Analogi Tiga Pencari Harta Karun

Tamsil cerita di bawah ini telah cukup masyhur di kalangan pesantren. Dahulu ketika penulis masih di pesantren tak jarang mendengar cerita hikmah ini, biasanya disampaikan oleh rekan peserta acara kithobahan, jam’iyahan, muhadorohan atau apapun istilah buat nama kegiatan yg intinya ajang berlatih santri dalam berpidato. <>Belakangan penulis juga menjumpai kisah yg tak jauh berbeda disampaikan oleh KH. Ali Masyhuri Tulangan Sidoarjo. Meskipun banyak versi dalam kisah ini sebab pada umumnya disampaikan secara lisan, tapi  substansinya tetap sama.

Syahdan,  pada zamannya Raja Iskandar Zulkarnain, dikisahkan ada tiga orang penggembara  yg hendak mencari harta karun. Versi lain menyatakan mereka hendak mencari mata air keabadian, yg konon bila seseorang minum air tersebut ia mau dapat hidup abadi. Ketiga orang itu pun lalu pergi mengembara mengelilingi berbagai daerah demi menemukan harta karun atau mata air keabadian dimaksud.

Di tengah-tengah perjalanan, saat mereka bertiga sampai dan masuk di sebuah gua yg gelap dalam usaha mendapatkan apa yg mereka cari, tiba-tiba terdengar suara gaib seraya menyeru, “Wahai kalian bertiga. Di hadapan kalian terserak aneka pasir dan batu. Ambillah sebanyak mungkin pasir atau batu-batu itu. Nanti kalian mau menyesal begitu cahaya telah menerangi gua, sementara kalian belum sempat mengumpulkannya. Ingat! Nanti yg mengambil banyak  mau menyesal. Yang mengambil sedikit lebih menyesal lagi. Yang sama sekali tak mengambil, dia yg mau paling kecewa dan menyesal. Dan telah tak ada kesempatan lagi setelah itu.” Demikian seru suara gaib itu.

Respon tiga orang pengembara dalam menanggapi seruan suara gaib tersebut berbeda-beda. Orang pertama tanpa pikir panjang langsung mempercayainya. Dia pun segera mengumpulkan pasir dan batu hingga memenuhi kantong yg dibawanya. Sementara orang kedua dihinggapi keraguan antara percaya dan tak, tapi dia tetap mengambil pasir meski hanya secukupnya, sebagai antisipasi barangkali anjuran suara gaib itu membawa hoki. Dan pengembara ketiga yg paling mengabaikan imbauan suara gaib tadi tak ikut mengambil sedikitpun pasir maupun batu yg berserakan di dalam gua.    

Beberapa saat kemudian, tiba-tiba ketiga pengembara itu telah berada di ruangan yg luas dan terang benderang. Alangkah terkejut dan kecewanya mereka. Ternyata, pasir-pasir dan batu-batu yg harus mereka kumpulkan saat dalam gua ialah batu-batu berharga: emas, perak, intan, berlian, permata, dan mutumanikam.

Begitu mereka dapat menyaksikan apa yg terjadi sejatinya, orang pertama yg meskipun tadinya merasa telah mengambil banyak, ternyata masih tetap menyesal, ia megandaikan harusnya megambil lebih banyak lagi dari barang yg telah dibawa. Orang kedua yg cuma mengambil sedikit merasa lebih menyesal lagi kok kenapa ia hanya mengambil sekadarnya saja, padahal sangat memungkinkan buat mengambil lebih banyak. Tentu saja orang ketigalah yg paling menyesal lantaran tak mendapatkan apa-apa.

Kisah di atas, menurut Pengasuh Pondok Pesantren Bumi Solawat, Tulangan Sidoarjo, Gus Ali Masyhuri, hakikatnya menggambarkan dua alam kehidupan manusia: dunia dan akhirat. Kondisi gua yg gelap beranalogi dgn kehidupan dunia. Saat di dunia Allah memerintahkan manusia buat mengumpulkan bekal amal saleh sebanyak mungkin. Saygnya tak semua manusia menuruti. Di akhirat kelak, Allah mau menyingkap semua tabir-tabir kegelapan itu. Tidak ada lagi rahasia. Semuanya terlihat jelas. Manusia menyesal saat melihat amalnya. Ahli ibadah menyesal, orang awam menyesal. Manusia menyesal mengapa tak berzikir kepada Allah, padahal ketika berada di dunia begitu banyak kesempatan buat melakukannya. Seseorang mau menyesal mengapa hanya bersedekah seribu, padahal ia sanggup bersedekah lebih banyak lagi dari itu.

Kisah di atas juga relevan dianalogikan bagi para penuntut ilmu di pondok pesantren. Antara santri atau pelajar yg tekun dgn santri yg tak tekun sama-sama kelak mau menyesal setelah mereka pulang. Bahwa Santri yg telah merasa tekun mengaji ketika masih di pondok, setelah pulang masih juga menyesal, ternyata menyadari banyak kekukarangan dan kelemahan atas ilmu yg selama ini diperoleh, sehingga ia membanygkan andai waktu dapat diputar balik ia mau lebih tekun lagi dari yg dahulu. Bila yg sungguh-sungguh saja masih menyesal, maka tentu yg kurang tekun jelas lebih merasa menyesal lagi.

Begitulah kurang lebih analogi cerita ini. Walaupun hingga kini penulis belum mengetahui dari mana sumber kisah ini dirujuk, tetapi seyogianya kisah-kisah semacam ini memang patut dilestarikan sebagai salah satu bahan inspirasi supaya senantiasa melakukan muhasabah atau introspeksi diri.

M. Haromain,
Alumnus Pondok Pesantren Lirboyo Kediri;
Berdomisili di Pondok Pesantren Nurun ala Nur Bogangan Utara Wonosobo

 

=====

NU Online mengajak kepada pembaca semua buat berbagi kisah inspiratif penuh hikmah baik tentang diri sendiri atau orang lain. Silakan kirim ke email: [email protected]

          





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.