Membahas tentang 4 Etika Pendakwah menurut KH Bisri Musthofa

Dalam sejarah perkembangan Islam, posisi dakwah dgn beragam metodenya menempati tempat yg sentral dan terpuji. Karena itu, posisi dai (pendakwah) juga penting sebab menjadi salah satu instrumen penentu dalam perkembangan Islam.

Seiring dgn waktu, aktivitas dakwah ternyata berkembang, hingga dalam batas tertentu, seakan mengabaikan norma dan etika. Kegelisahan ini pula yg menjadikan KH Bisri Musthofa menuliskan sebuah kitab kecil berjudul Zâduz Zu‘amâ’ wa Dakhîratul Khuthabâ’ (bekal para pemimpin dan pendakwah).

Kiai Bisri sebagai tokoh pesantren yg lihai dalam dakwah lisan dan tulisan meringkas etika dai menjadi empat:

  1. Lakukan apa yg disampaikan.

Dalam berdakwah yg mempunyai karakter mengajak, dai semestinya “turut serta” dan larut dalam ajakan kebaikan tersebut. Materi dalam dakwah yg berisi kebaikan, dan disampaikan kepada orang lain, semestinya menjadi bahan refleksi diri dan membetot kesadaran supaya dai-lah orang pertama yg seharusnya melakukan apa yg disampaikan. Hal ini, menurut Kiai Bisri mampu menimbulkan atsar (bekas) pada diri audiens, sehingga perkataan dai dapat didengar dan diikuti (hal. 12).

KH Bisri mengutip Surat al-Shaff ayat 3 buat menguatkan etika yg pertama. Allah berfirman:

كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللّٰهِ اَنْ تَقُوْلُوْا مَا لَا تَفْعَلُوْنَ

Artinya: “(Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah bila kamu mengatakan apa-apa yg tak kamu kerjakan.”

  1. Santun dan rendah hati.

Mempunyai perilaku yg bagus (sîrah ḫasanah) dan adab terpuji (adab mardliyyah), seperti tak sombong dan rendah hati terhadap sesama, ialah etika yg selaras dgn konsep dakwah dan kepemimpinan yg disampaikan Kiai Bisri dalam mukaddimah kitab ini. Berlaku santun (rifq), tak keras, dan tak mudah mengumpat dan mencaci ialah sikap yg semestinya ada dalam diri penyampai dakwah.

Perilaku yg bagus ini terasa penting supaya masyarakat tak menghina dai disebabkan sikap dan cara tutur yg kurang terpuji (hal. 12). KH Bisri menyitir Surat Luqman ayat 18:

وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًاۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۚ

Artinya: “Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (sebab sombong) dan janganlah berjalan di bumi dgn angkuh. Sungguh, Allah tak menyukai orang-orang yg sombong dan membanggakan diri.

  1. Memiliki visi kemaslahatan audiens/pengikut (mashâliḫ mutbi‘în) dgn belas kasih dan penuh kerahmatan (al-ra’fah wa al-raḫmah).

Etika berdakwah ini semestinya memberikan peringatan kepada dakwah mau efek, baik sosial maupun lainnya, atas materi dakwah yg disampaikan. Oleh sebab itu, saran Kiai Bisri, penyampaian dan materi dakwah semestinya berisi dan disampaikan dgn penuh belas kasih dan keramahan (hal. 13). KH Bisri menyampaikan karakteristik Rasulullah yg tertuang dalam Surat al-Taubah ayat 128, Allah berfirman:

لَقَدْ جَاۤءَكُمْ رَسُوْلٌ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ

Artinya: “Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, yg tak tahan melihat penderitaanmu, yg sangat mengmaukan (keimanan dan keselamatan) bagimu, serta penyantun dan penyayg terhadap orang-orang yg beriman.”

Karakter Rasulullah yg tertuang dalam ayat tersebut ialah bahwa Rasulullah bersifat empati terhadap umatnya. Selain itu, Rasulullah juga memiliki sikap yg penuh belas kasih dan penyayg dan mengmaukan kebaikan pada umatnya. Inilah esensi etika dai yg bervisi kemaslahatan, dan bila dikerjakan dgn baik, efektivitas dakwah lebih mudah diterima, dan perubahan sosial yg berdimensi kebaikan mau mudah direalisasikan.

  1. Pemaaf dan toleran.

Dai semestinya memiliki sikap kelapangan hati buat memafkan (baḫr al-‘afw) dan toleransi (al-samâah) serta perangai yg menyenangkan dan menggemberikan (hal.13). KH Bisri mengingatkan tentang respons Allah tentang sikap kelembutan Nabi Muhammad ketika berdakwah, dalam Surat Ali Imran 159, Allah berfirman:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ

Artinya: “Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan buat mereka, dan bermusyawarahlah dgn mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yg bertawakal.”

Dalam ayat tersebut, kumulasi karakter dai yg terpuji terkumpul dalam pribadi Rasulullah dalam berdakwah. Sikap lemah lembut (layn dan rifq), tak keras dan kasar, berjiwa pemaaf, dan mengajak diskusi/berdialog dalam urusan tertentu, ialah sari pati etika dai yg dikontekstualkan kembali oleh Kiai Bisri Musthofa melalui karyanya, Zâduz Zua‘amâ wa Dakhiratul Khuthabâ’.

(Tulisan ini disarikan dari artikel berjudul “Dakwah Nusantara; Etika Dai dalam Zâd Al-Zu‘Amâ’ wa Dhakhîrat Al-Khuthabâ’ Karya KH Bisri Mustofa” yg telah dipresentasikan dalam Lokakarya Internasional dan Pelatihan Metodologi Penelitian Islam Nusantara, LTN NU Jawa Timur-Universitas Yudharta Pasuruan, 25-27 September 2019).

Mohamm Ikhwanuddin, Wakil Mudir Ma’had Aly An-Nur 1 Malang, dan
Darmawan, Dosen Senior UIN Sunan Ampel Surabaya.





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.