŽ النَّاس٠تَهْوÙÙŠ Ø¥ÙلَيْهÙمْ وَارْزÙقْهÙمْ Ù…ÙÙ†ÙŽ الثَّمَرَات٠لَعَلَّهÙمْ يَشْكÙرÙونَ
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yg tak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yg dihormati, ya Tuhan kami (yg demikian itu) supaya mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.”
Setelah meninggalkan istrinya, Siti Hajar, dan putranya, Nabi Ismail, Nabi Ibrahim kemudian datang lagi ke tempat tersebut sebab mendapatkan wahyu buat mendirikan bangunan Ka’bah. Bersama Nabi Ismail beliau kemudian mendirikan Ka’bah, sebagaimana diceritakan dalam Surat al-Baqarah ayat 127:
ÙˆÙŽØ¥Ùذْ يَرْÙَع٠إÙبْرَاهÙيم٠الْقَوَاعÙدَ Ù…ÙÙ†ÙŽ الْبَيْت٠وَإÙسْمَاعÙيل٠رَبَّنَا تَقَبَّلْ Ù…Ùنَّا Ø¥Ùنَّكَ أَنْتَ السَّمÙيع٠الْعَلÙيمÙ
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): “Ya Tuhan kami terimalah ketimbang kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Ketika perintah buat shalat diberikan kepada Nabi Muhammad pasca peristiwa Isra’ Mi’raj, Nabi Muhammad yg saat itu berada di Makkah tentu saja menghadap Ka’bah saat melaksanakan shalat. Hingga kemudian Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, maka turunlah perintah Allah supaya menghadap ke Baitul Maqdis (Masjidil Aqsa, Palestina) ketika shalat. Kejadian ini tergambar dalam karya Imam Abu al-Fida Ismail Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1419H), juz I, hal. 272:
كَانَ أَوَّل٠مَا Ù†ÙسÙخَ Ù…ÙÙ†ÙŽ الْقÙرْآن٠الْقÙبْلَةÙØŒ ÙˆÙŽØ°ÙŽÙ„ÙÙƒÙŽ أَنَّ رَسÙولَ اللَّه٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ لَمَّا هَاجَرَ Ø¥ÙÙ„ÙŽÙ‰ الْمَدÙينَةÙØŒ وَكَانَ أَهْلÙهَا الْيَهÙودَ، أَمَرَه٠اللَّه٠أَنْ يَسْتَقْبÙÙ„ÙŽ بَيْتَ الْمَقْدÙسÙØŒ ÙÙŽÙَرÙØَت٠الْيَهÙودÙØŒ Ùَاسْتَقْبَلَهَا رَسÙول٠اللَّه٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ بÙضْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا، وَكَانَ رَسÙول٠اللَّه٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ ÙŠØب قبلة إبراهيم، وكان يَدْعÙÙˆ وَيَنْظÙر٠إÙÙ„ÙŽÙ‰ السَّمَاءÙ
“Yang pertama kali di-naskh dalam Al-Qur’an ialah kiblat, bahwasanya Rasulullah SAW ketika hijrah ke Madinah, sementara penduduk madinah mayoritas ialah Yahudi, Allah memerintahkan buat menghadap Baitul Maqdis (ketika shalat), maka berbahagialah orang Yahudi. Rasulullah menghadap Baitul Maqdis (ketika shalat) selama lebih dari 10 bulan, padahal beliau lebih senang pada kiblatnya Nabi Ibrahim (Ka’bah), maka beliau seringkali berdoa dan menghadap ke langitâ€
Maka turunlah perintah yg ditunggu-tunggu oleh Rasulullah. Kejadian ini terjadi Pada bulan Rajab tahun kedua hijrah. Hal ini tercermin dalam Surat al-Baqarah ayat 144:
قَدْ نَرَى تَقَلّÙبَ وَجْهÙÙƒÙŽ ÙÙÙŠ السَّمَاء٠ÙÙŽÙ„ÙŽÙ†ÙÙˆÙŽÙ„Ùّيَنَّكَ Ù‚Ùبْلَةً تَرْضَاهَا ÙÙŽÙˆÙŽÙ„ÙÙ‘ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجÙد٠الْØَرَام٠وَØَيْثÙمَا ÙƒÙنْتÙمْ ÙَوَلّÙوا ÙˆÙجÙوهَكÙمْ شَطْرَهÙ
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh Kami mau memalingkan kamu ke kiblat yg kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya.â€
Peristiwa berpalingnya arah kiblat ini terjadi saat beliau sedang melaksanakan shalat berjamaah di sebuah masjid di pinggiran kota Madinah. Untuk mempertahankan bukti sejarah, hingga kini, masjid tersebut masih mempertahankan 2 mimbar, satu menghadap ke Ka’bah dan satu lagi menghadap ke Baitul Maqdis, dan disebut dgn Masjid Qiblatain (dua kiblat).
Perubahan kiblat ini memberikan suasana gembira di hati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebab Allah Azza wa Jalla telah mengabulkan harapan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebaliknya, bagi kaum Yahudi, perubahan ini merupakan pukulan telak. Karena dugaan mereka selama ini, ternyata salah total dan terbantahkan. Oleh sebab itu, mereka sangat geram dan melontarkan desas-desus yg tak sedap dgn menyebutkan bahwa Nabi Muhammad ialah orang yg plin-plan, seketika shalat menghadap kesini dan kesana.
Allah SWT lalu menurunkan ayat guna menghancurkan desas desus tersebut. Ketika kaum Yahudi menebarkan isu bahwa kebaikan hanya dapat diraih dgn cara shalat menghadap Baitul Maqdis, turunlah ayat 177 dalam Surat al-Baqarah:
لَيْسَ الْبÙرَّ أَنْ تÙوَلّÙوا ÙˆÙجÙوهَكÙمْ Ù‚Ùبَلَ الْمَشْرÙق٠وَالْمَغْرÙب٠وَلَٰكÙنَّ الْبÙرَّ مَنْ آمَنَ بÙاللَّه٠وَالْيَوْم٠الْآخÙر٠وَالْمَلَائÙكَة٠وَالْكÙتَاب٠وَالنَّبÙيّÙينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ ØÙبّÙÙ‡Ù Ø°ÙŽÙˆÙÙŠ الْقÙرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكÙينَ وَابْنَ السَّبÙيل٠وَالسَّائÙÙ„Ùينَ ÙˆÙŽÙÙÙŠ الرّÙقَاب٠وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمÙÙˆÙÙونَ بÙعَهْدÙÙ‡Ùمْ Ø¥Ùذَا عَاهَدÙوا Û– وَالصَّابÙرÙينَ ÙÙÙŠ الْبَأْسَاء٠وَالضَّرَّاء٠وَØÙينَ الْبَأْس٠ۗ Ø£ÙولَٰئÙÙƒÙŽ الَّذÙينَ صَدَقÙوا Û– ÙˆÙŽØ£ÙولَٰئÙÙƒÙŽ Ù‡Ùم٠الْمÙتَّقÙونَ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, mau tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi, memberikan harta yg dicintainya kepada kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yg memerlukan pertolongan), dan orang-orang yg meminta-minta, (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yg menepati janjinya apabila dia berjanji, dan orang-orang yg sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yg benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yg bertakwa.â€
Rupanya, perubahan arah kiblat ini, selain sebagai jawaban atas doa Nabi Muhammad, juga merupakan sebentuk ujian yg Allah berikan buat membedakan mana yg imannya asli atau palsu. Ini tergambar dalam Surat al-Baqarah ayat 143:
وَمَا جَعَلْنَا الْقÙبْلَةَ الَّتÙÙŠ ÙƒÙنْتَ عَلَيْهَا Ø¥Ùلَّا Ù„Ùنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبÙع٠الرَّسÙولَ Ù…Ùمَّنْ يَنْقَلÙب٠عَلَىٰ عَقÙبَيْه٠ۚ ÙˆÙŽØ¥Ùنْ كَانَتْ لَكَبÙيرَةً Ø¥Ùلَّا عَلَى الَّذÙينَ هَدَى اللَّه٠ۗ وَمَا كَانَ اللَّه٠لÙÙŠÙضÙيعَ Ø¥ÙيمَانَكÙمْ Ûš Ø¥Ùنَّ اللَّهَ بÙالنَّاس٠لَرَءÙÙˆÙÙŒ رَØÙيمٌ
“Dan Kami tak menjadikan kiblat yg menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan supaya Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yg mengikuti Rasul dan siapa yg membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi beberapa orang yg telah diberi petunjuk oleh Allah, dan Allah tak mau menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayg kepada manusia.â€
Demikian, semoga dapat menjadi pengingat bagi kita semua. Wallahu a’lam bi shawab.
(Muhammad Ibnu Sahroji)Â
Uncategorized