Anjuran Mengadmau Pesta Pernikahan dalam Islam

Pembaca yg budiman, salah satu kesunnahan dalam pernikahan ialah mengadakan walimah. Jika dilihat dari sudut pandang kebahasaan, walimah berasal dari kata الولم yg artinya “berkumpul”. Pemaknaan semacam ini dapat dipahami dari pertimbangan bahwa dalam walimah, kedua mempelai “berkumpul” dalam satu majelis. Sedangkan secara syariah, walimah didefinisikan sebagai undangan jamuan makan pascapernikahan.

Dikutip dari Syekh Muhammad bin Qasim dalam Fathul Qarib (Surabaya: Kharisma, 2000), halaman 236, hukum walimah ialah sebagai berikut:

 

والوليمة على العُرس مستحبة] والمراد بها طعام يتخذ للعرس… وأقلها للمكثر شاةٌ، وللمقل ما تيسر]

Artinya: “Walimah pernikahan hukumnya disunnahkan. Yang dimaksud dalam hal ini ialah jamuan makan ketika pernikahan. Paling sedikit hidangan bagi orang mampu ialah seekor kambing, dan bagi orang yg kurang mampu, hidangannya apa pun semampunya.”

Dari pemaparan di atas dapat kita pahami bahwa mengadakan jamuan makan atau walimah nikah, hukumnya ialah sunnah, dan minimal hidangan ialah seekor kambing bagi yg mampu atau bagi yg tak mampu maka dipersilakan menghidangkan jamuan semampunya.

Adapun waktu terbaik buat melaksanakan walimah ialah pascaakad nikah. Sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi pernah melaksanakan akad nikah di pagi hari, dan mengadakan jamuan makan walimah di siang harinya. Hal ini dijelaskan dalam kitab Subulussalam Syarh Bulughul Maram, juz I, halaman 154:

وصرح الماوردي من الشافعية بأنها عند الدخول.  قال السبكي : والمنقول من فعل النبي صلى الله عليه وآله وسلم أنها بعد الدخول. وكأنه يشير إلى قصة زواج زينب بنت جحش ، لقول أنس : أصبح النبي صلى الله عليه وآله وسلم عروساً بزينب، فدعا القوم

Artinya: “Seorang ulama madzhab Syafi’I, al-Mawardi menegaskan bahwa walimah dilakukan setelah hubungan badan. As-Subki (ulama Syafiiyah lainnya) mengatakan, ‘Mengaku pada praktik Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, walimah dilakukan setelah hubungan badan.’ Keterangan beliau mengisyaratkan kisah pernikahan Zainab binti Jahsy. Sebagaimana kata Anas bin Malik, ‘Di pagi hari, setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Zainab, lalu beliau undang para sahabat’.”

Bagi para undangan, hukum mendatangi walimah ini ialah fardlu ‘ain meskipun ketika acara berlangsung, ia boleh-boleh saja tak menikmati makanan tersebut. Sebagaimana lanjutan pernyataan dalam kitab Fathul Qarib:

والإجابة إليها] أي وليمة العرس [واجبة] أي فرض عين في الأصح. ولا يجب الأكل منها في الأصح]

Artinya: “Menghadiri undangan jamuan makan walimah nikah hukumnya wajib, dalam arti fardlu ‘ain menurut pendapat yg lebih sahih. (Meskipun) tak wajib memakannya menurut pendapat yg lebih sahih.”

Kewajiban mendatangi walimah ini dapat hilang apabila pihak pengundang melakukan sebuah kekeliruan secara syara’, sebagaimana kelaanjutan keterangan dalam kitab Fathul Qarib:

 

وإنما تجب الدعوة لوليمة العرس أو تسن لغيرها بشرط أن لا يخص الداعي الأغنياء بالدعوة، بل يدعوهم والفقراء

Artinya: “Bahwasanya kewajiban menghadiri undangan walimah nikah, atau kesunnahan menghadiri jamuan makan lainnya, ialah dgn syarat sang pengundang tak menspesialkan orang kaya dalam undangan, tetapi mengundang juga orang-orang fakir”.

Dari pernyataan tersebut, dapat kita pahami bahwa unsur kesetaraan sosial harus juga diperhatikan dalam undangan walimah nikah, dgn tak mendiskriminasi kelompok yg kaya dgn yg miskin.

Demikian, semoga bermanfaat, Wallahu a’lam bish shawab.

(Muhammad Ibnu Sahroji)





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.