Akhlak kepada Lingkungan

Dalam Islam, manusia memiliki derajat yg tinggi dalam kaitannya dgn makhluk lain di bumi. Manusia menjadi subjek yg aktif dibanding hewan, tumbuhan, air, tanah, udara, api, dan benda lainnya. Manusia dapat mengelola semuanya buat kepentingan manusia itu sendiri. Manusia memiliki diangkat sebagai khalifah yg mengemban amanah dalam merawat dan melestarikan bumi seisinya sebagai anugerah Allah SWT. (Al-Baqarah ayat 30).

 

Dalam kaitannya dgn akhlak terhadap lingkungan, manusia dituntut buat berinteraksi dgn baik. Manusia memiliki tanggung jawab pada pelestarian dan pemeliharaan lingkungan hidup. Bahkan, inti dari risalah Nabi Muhammad SAW atau agama Islam ialah berkasih sayg terhadap alam semesta. (Al-Anbiya ayat 107). Dengan demikian, perilaku umat Islam menjadikan kasih sayg terhadap alam semesta termasuk pelestarian lingkungan sebagai orientasi beragama mereka.

 

Umat Islam dalam bentuk yg konkret berkewajiban buat menjaga dan melestarikan ekosistem baik di darat maupun di laut. Umat Islam menanggung amanah yg besar dalam menjaga kualitas air, kesegaran udara, kebersihan tanah, dan bahkan memelihara suasana dari polusi suara. (KH Ali Yafie, Merintis Fiqih Lingkungan Hidup, [Jakarta, Ufuk: 2006]).

 

Kerusakan alam dan pencemaran lingkungan memberikan dampak buruk bagi manusia dan makhluk hidup lainnya. Kerusakan alam dan pencemaran lingkungan tak hanya mengenai pelaku, tetapi juga berimbas pada semua makhluk hidup. Adapun dampak kerusakan alam dan pencemaran lingkungan mau dirasakan oleh manusia itu sendiri. Surat Ar-Rum ayat 41 menyebutkan, “Kerusakan alam di darat dan di laut telah tampak sebab perbuatan tangan manusia supaya Allah menimpakan dampak kerusakan alam akibat sebagian perbuatan mereka supaya mereka kembali.”

 

Adapun lingkungan hidup atau al-bi’ah didefinisikan sebagai sebuah kawasan geografis di mana kita hidup dan berdiam di dalamnya atau sebuah kawasan dgn unsur hayati dan kandungan alam yg terdiri atas unsur manusia dan peradaban. (Nuruddin Mukhtar Al-Khadimi, Fiqhunal Mu’ashir, [Mesir, Darus Salam: 2015 M]).

 

Menurut Al-Khadimi, perhatian terhadap lingkungan dalam Islam tampak pada nash dan maqashidus dan qaidah syariah (tujuan dan kaidah dari risalah Islam). perhatian terhadap lingkungan hidup tampak pada nash-nash dan dalil agama yg sangat spesifik (juz’i) baik berupa ayat Al-Qur’an, hadits dan sunah nabi, dan kajian-kajian ilmiah dalam Islam yg berkaitan dgn manusia dan binatang, darat dan laut, angkasa dan kawasan darat.

Banyak sekali ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW baik secara eksplisit maupun implisit mengandung amanah bagi manusia buat menjaga lingkungan hidup. Surat Al-A’raf ayat 65 memerintahkan manusia buat memakmurkan, menjaga, dan mengolah bumi sesuai kebutuhan dgn meminimalisasi dampak kerusakannya. Sedangkan pada Surat Al-Qashash ayat 77 mengingatkan manusia supaya tak berbuat kerusakan di muka bumi. Perusakan alam dalam Surat Al-Qashash ayat 77 merupakan tindakan yg tak diridhai oleh Allah SWT.

 

Adapun tujuan dasar syariat atau risalah merupakan hifzhul hayat atau menjaga kelestarian kehidupan. Tujuan ini dapat tercapai melalui pelestarian alam dan pemeliharaan terhadap lingkungan. Sedangkan perusakan alam dan pencemaran lingkungan berdampak pada kualitas dan daya dukung lingkungan di mana manusia tinggal dan berdiam. Perusakan alam dan pencemaran lingkungan mau menurunkan bahkan merusak kualitas pangan, air, dan udara yg menjadi kebutuhan dasar manusia sebagai makhluk hidup (dharuri). Manusia sebagai makhluk hidup tak dapat hidup tanpa lingkungan yg bersih dan tak tercemar sebagai daya dukung yg memadai.

 

Akhlak kepada Hewan
Kalau Islam tak memperbolehkan seorang muslim buat berbuat buruk dan menyakiti non-Muslim, Islam juga berpesan supaya berbagi kasih sayg kepada segala makhluk bernyawa dan melarang mereka buat bersikap kasar terhadap hewan. Sejak 13 abad lalu, Islam menganjurkan umat manusia buat bersikap ramah terhadap hewan. Kasih sayg terhadap binatang merupakan salah satu cabang keimanan. Tindakan zalim dan menyakitkan hewan dapat mengantarkan umat Islam ke dalam neraka dan membuat murka Allah.

Rasulullah SAW pernah menceritakan seorang yg mendapati seekor anjing yg menjulurkan lidahnya sebab kehausan. Ia kemudian turun ke sumur buat mengambil air dan memberikan minum anjing kehausan tersebut sehingga terpenuhi hajatnya. “Allah berterimakasih dan memberikan ampun kepada orang tersebut,” kata Rasulullah. “Apakah menyaygi binatang juga berpahala ya Rasulullah?” tanya sahabat. “Pada setiap limpa yg basah terdapat pahala,” kata Rasulullah. (HR Bukhari).

Pada riwayat Bukhari, Rasulullah SAW menceritakan seorang wanita yg menyiksa kucing sebab menahannya tanpa memberikannya makan. Wanita tersebut kemudian dimasukkan ke dalam neraka. Sedangkan riwayat Muslim menceritakan, suatu hari Rasulullah SAW melihat seekor keledai yg wajahnya ditandai dgn besi panas. Pada hadits riwayat Abu Dawud, ketika menyaksikan wajah seekor keledai ditandai dgn besi panas, Rasulullah mengatakan, “Apakah belum sampai kepada kalian bahwa aku melaknat orang yg menandai binatang pada wajahnya dan memukul wajah binatang?”

Sebuah riwayat menyebutkan, sahabat Ibnu Umar RA melihat sejumlah orang menjadikan ayam hidup sebagai bulan-bulanan latihan panah. Ia mengatakan, “Sungguh, Nabi Muhammad SAW melaknat orang yg menjadikan makhluk bernyawa sebagai sasaran tembak.” Sedangkan Abu Dawud dan At-Tirmidzi meriwayatkan sahabat Ibnu Abbas SAW yg mengatakan, “Rasulullah SAW melarang manusia mengadu domba binatang.” Al-Bazzar dgn sanad yg sahih meriwayatkan Ibnu Abbas RA yg mengatakan, “Rasulullah SAW melarang keras manusia mengebiri binatang.”

Ulama dari Mazhab Syafi’i, Izzuddin bin Abdissalam, dalam karyanya, Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam, membahas hak-hak binatang. Menurutnya, pemenuhan hak binatang merupakan bagian dari upaya penciptaan maslahat dan penolakan mafsadat (dar’ul mafasid wa jalbul mashalih) yg menjadi pijakan agama Islam.

“Jenis ketiga yg masuk kategori kedua dalam rangka mendatangkan maslahat dan menolak mafsadat ialah kewajiban manusia dalam menjaga hak binatang ternak dan hewan. Manusia wajib menafkahi dgn pantas binatang tersebut seandainya binatang itu sakit dan tak dapat diambil manfaatnya; tak boleh membebaninya dgn pekerjaan yg tak sanggup dilakukannya; tak mengumpulkannya dgn hewan sejenis atau hewan jenis lain yg dapat menanduk, memecahkan, atau melukainya; harus menyembelih dgn cara terbaik bila mau menyembelihnya; tak mengoyak kulitnya, tak boleh mematahkan tulangnya sehingga melemahkan dan menghilangkan daya hidupnya, tak boleh menyembelih anaknya di hadapannya, tak boleh mengisolasinya, harus menyiapkan alas terbaik buat dia duduk mendeku; mengumpulkan jantan dan betina pada musim kawin; tak boleh membuang hasil buruannya; tak boleh melemparnya dgn alat (keras) yg dapat mematahkan tulangnya; atau melempar/membenturkannya dgn benda yg tak membuat halal dagingnya,” (Izzuddin bin Abdissalam, Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 2010 M], juz I, halaman 112). (Alhafiz Kurniawan)
 





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.