Adat atau Tradisi dalam Beribadah (3-habis)

Dalam berijtihad masing-masing ulama mempunyai blue print yg berbeda. Namun, secara substansial, para ulama tetap melandaskan ijtihad kepada dasar-dasar yg telah digariskan oleh Al-Qur’an dan Al-Hadis.

Dalam hal tak adanya legimitasi syara’, amalan-amalan yg tak dijalankan atau bahkan ditinggalkan Rasulullah SAW tak berarti otomatis dilarang, baik bersifat makruh atau haram. Coba kita menerungi sejenak fenomena kontemporer yg kita temui dalam kehidupan sehari-hari dan beberapa riwayat tentang kehidupan Nabi berikut ini:<>

Di era global yg serba canggih ini, kita tentu menemukan banyak sekali hal-hal baru yg belum pernah terjadi pada zaman Rasulullah SAW, sahabat tabi’in atau bahkan tabi’it tabi’in. Apakah kemudian kita mau mengatakan bahwa semua yg belum pernah ada pada zaman mereka harus kita tinggalkan?

Kalau kita katakan bahwa sesuatu yg ditinggalkan Rasulullah SAW harus kita tinggalkan juga, berada juta hal ‘haram’ yg telah kita lakukan, baik dari segi ibadah ataupun non-ibadah? Misalnya, pada zaman Rasulullah SAW, fenomena shalat tarawih tak dikemas seperti yg sekarang kita lihat di masjidil haram. Pelaksanaan shalat tarawih di sana sekarang kita lihat menggunakan sesuatu yg serba elektronik; pengeras suara, listrik, pendmau ruangan (AC), dan lain-lain.

Contoh lain pada sisi non-ibadah. Bukanlah Rasulullah SAW terkenal dgn kesahajaan dan kesederhanaannya? Beliau tak baju mahal dan elegan. Sekarang, berapa ratus juta muslim di dunia yg mengenakan baju-baju bermerk? Apakah mau kita katakan juga bahwa itu sebuah perilaku haram yg telah manjadi budaya? Tentu saja tak.

Kalau kita cermati dalil-dalil baik dari Al-Quran dan Al Hadis, pendapat ulama tampak sekali bahwa Allah SWT tak pernah menghitamputihkan legimitasi sebuah hukum. Silahkan kita kaji persoalan yg ada sesuai dgn kaidah-kaidah fikih yg telah ditetapkan semenjak lama. Jadi, janganlah kita membelanggu diri dalam beragama dgn mengharamkan semua persoalan-persoalan yg belum dilegimitasi syara’.

Marilah kita telisik beberapa sebab; kenapa Rasulullah SAW meninggalkan perkara tertentu? Apakah seluruhnya sebab diharamkan Allah SWT atau sebab alasan tertentu, misalnya Rasulullah SAW tak mau makan makanan tertentu sebab memang tak selera dan sama sekali bukan sebab haram –seperti orang Indonesia disuruh makanan mukhalil (makanan khas Mesir) yg agak gimana gitu rasanya. Mari kita perhatikan beberapa riwayat berikut ini:

a. Adakalanya, Rasulullah SAW meninggalkan sesuatu sebab hal itu belum pernah ia makan atau mencicipi sebelumnya. Maka ketika dihidangkan dihadapinya dan dipersilahkan buat dimakan beliau tak berselera. Misalnya tentang penolakan Rasulullah SAW makan daging dhab (nama binatang). Hal ini sebagaimana diceritakan oleh Ibnu Abbas RA.

b. Adakalanya, Rasulullah SAW meninggalkan sesuatu sebab beliau terlupa. Hal ini pernah terjadi dalam kasus Rasulullah SAW lupa melakukan sujud sahwi sebagaimana diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud RA.

c. Adalakanya, Rasulullah SAW meninggalkan sesuatu disebabkan beliau takut –bila itu dilakukan secara terus-menerus umat mau menygka bahwa aktifitas Rasulullah SAW itu sebuah kewajiban- yg harus dikerjakan umatnya. Hal ini sebagaimana diriwayatkan Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah melakukan jamaah sholat taraweh hanya 4 (empat) kali di bulan Ramadhan. Lainnya beliau lakukan sendiri di rumah.

Dan masih banyak lagi hal-hal yg ditinggalkan Rasulullah SAW yg tak sebab diharamkan Allah, tapi lebih sebab, misalnya lupa, khawatir atau tak selera sebab tak terbiasa.

Olah sebab itu merilah kita tunaikan ibadah ajaran-ajaran Islam secara proporsional. Hal-hal yg telah jelas-jelas wajib, harus ditunaikan yg haram, harus ditinggalkan; yg sunah lebih utama ditunaikan dan yg makhruh lebih baik ditinggalkan; yg mubah boleh ditunaikan dan boleh di tinggalkan. Ketentuan tentang ini semua telah diatur secara rapi dalam Al-Qur’an, Al-Hadis dan ketentuan-ketentuan detil yg dihasilkan dari ijtihad para ulama.

Sedangkan fenomena-fenomena baru, yg belum mendapatkan legimitasi hukum dari Al-Qur’an atau Al-hadis hukumnya mubah. Artinya, tak diperintahkan dan tak dilarang. Lantas bagaimana ? Hukumnya diserahkan kepada maslahat manusia. Jika hal itu memberikan implikasi positif, maka dianjurkan. Sebaiknya, bila memberikan implikasi negatif, maka dilarang. Dalam hal ini dikembalikan kepada ijtihad ulama yg berkompeten dan beberapa ulama mengkatagorikan hal ini sebagai tindakan bid’ah yg hasanah atau hal baru yg baik.

H Fadlolan Musyaffa’ Mu’thi, MA
Rais Syuriyah PCNU Mesir





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.