Abul Qasim asy-Syatibi: Perjalanan Ilmiah, Karya, & Karamahnya

Dalam disiplin ilmu qira’at nama asy-Syatibi (bedakan dgn asy-Syatibi, Abu Ishaq Ibrahim bin Musa—pakar maqashid syariah, w. 790 H) ialah salah satu nama imam qira’at yg sangat terkenal dan menjadi rujukan bagi generasi setelahnya. Dia sangat pandai meracik dan berinovasi dalam pengembangan ilmu qira’at.

 

Imam asy-Syatibi berkontribusi besar dalam memudahkan para pengaji ilmu qira’at Al-Qur’an. Karya-karyanya di bidang ini mendapatkan apresiasi dari para pembesar ulama, baik yg semasa dgnnya maupun generasi setelahnya. Salah satu karyanya yg paling monomental ialah Hirz al-Amani wa Wajh al-Tahani fi al-Qira’at al-Sab’i atau yg lebih dikenal dgn Matan Syatibi.

 

Kitab ini hingga sekarang menjadi pegangan utama dalam pembelajaran ilmu qira’at di berbagai belahan dunia. Bahkan lazimnya—di dunia pengajaran ilmu qira’at Al-Qur’an—seseorang tak diizinkan buat mempelajari ilmu qira’at dan mempraktikkan ragam bacaan qira’at Al-Qur’an sebelum dia hafal matan ini.

 

Perhatian ulama terhadap karya ini tak terhitung jumlahnya. Banyak para ulama berlomba-lomba memberi syarah (penjelasan) atau komentar terhadap kitab ini sampai-sampai al-Jazari mengatakan: “Barangsiapa yg mempelajari qashidah Imam asy-Syatibi ini, maka ia mau tahu kadar anugrah yg Allah berikan kepadanya, utamanya qashidah al-Lamiyah (matan Syatibi) yg banyak para pakar sastra setelahnya tak mampu menandmauya. Kitab ini mendapat sambutan yg sangat luar biasa dan sangat terkenal, sampai-sampai saya tak tahu selain kitab ini yg seterkenal ini, bahkan (hampir saya mengatakan) selain disiplin ilmu ini tak ada yg seterkenal kitab ini, saya setiap Negara pasti mau ditemukan naskah kitab ini, bahkah disetiap rumah para penuntut ilmu pasti ada naskah kitab ini”. (Al-Jazari, Ghayat al-Nihayat fi Thabaqat al-Qurra’, 2: 22).

 

Perjalanan Ilmiah dan Karya-karyanya

Nama lengkapnya ialah al-Qasim bin Firruh (dalam bahasa Spanyol berarti besi) bin Khalaf bin Ahmad al-Raiyni al-Dharir (buta) asy-Syatibi al-Andalusi. Kuniyah-nya ialah Abul Qasim. Kata “asy-Syatibi” dinisbatkan kepada kota Xativa di Spanyol.

 

Ia lahir di penghujung tahun 538 H. Meskipun ia terlahir dalam keadaan buta, ada sebagian menyebutkan bahwa ia buta sebab faktor usia di akhir-akhir masa tuanya. Terlepas dari perdebatan itu, ia ialah ulama dan imam ahli qira’at yg sangat alim dalam bidang ilmu agama islam dan mampu melampau manusia kebanyakan pada umumnya. Bahkan al-Dzahabi menyifatinya dgn berbagai macam gelar; imam yg sangat alim (allamah), pintar, muhaqqiq (peneliti) yg cerdas dan jeli, luas hafalannya, multidisiplin ilmu, piawai dalam ilmu qira’at dan hujjah-hujjahnya, hafal hadits dan memiliki perhatian terhadap ilmu hadits, ustadz dalam bidang bahasa Arab, seorang panutan, zuhud, ahli ibadah yg taat kepada Tuhannya, pengayom, berwibawa yg besar kedudukannya (al-Dzahabi, Tarikh al-Islam wa Wafiyat al-Masyahir wa al-A’lam, 12: 913).

 

Perjalanan ilmiah pertamanya ia habiskan di kota kelahirannya, kota Xativa, dgn belajar Al-Qur’an. Setelah hafal al-Qur’an secara sempurna, dia mempertajam hafalannya kepada Abu Abdillah bin Muhammad bin Abu al-Ash al-Nafazi.

 

Imam asy-Syatibi merupakan sosok penuntut ilmu yg haus ilmu pengetahuan. Ia tak hanya mencukupkan diri belajar di kota kelahirannya tapi ia meninggalkan kampung halamannya demi menuntut ilmu. Kemauannnya menyelami lautan ilmu qira’at Al-Qur’an terus ia lanjutkan hingga ajal menjemputnya.

 

Setelah berguru kepada beberapa syaikh di kota kelahirannya, dan bekal hafalan Al-Qur’an dan seperangkat ilmunya dirasa cukup matang, maka buat merealisasikan cita-citanya tersebut, dia melakukan perjalanan menuntut ilmu ke tetangga kota kelahirannya, Valencia. Di sana dia juga belajar dan menyetorkan hafalan kitab al-Taisir fi Sab’I al-Qira’at karya Abu Amr al-Dani– yg telah dihafal sebelumnya–dan qira’at Al-Qur’an kepada Imam Abu al-Hasan Hudzail dan darinya pula ia mendengar periwayatan hadits.

 

Selain belajar kepada Abu Hasan Hudzail, dia belajar kepada Abu al-Hasan al-Nikmah, Abu Abdillah bin Sa’adah, Abu Muhammad bin Asyir Abu Abdillah bin Abdurrahim, Alim bin Abdul Aziz dan Abu Abdillah bin Hamid. Di kota ini Imam asy-Syatibi betul-betul mengasah intelektualnya hingga ia tampak kealimannya.

 

Setelah melakukan perjalanan ilmiah di Valencia, dia melanjutkan perjalananannya ke Tanah Suci buat menunaikan ibadaha haji. Dalam perjalanan melaksanakan ibadah haji, dia singgah terlebih dahulu di Negara Mesir, persisnya di kota Alexandria. Sebab pada zaman dahulu, buat bepergian jauh ke suatu negara ia harus melewati beberapa negera. Kebetulan Imam asy-Syatibi buat menuju ke kota Mekkah, dia melewati jalur Alexandria, yg notabene menjadi tempat berlabuhnya kapal-kapal besar. Di sana dia belajar kepada beberapa masyayikh salah satunya ialah Abi Thahir al-Silafi. (Al-Jazari, Ghayat al-Nihayat fi Thabaqat al-Qurra’/2/22).

 

Menurut al-Sakhawi, murid kinasih asy-Syatibi, asy-Syatibi meninggalkan kota Xativa sebab ia hendak diangkat menjadi seorang khatib oleh pemerintah setempat. Pada masa itu, tugas seorang khatib ialah memuji pemerintah di hadapan khalayak masyarakat umum, walau hal itu tak sesuai realita. Tugas ini dianggap berat dan pujian itu tak diperkenankan oleh syariat. Dia pun harus sabar menaggung beban yg sangat berat menghadapi hal ini dgn sabar dan manahan diri buat tak terburu-buru.

 

Untuk menghindari tugas di atas, al- Syatibi berencana melaksanakan haji sebab itu merupakan kewajiban baginya. Maka dgn siasat inilah, dia selamat dari tugas yg dibebankan kepadanya. Al-Sakhawi menuturkan bahwa perginya asy-Syatibi ke Mekkah menunjukkan bahwa dia ialah orang mukasyafah. (al-Dzahabi, Tarikh al-Islam wa Wafiyat al-Masyahir wa al-A’lam/12/913). Sebab bila ia tak mensisati buat pergi berangkat haji tentu saja ia tak mau mendapatkan kesempatan buat menghindari ancaman dan musibah yg menimpanya.

 

Pendiriannya di atas prinsip kebenaran ia tuangkan lewat bait syair gubahannya:

قلْ للأميرِ نصيحةً *** لا تركننَّ إلى فقيهِ
إن الفقــــيه إذ أتى *** أبوابكُم لا خيَر فيه

 

Artinya: “Sampaikan Nasehat kepada sang Amir, janganlah sekali-kali condong kepada ahli fiqh. Sesungguhnya bila ahli fiqh datang ke pintu-pintumu, maka ia tak ada kebaikan sama sekali”.

 

Ketika memasuki Negara Mesir, Gubernur Mesir al-Fadhil al-Bisani menyambutnya penuh hangat dan kemulyaan sebagai penghormatan atas keilmuannya. Di sana dia sangat dihormati dan ditempatkan di madrasah miliknya yg dibangun di daerah Darb al-Malukhia, Kairo. Di madrasah ini dia diangkat menjadi syaikh (guru besar) dan mendapatkan perhormatan yg sangat luar biasa dari masyarakat setempat.

 

Imam asy-Syatibi ialah seorang pendidik ulung yg tulus mendarma-baktikan jiwanya buat ilmu. Dengan ketulusannya dalam mendidik mengantarkannya pada posisi yg sangat tinggi. Tidak berselang diangkatnya asy-Syatibi menjadi guru besar, madrasah itu maju pesat dalam kajian keislaman utamanya dalam bidang Al-Qur’an dan qira’at. Banyak para penuntut ilmu yg datang dari berbagai penjuru dunia yg belajar kepadanya. Maka wajar bila kemudian al-Hafidz Abu Syamah al-Maqdisi menyanjungnya lewat sebuah syair:

 

رأيت جماعة فضلاء فازوا *** برؤية شيخ مصر الشاطبي
وكلهم يعظمه ويثني *** كتعظيم الصحابة للنبي

 

Artinya: Saya melihat banyak orang-orang mulya, mereka bahagia dapat berjumpa dgn asy-Syatibi, seorang Syaikh dari Mesir.

 

Mereka semua memulyakan dan menyanjungnya, sebagaimana sahabat terhadap Nabi. (Al-Jazari, Ghayat al-Nihayat fi Thabaqat al-Qurra’/2/22).

 

Di Mesir inilah, dia menulis dan merampungkan karya-karya monomentalnya,“Hirz al-Amani wa Wajh al-Tahanifi al-Qira’at al-Sab’i”, yg semula ditulisnya di kota kelahirannya hingga sampai pada bait ke 45,

 

جَعَلْتُ أَبَا جَادٍ عَلَى كُلِّ قَارِئٍ ***  دَلِيلاً عَلَى المَنْظُومِ أَوَّلَ أَوَّل
 

kemduian dilanjutkan di Mesir hingga selesai.

 

Selain kitab di atas, Imam asy-Syatibi juga merampungkan kitab-kitab yg lain, antara lain ialah: Aqilatu Atrab al-Qashaid fi Asna al–Maqashid atau juga dikenal dgn qashidah “Raiyah” (kitab tentang ilmu rasm), “Nadzimat al-Zuhr fi Add al-Ayat” (kitab tentang jumlah ayat) dan merampungkan ringkasan kitab al-Tamhid karya Ibnu Abdul Bar, karya ini dikenal dgn sebutan qashidah al-Daliyah yg berjumlah 500 bait.

 

Di antara karya-karya asy-Syatibi di atas, hanya Hirz al-Amani wa Wajh al-Tahanifi al-Qira’at al-Sab’I yg paling banyak mendapatkan sambutan dan apresiasi dari dari para ulama. Sebab penyusunan kitab ini dilalui dgn riyadhah dan ketulusan hati.

 

Diceritakan dari Imam al-Qurtubi bahwa Imam asy-Syatibi ketika rampung menyusun kitab “Matan asy-Syatibi”, ia tawaf mengelilingi Ka’bah sebanyak 12.000 kali. Di setiap tempat yg disyariatkan berdoa, dia memanjatkan doa kepada Allah seraya memohon supaya karyanya ini bermanfaat bagi orang-orang yg membacanya. Doa yg dia panjatkan ialah:

 

اللهم فاطر السموات والأرض عالم الغيب والشهادة رب هذا البيت العظيم انفع بها كل من قرأها (يعني قصيدة الشاطبية)

 

Artinya: “Ya Allah Pencipta langit dan bumi, Yang mengetahui Yang tersembunyi dan Yang tampak, Tuhan rumah ini, berilah manfaat darinya kepada siapa saja yg membaca karya ini (qashidah asy-Syatibiyah).

 

Diceritakan pula darinya, bahwa Imam asy-Syatibi bermimpi bertemu Nabi, ia berdiri di hadapannya kemudian mengucapkan salam kepadanya seraya menunjukkan karya itu kepada-Nya. Dia berkata: “ wahai Tuanku, Ya Rasulallah, lihatlah qashidah ini..!!

 

Kemudian Nabi mengambilnya dgn tangan-Nya yg penuh berkah itu seraya berkata: “Qashidah ini penuh berkah, barang siapa yg menghafalnya, ia layak masuk surga”. imam al-Qurtubi menambahkan: “Barang siapa yg mati sementara karya ini ada dalam rumahnya, maka ia masuk surga”. (Ahmad Mahmud al-Hafyan, Asyhar al-Musthalahat fi Fan al-Ada’ wa ilm al-Qira’at/86-87).

 

Karamah asy-Syatibi

Imam asy-Syatibi merupakan sosok seorang alim sekaligus kekasih Allah yg Dia anugrahkan keutamaan di bidang ilmu dan adab. Tidak sedikit ulama yg menyatakan bahwa dia ialah wali Allah termasuk salah satunya ialah al-Jazari. Dalam teks-teks turats dapat dijumpai komentar ulama bahwa ia ialah wali Allah.

 

Salah satu tanda kewalian seorang asy-Syatibi ialah ia mukasyafah (melihat dgn jernih) dgn suatu yg gaib dan terselubung.

 

Suatu ketika ada seorang murid yg berkemauan buat mendapatkan giliran setoran Al-Qur’an pertama kepada Imam asy-Syatibi, ia pun harus berangkat ke tempat pengajian sang Imam pagi-pagi buta. Dia pun berhasil datang lebih awal dibandingkan murid-murid yg lain. Sebagaimana biasa, Imam asy-Syatibi shalat subuh di masjid al-Fadhiliyah dan selepas shalat beliau membuka pengajian.

 

Dalam mengajar, sang Imam menerapkan aturan siapa yg datang paling awal ia yg paling berhak membaca pertama. Tapi anehnya, pada hari itu, dia berkata; siapa yg datang nomor urut dua hendaknya dia maju. Sang murid tadi bingung dan merenung kejadian apa yg menimpanya. Ternyata sang murid pada malam harinya mengalami jinabat (hadats besar), sebab mau setoran paling awal ia pun bergeges berangkat ke tempat pengajian hingga lupa mandi besar, sontak saja dia langsung ke belakang buat mandi besar di belakang masjid.

 

Setelah mendi besar, ia segera menuju tempat pengajian sebelum murid pertama setoran selesai. Setelah selesai, maka Imam asy-Syatibi berkata: siapa yg datang pertama hendaknya ia maju buat setoran. (Al-Jazari, Ghayat al-Nihayat fi Thabaqat al-Qurra’/2/22).

 

Menurut Imam Ali al-Qari, salah satu dari karamahnya ialah dia mampu mendengar suara adzan tanpa ada orang yg melantunkan adzan.

 

Dalam prilakunya sehari-hari ia tak banyak berbicara kecuali darurat dan sangat penting. Demikian pula, dalam melaksanakan pengajaran ia tak duduk kecuali dalam keadaan suci dan dalam keadaan yg sangat bagus, khusyuk dan tenang. Ia melarang dalam majlis pengajiannya membahas sesuatu kecuali ilmu dan Al-Qur’an. Saat dia mengalami sakit yg parah, ia tak mengadu dan mengeluh. Jika ditanyakan keadaannya, ia selalu berkata: saya sehat. (Ahmad Mahmud al-Hafyan, Asyhar al-Musthalahat fi Fan al-Ada’ wa ilm al-Qira’at/86-87).

 

Pada tahun 587 H, dia berkunjung ke negara Palestina ketika Raja al-Nasir Salahuddin Yusuf menaklukkan Baitul Maqdis, di sana ia sebulan selama bulan ramadhan dan melakukan I’tikaf di sana. Perjalanan ini dilakukan tiga tahun sebelum ajal menjemputnya.

 

Setelah itu, dia kembali ke Mesir dan menetap di sana sambil mengajar di madrasah al-Fadhiliyah hingga wafat. Dia wafat pada hari ahad setelah shalat ashar, 28 Jumadil Akhirah tahun 590 H pada usia yg masih muda 52 tahun. Dia dikuburkan di pemakaman al-Fadhil Abdurrahman al-Bisani, tepatnya di kaki gunung al-Muqatam, Mesir. Kuburan ini hingga kini ramai dikunjungi. Alhamdulillah penulis pernah ziarah ke makamnya saat menghafal kitab asy-Syatibi dan membaca qira’at asyarah al-Mutawatirah.

 

Imam al-Jazari mengartakan: Aku pernah ziarah ke makam ini, bersama sebagian murid-muridku, mereka menyetor hafalan matan asy-Syatibi kepadaku di samping kuburannya. Saya melihat keberkahan doa yg dikabulkan di samping kuburannya (Al-Jazari, Ghayat al-Nihayat fi Thabaqat al-Qurra’, 2: 22).

 

 

Ustadz Moh. Fathurrozi, Pengurus Jam’iyatul Qurra’ wal Huffadz NU Surabaya; Pembina Tahfidz Al-Qur’an Pondok Pesantren Darussalam Keputih

 





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.