Transaksi Jual Beli Online Disabilitas Netra dalam Fiqih Muamalah

Para ulama ushul fiqih sering kali mendefinisikan maslahah mursalah sebagai:

ما لم يشهد الشرع لاعتباره ولا لإلغائه بدليل خاص

Artinya, “Sesuatu yg tak dijumpai adanya penjelasan dari syara’ dan pembatalannya/pengabaiannya lewat dalil yg bersifat spesifik,” (Muhammad bin Husain bin Hasan Al-Jizany, Ma’alim Ushul al-Fiqhi ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, [Madinah, Dar Ibn Jauzy: tanpa tahun], halaman 243).

Beberapa nash syari’ah yg menyatakan adanya dispensasi (rukhshah) pada beberapa praktik peribadatan, dan muamalah, menunjukkan bahwa segala bentuk pengamalan keagamaan harus dapat menghilangkan masyaqqah (kesulitan), ‘adamul harj (menghilangkan unsur yg memberatkan), dan hukum diterapkan secara tadarruj (melalui tahapan) pada praktiknya. Hal ini disinggung dalam firman Allah SWT:

مَّا كَانَ عَلَى النَّبِيِّ مِنْ حَرَجٍ فِيمَا فَرَضَ اللَّهُ لَهُ ۖ سُنَّةَ اللَّهِ فِي الَّذِينَ خَلَوْا مِن قَبْلُ ۚ وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ قَدَرًا مَّقْدُورًا
 

Artinya, “Tidak ada keberatan apapun pada Nabi tentang apa yg telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yg demikian) sebagai sunnatullah pada nabi-nabi yg terdahulu. Dan ialah ketetapan Allah itu bersifat ditentukan kadarnya dan terukur.” (Surat Al-Ahzab ayat 38).

Ketika menjelaskan mengenai makna qadaran maqduran, Ibnu Zaid sebagaimana dinuqil riwayatnya oleh At-Thabary (w. 350 H), menjelaskan:

إن الله كان علمه معه قبل أن يخلق الأشياء كلها، فأتمه في علمه أن يخلق خلقا، ويأمرهم وينهاهم، ويجعل ثوابا لأهل طاعته، وعقابا لأهل معصيته، فلما ائتمر ذلك الأمر قدره، فلما قدره كتب وغاب عليه؛ فسماه الغيب وأم الكتاب، وخلق الخلق على ذلك الكتاب أرزاقهم وآجالهم وأعمالهم، وما يصيبهم من الأشياء من الرخاء والشدة من الكتاب الذي كتبه أنه يصيبهم 

Artinya, “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui terhadap segala sesuatu sebelum diciptakan seluruhnya. Allah sempurnakan di dalam Ilmu-Nya hal ihwal penciptaan makhluk. Lalu Dia perintahkan kepada mereka (suatu perintah) dan melarang mereka (suatu larangan). Lalu Dia jadikan pahala bagi hamba yg taat kepada-Nya, serta siksa bagi ahli maksiat. Ketika Dia perintahkan suatu ketentuan, maka Dia tentukan kadarnya. Dan ketika telah Dia tentukan kadarnya, maka tertulislah kadar itu, lalu menghilang. Itulah yg dinamakan dgn Al-Ghaib dan Ummul Kitab. Lalu Allah tetapkan di atas kitab itu rezeki para makhluk, ajalnya, dan amal-amal mereka. Segala apa yg menimpa para makhluk, baik itu berupa kenikmatan maupun kesulitan, semuanya telah tertulis di dalam Kitab itu bahwa hal itu pasti terjadi.” (Tafsir At-Thabary, juz 10, halaman 304).

Secara tegas dalam penggalan penafsiran ini disebutkan bahwa segala sesuatu ada kadarnya dan ada batas toleransinya. Berbicara mengenai batas toleransi, secara tak langsung pikiran kita diarahkan pada filosofi ketetapan hukum rukhshah (dispensasi syari’ah).

Bagaimana suatu dispensasi syariah (rukhshah) itu diberikan, telah pasti disertai dgn adanya batasan-batasan (dhabith). Batas toleransi ini kemudian menjadi urusan ijtihadi yg senantiasa diperdebatkan oleh para ulama mujtahid sejak masa generasi salaf al-shalih hingga munculnya para fuqaha kontemporer. 

Misalnya, hukum asal dari jual beli ialah mensyaratkan harusnya barang dapat di-ru’yah (melihat barang) dgn instrumen mata (bashar). Ru’yah ini hanya dapat dilakukan dalam jual beli konvensional (saling bertemu muka antara dua orang yg berakad). 

Pada jual beli secara salam (akad pesan), unsur melihat barang (ru’yatul mabi’) ini kemudian didekati melalui pendekatan harus dapat ditunjukkan spesifikasinya (maushuf). Tidak berhenti sampai di situ, ternyata pendekatan itu juga harus disertai dgn fid dzimmah, yaitu barangnya harus dapat dijamin.

Jaminan yg dimaksud di sini ialah berkaitan dgn aib (cacat) atau tak sesuainya barang dgn ciri/spesifikasi yg sebelumnya telah disebutkan. Jika tak sesuai, maka harus dapat dikembalikan, dan pedagang harus setuju. Jika sesuai atau sebab adanya sedikit cacat, sementara pembelinya ridha dgn sedikit cacatnya itu, maka kewajiban terjaminnya barang oleh penjual, secara otomatis menjadi berakhir, sebab unsur keridhaan itu.

Itulah sebabnya, maka ditetapkan wajib adanya syarat khiyar (opsi memilih antara membatalkan atau melanjutkan transaksi), khususnya pada jual beli dgn akad salam atau salaf (pesan).

Nah, yg menjadi pertimbangan para fuqaha, khususnya kalangan Syafiiyah ialah ketika yg melakukan jual beli akad salam itu seorang a’ma ashli yg mengalami cacat bawaan sejak lahir. Mau dianggap tak sah, hukum “akad salam” secara tegas dipandang sah oleh syariat. Hendak diperbolehkan dgn hanya menyebutkan ciri-ciri spesifik barang, pada faktanya pihak penyandang disabilitas netra belum pernah mengetahui barangnya, serta tak populer dalam benak/baygannya.

Berangkat dari kasus ini, maka diperlukan berbagai upaya-upaya pendekatan hukum (taqriban). Karena statusnya merupakan “pendekatan”, maka telah pasti bahwa hukum yg ditemukan nantinya taklah bersifat qath’i, melainkan berstatus zhanny (relatif).

 

Baca Juga: Bentuk-bentuk Cara Transaksi Jual Beli dalam Perspektif Fiqih

Yang diperlukan dalam upaya melakukan pendekatan hukum ini bagi disabilitas netra ialah keharusan mempertimbangkan beberapa sisi atau hal terkait dgn personnya, yaitu: pertama, bagaimanapun juga, pihak disabilitas netra itu membutuhkan barang. Pergi sendiri ke pasar justru dapat jadi memberatkan dirinya, dan justru dapat jadi ia butuh membayar orang buat mengantarnya. Dan itu pasti membutuhkan biaya ekstra. Kedua, hal yg memberatkan dari pihak disabilitas netra ini harus dihilangkan. Caranya? Meminta orang lain dalam membantunya melakukan akad pesan (salam) barang, dan sekaligus mewakilinya dalam penerimaan barang yg dipesan (qabdhu).

 

Baca Juga: Serah-Terima (Qabadh) pada Transaksi E-Commerce dalam Fiqih Muamalah

Upaya terakhir dgn menghadirkan wakil bagi pihak disabilitas netra ini sebenarnya juga belum final, sebab ru’yah-nya wakil bagi disabilitas netra sejak lahir statusnya juga masih diperselisihkan keabsahannya, sebab adanya wakil ialah mewakili pihak yg mewakilkan, dan harus melakukan hal sesuai dgn yg diperintahkan muwakkil. Bagaimana wakil mau melakukan apa yg diperintahkan oleh muwakkil, sementara muwakkil sendiri tak pernah mengetahui langsung barang yg dipesan, apalagi lewat jalur online?

 

Baca Juga: Praktik Jual Beli yg Mengadung Riba dalam Fiqih Muamalah

Salah satu tanda pemutus akhir bagi kebolehan transaksi disabilitas netra tersebut ialah sebab urusan maslahah hajiyah-nya penyandang disabilitas netra. Maslahah hajiyah tersebut ialah berupa penyandang disabilitas netra ini harus berpakaian, harus makan dan harus punya papan. Bagaimana ia mau mencukupi kebutuhannya bila akad salam-nya kemudian diputuskan sebagai tak sah?

 

Baca Juga: Kajian Fiqih Muamalah Terapan: Akad

Inilah pentingnya memperhatikan dan mendahulukan maslahah hajiyah (kemaslahatan yg didasarkan pada keperluan) itu. Sementara masalah pemenuhan syarat dan rukun secara sempurna hanya merupakan maslahah tahsiniyah atau takmiliyah. Artinya, kesempurnaan di sini hanya merupakan unsur pelengkap semata dan bukan unsur primer. Unsur yg utama ialah pemenuhan keperluan disabilitas netra sehingga buat itu diperlukan dispensasi syariah (rukhshah) demi kemaslahatan. Wallahu a’lam bis shawab.

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah-Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.