Shalat Khusyuk Menurut Imam Al-Ghazali

Kita sering bertanya terkait shalat khusyuk seperti apa. Kita kemudian mencoba membaygkan shalat khusyuk seperti apa. Kita selanjutnya mencoba mengejar shalat yg khusyuk menurut baygan kita tersebut.

Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya Ulumiddin tak mendefinisikan shalat khusyuk seperti apa. Tetapi kita dapat memahami konsep khusyuk Imam Al-Ghazali dari sejumlah kutipannya. Imam Al-Ghazali dalam menerangkan keutamaan khusyuk mengutip ayat Al-Qur’an, hadits nabi, qaul sahabat, dan pengalaman ulama.

Imam Al-Ghazali pertama mengutip Surat Thaha ayat 14:

قال الله تعالى وأقم الصلاة لذكري 

Artinya, “Laksanakanlah shalat buat mengingat-Ku,” (Surat Thaha ayat 14).

Imam Al-Ghazali kemudian mengutip Surat Al-A’raf ayat 204:

وقال تعالى ولا تكن من الغافلين

Artinya, “Janganlah kamu termasuk orang-orang yg lalai,” (Surat Al-A’raf ayat 204).

Imam Al-Ghazali lalu mengutip Surat An-Nisa ayat 43:

وقال عز وجل لا تقربوا الصلاة وأنتم سكارى حتى تعلموا ما تقولون

Artinya, “Jangan kalian mencoba mendekati shalat dalam keadaan mabuk hingga kalian menyadari apa yg kalian baca,” (Surat An-Nisa ayat 43).

Imam Al-Ghazali mengutip sejumlah keterangan ulama perihal mabuk yg dimaksud pada Surat An-Nisa ayat 43:

قيل سكارى من كثرة الهم وقيل من حب الدنيا وقال وهب المراد به ظاهره ففيه تنبيه على سكر الدنيا إذ بين فيه العلة فقال حتى تعلموا ما تقولون وكم من مصل لم يشرب خمرا وهو لا يعلم ما يقول في صلاته

Artinya, “Ada ulama mengatakan, mabuk (yg mengganggu shalat pada Surat An-Nisa ayat 43) disebabkan kebanyakan bimbang terhadap masalah duniawi atau disebabkan oleh hubbud duniya atau gila duniawi. Wahab berkata, yg dimaksud dgn mabuk ialah zahirnya. Surat An-Nisa ayat 43 mengisyaratkan mabuk duniawi sebab Allah menerangkan illatnya, ‘hingga kalian menyadari apa yg kalian baca.’ Berapa banyak orang shalat tak meminum khamar tetapi tak mengerti apa yg dibaca dalam shalatnya,” (Lihat Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439 H-1440 H], juz I, halaman 194).

Imam Al-Ghazali lalu mengutip Surat An-Nisa ayat 43:

وقال النبي صلى الله عليه و سلم من صلى ركعتين لم يحدث نفسه فيهما بشيء من الدنيا غفر له ما تقدم من ذنبه

Artinya, “Siapa saja yg melakukan shalat dua rakaat dan tak bergumam tentang dunia pada keduanya, niscaya diampuni dosanya yg terdahulu,” (HR Ibnu Abi Syaibah dan dan Bukhari Muslim tanpa lafal ‘Bi syay’in minad duniya’).

Imam Al-Ghazali juga mengutip keterangan kitab suci sebelumnya:

وروي عن الله سبحانه في الكتب السالفة أنه قال ليس كل مصل أتقبل صلاته إنما أقبل صلاة من تواضع لعظمتي ولم يتكبر على عبادي وأطعم الفقير الجائع لوجهي

Artinya, “Diriwayatkan dari kitab-kitab suci terdahulu, Allah berfirman, ‘Tidak setiap orang yg melakukan shalat Kuterima ibadah shalatnya. Aku hanya menerima shalat orang yg merendahkan diri pada keagungan-Ku, shalat orang yg tak sombong terhadap hamba-hamba-Ku, dan shalat mereka yg memberi makan fuqara yg lapar sebab mengingat-Ku,’” (Lihat Imam Al-Ghazali, 2018 M: I/194-195).

Imam Al-Ghazali mengutip hadits nabi perihal tujuan dasar ibadah:

وقال صلى الله عليه و سلم إنما فرضت الصلاة وأمر بالحج والطواف وأشعرت المناسك لإقامة ذكر الله تعالى فإذا لم يكن في قلبك للمذكور الذي هو المقصود والمبتغى عظمة ولا هيبة فما قيمة ذكرك

Artinya, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Shalat diwajibkan, haji dan thawaf diperintahkan, dan manasik disyi’arkan buat menegakkan zikrullah. Jika di hatimu Allah yg dimaksud dan dituju tak hadir dgn keagungan dan kehebatan, maka tak ada nilai zikirmu.’ (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi),” (Lihat Imam Al-Ghazali, 2018 M: I/195).

Imam Al-Ghazali juga mengutip hadits nabi perihal seharusnya pikiran diarahkan pada saat shalat:

وقال صلى الله عليه و سلم للذي أوصاه وإذا صليت فصل صلاة مودع أي مودع لنفسه مودع لهواه مودع لعمره سائر إلى مولاه كما قال عز و جل يا أيها الإنسان إنك كادح إلى ربك كدحا فملاقيه

Artinya, “Rasulullah SAW berwasiat kepada sahabatnya, ‘Bila kamu shalat, maka laksanakanlah seperti shalat orang perpisahan,’ (HR Ibnu Majah, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi), yaitu shalat orang yg meninggalkan nafsunya, shalat orang menjelang wafatnya, shalat orang yg berjalan kepada Tuhannya sebagaimana firman Allah ‘Wahai manusia! Sungguh, kamu telah bekerja keras menuju Tuhanmu, maka kamu mau menemui-Nya,’ (Surat Al-Insyiqaq ayat 6),” (Lihat Imam Al-Ghazali, 2018 M: I/195).

Imam Al-Ghazali mengutip pengalaman Aisyah RA dan Rasulullah SAW yg sangat mengagungkan Allah melalui ibadah shalat:

وعن عائشة رضي الله عنها قالت كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يحدثنا ونحدثه فإذا حضرت الصلاة فكأنه لم يعرفنا ولم نعرفه اشتغالا بعظمة الله عز و جل 

Artinya, “Dari Sayyidatina Aisyah RA, ia bercerita, “Suatu hari kami berbincang dgn Rasulullah SAW. Ketika masuk waktu shalat, tiba-tiba beliau seakan tak mengenal kami dan kami tak mengenalnya sebab terpaku pada keagungan Allah.” (HR Azadi),” (Lihat Imam Al-Ghazali, 2018 M: I/195).

Imam Al-Ghazali kemudian mengutip hadits nabi perihal perhatian Allah pada shalat yg seperti apa:

وقال صلى الله عليه و سلم لا ينظر الله إلى صلاة لا يحضر الرجل فيها قلبه مع بدنه

Artinya, “Rasulullah bersabda, ‘Allah tak memandang shalat orang yg hati dan badannya tak menghadap (kepada Allah),’” (Lihat Imam Al-Ghazali, 2018 M: I/195).

Imam Al-Ghazali juga meriwayatkan Imam Al-Hasan yg melihat seseorang yg sedang melakukan shalat sambil memainkan kerikil dgn berkata, “Allāhumma zawwijniyal hūral īna atau Ya Allah kawinkanlah aku dgn bidadari surga.”

Selesai shalat, Imam Al-Hasan berkata kepadanya, “Kamu seburuk-buruk pelamar perempuan. Kamu melamar bidadari sambil bermain dgn kerikil.”

Imam Al-Ghazali juga mengutip ucapan Ibnu Abbas RA, “Shalat dua rakaat dgn durasi sedang dgn tafakur pada keagungan Allah lebih baik ketimbang qiyamul lail dgn hati lalai,” (Lihat Imam Al-Ghazali, 2018 M: I/195).

Kita memang tak menemukan pengertian shalat khusyuk secara definitif dalam Kitab Ihya Ulumiddin. Tetapi dari berbagai kutipan tersebut, kita dapat menarik simpulan sebagai catatan atas shalat khusyuk.

1. Shalat khusyuk dilakukan dgn hati yg hudhur atau hati yg sadar menghadap kepada Allah.

2. Shalat dilakukan tanpa melakukan perbuatan di luar rukun fi’li seperti iseng-iseng bermain kerikil, colek jamaah sebelahnya, menginjak kaki orang lain, bercanda atau bermain ujung sajadah sebagaimana kelakuan anak-anak (yg dapat dimaklumi).

3. Shalat dilakukan dgn mengikuti tuntunan dalam kajian fiqih shalat.

4. Shalat dilakukan dgn tenang sebagaimana diajarkan kiai dan orang tua terdahulu seperti yg diamalkan oleh masyarakat Indonesia selama ratusan tahun.

 

5. Shalat juga harus dibarengi dgn kepedulian sosial terhadap mereka yg membutuhkan sesuai dgn kemampuan. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.